Iklan

Merawat Nalar Kritis Anak dan Peran Penting Orangtua

Admin
Kamis, Mei 24, 2018 | 09:56 WIB Last Updated 2018-05-24T03:03:33Z
ORANGTUA seringkali heboh (baca: tidak siap) ketika buah hatinya mulai berbicara dan berinteraksi dengan lingkungan kemudian pulang dengan "seabrek" pertanyaan kepada ibu-bapaknya.

Setiap manusia dilahirkan dengan bekal kemampuan berpikir yang sama, karena manusia dalam filsafat memang dikenal sebagai hewan yang berpikir.

Tetapi, soal pertumbuhan dan perkembangan kemampuan berpikir anak di antaranya ditentukan oleh faktor keluarga.

Ilustrasi anak bermain/ Source: Unplash

Bukankah telah menjadi pemahaman umum bahwa seorang anak selalu tertarik bertanya. Dari mulai bisa bicara, mereka pasti akan selalu bertanya, "Apa itu, apa ini." Meningkat sedikit, "Yah, pain," yang maksudnya ayah ngapain.

Suatu waktu seorang anak SD berumur 8 tahun membaca buku tentang istri Fir'aun. Karena ia kerap mendengar nama Fir'aun jahat, cerita istri Fir'aun itu jelas baru dan menumpuk gumpalan rasa penasaran dalam benaknya.

Setiba di rumah datang sang ayah ia sontak bertanya. "Yah, kenapa Fir'aun yang jahat punya istri yang sholehah?"

Mendengar pertanyaan itu, sang ayah yang sesungguhnya baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja menjawab, "Kalau menurut kamu kira-kira kenapa?"

Sang anak menjawab, "Tidak tahu."

Ayahnya pun menimpali, "Itu adalah cara Allah mendidik kita, bahwa iman atau hidayah itu adalah di tangan Allah. Biar Fir'aun ingin seluruh orang Mesir menyembah dirinya, Allah memberikan petunjuk kepada istrinya, sehingga sang istri justru beriman kepada Allah."

"Pelajaran yang bisa diambil," sang ayah melanjutkan, "Jangan sombong, karena kita pasti punya kelemahan. Kelemahan Fir'aun justru pada dirinya sendiri yang sangat tidak dia sadari. Kedua, jangan putus asa. Biar bagaimanapun keadaan, tetaplah beriman, sekalipun keluarga sendiri menentang. Lihatlah keteguhan Asiyah, istri Fir'aun itu."

Mendengar jawaban tersebut sang anak nampak puas, sekalipun sudah pasti tidak mungkin 100% paham sebagaimana orang dewasa mengerti.

Tetapi, setidaknya jawaban itu menjadi tangga bagi sang anak untuk terus kreatif bertanya. Dan, bukankah bertanya adalah pintu berpikir yang paling sederhana?

Persoalan akan menjadi runyam jika orangtua tidak siap, sehingga menjawab sekenanya. "Ah, kamu kan sudah baca, masak tidak tahu." Atau, "Udahlah nanti saja dibahas, ini baru pulang, capek tahu."

Maka psikologi anak merasa pertanyaan yang diajukannya tidak penting dan itu berarti dia telah salah membaca kisah, sehingga ia akan berkesimpulan, esok tidak perlu lagi membaca, apalagi bertanya. Faktanya, ia tak diakui dengan pertanyaan-pertanyaan yang sungguh dirinya benar-benar butuh jawaban.

Dari fakta yang demikian ini, para orangtua memang seharusnya tidak merasa harus berhenti membaca. Tetapi harus lebih meningkat lagi intensitas membacanya.

Bukankah kita ingin anak-anak tumbuh menjadi insan yang cerdas? Jika kita tak pernah menjawab pertanyaan anak-anak secara cerdas, dari mana harapan itu akan terwujud?

Jangan sampai kita menjadi orangtua yang gagal paham. Ingin anak cerdas, tetapi kita lupa menyiapkan diri menjadi mentor atau coach terbaik bagi anak. Atau lebih tragis lagi, seperti yang dilakukan Azar kepada putranya Ibrahim yang menjadi Nabi dan Rasul.

Kala sang anak banyak bertanya dan menyampaikan argumentasi, sedangkan dirinya tidak lagi memiliki stok pengetahuan, logika dan referensi untuk menjawabnya, ia berubah menjadi sosok yang seolah tak lagi mengenal putranya itu.

“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (QS. Maryam: 46).

Kisah dalam Alquran itu adalah fakta kehidupan, dimana orangtua mesti berpengetahuan, bijaksana dan siap berbeda pendapat dengan landasan ilmu, bukan emosi.

Beruntung jika anaknya memiliki keberanian seperti Ibrahim, jika tidak, anak-anak kita akan terkurung oleh ketidaktahuan orang tua namun memiliki tumpukan harapan besar kepada buah hatinya.

Oleh karena itu, mulai dari sekarang, bersiaplah menjadi orang tua, yang siap memberikan jawaban cerdas atas setiap pertanyaan kritis anak-anak kita. Selamat mencoba!

IMAM NAWAWI ABU ILMIA
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Merawat Nalar Kritis Anak dan Peran Penting Orangtua

Trending Now

Iklan