
DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ikatan yang dibangun dengan harap, namun berakhir dengan getir.
Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) –Terakhir diperbarui 27 Februari 2025– yang mengutip Kementerian Agama RI dan Mahkamah Agung mencatat sebanyak 1.478.302 peristiwa nikah terjadi sepanjang 2024 di Indonesia.
Namun, ironi melintas: 394.608 kasus perceraian juga tercatat. Angka ini berarti hampir 26,7% dari pasangan yang menikah pada tahun yang sama akhirnya berpisah, sebuah statistik yang patut kita cermati serius.
Baca Juga
Analisis Data Pernikahan dan Perceraian per Provinsi
Mari kita coba telaah data ini, membandingkan tren antarprovinsi, dan menarik benang merah dari fenomena ini yang selanjutnya kita jadikan sebagai bahan evaluasi untuk mengurai salah satu problematika bangsa ini.
Sumatera dan Kepulauan Sekitarnya
Aceh mencatatkan 31.740 pernikahan, dengan 5.931 kasus perceraian (cerai talak: 1.192, cerai gugat: 4.739), menghasilkan rasio perceraian sebesar 18,7%.
Angka Aceh ini cukup tinggi, terutama jika dibandingkan dengan Sumatera Utara yang memiliki 66.682 pernikahan dan 15.752 kasus perceraian (rasio 23,6%).
Sumatera Utara menunjukkan tingkat perceraian yang lebih tinggi, mungkin dipengaruhi oleh populasi yang lebih besar dan dinamika sosial yang lebih kompleks.
Sementara itu, Sumatera Barat dengan 36.486 pernikahan dan 8.152 kasus perceraian (rasio 22,3%) menunjukkan tren serupa dengan Sumatera Utara, sementara Riau (38.790 pernikahan, 8.085 kasus perceraian, rasio 20,8%) dan Jambi (21.590 pernikahan, 4.482 kasus perceraian, rasio 20,8%) memiliki rasio yang hampir identik.
Namun, Sumatera Selatan (50.492 pernikahan, 9.981 kasus perceraian, rasio 19,8%) dan Lampung (50.230 pernikahan, 14.471 kasus perceraian, rasio 28,8%) menunjukkan kontras yang mencolok—Lampung memiliki rasio perceraian tertinggi di Sumatra, menandakan adanya tekanan sosial atau ekonomi yang lebih besar.
Pulau Jawa
Di Pulau Jawa, Jawa Barat memimpin dengan 292.969 pernikahan dan 88.842 kasus perceraian (rasio 30,3%), angka tertinggi secara nasional.
Bandingkan dengan Jawa Tengah (233.204 pernikahan, 64.569 kasus perceraian, rasio 27,7%) dan Jawa Timur (271.406 pernikahan, 77.658 kasus perceraian, rasio 28,6%)—ketiganya menunjukkan tingkat perceraian yang tinggi, kemungkinan terkait dengan tekanan urbanisasi dan ekonomi.
DKI Jakarta (40.458 pernikahan, 12.149 kasus perceraian, rasio 30%) dan Banten (63.441 pernikahan, 13.456 kasus perceraian, rasio 21,2%) juga mencerminkan tantangan serupa, meskipun Banten lebih rendah dibandingkan provinsi lain di Jawa.
DI Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara
DI Yogyakarta, dengan 18.920 pernikahan dan 4.663 kasus perceraian (rasio 24,6%), menunjukkan angka yang moderat, mungkin karena budaya yang lebih konservatif. Sementara itu, Bali menunjukkan angka cukup “sejuk”: hanya 3.189 pernikahan dan 1.041 perceraian (32,6%).
Nusa Tenggara Barat mencatat 25.424 nikah dengan 6.674 cerai (26,2%), sedangkan Nusa Tenggara Timur tercatat hanya 2.775 nikah dengan 485 cerai (17,4%).
Menariknya, tingkat perceraian Bali yang lebih tinggi secara persentase dibanding NTB dan NTT memperlihatkan dinamika lokal yang berbeda, walaupun volume absolut tetap kecil.
Pulau Kalimantan
Di Kalimantan, Kalimantan Barat (21.064 pernikahan, 4.635 kasus perceraian, rasio 22%) dan Kalimantan Tengah (13.688 pernikahan, 3.040 kasus perceraian, rasio 22,2%) memiliki rasio yang serupa.
Namun, Kalimantan Selatan (25.069 pernikahan, 6.377 kasus perceraian, rasio 25,4%) dan Kalimantan Timur (20.940 pernikahan, 6.216 kasus perceraian, rasio 29,7%) menunjukkan peningkatan, terutama Kalimantan Timur yang mendekati angka Jawa Barat.
Kalimantan Utara (2.889 pernikahan, 931 kasus perceraian, rasio 32,2%) juga menunjukkan rasio tinggi, meskipun jumlah absolutnya kecil.
Pulau Sulawesi
Sulawesi Utara (6.025 pernikahan, 1.954 kasus perceraian, rasio 32,4%) dan Sulawesi Tengah (15.349 pernikahan, 3.862 kasus perceraian, rasio 25,2%) mencerminkan variasi yang signifikan, dengan Sulawesi Utara mendekati Bali.
Sulawesi Selatan (48.718 pernikahan, 11.949 kasus perceraian, rasio 24,5%) dan Sulawesi Tenggara (14.126 pernikahan, 3.416 kasus perceraian, rasio 24,2%) lebih stabil.
Sementara Gorontalo (8.903 pernikahan, 2.019 kasus perceraian, rasio 22,7%) dan Sulawesi Barat (6.402 pernikahan, 1.303 kasus perceraian, rasio 20,4%) menunjukkan angka yang lebih rendah.
Pulau Maluku
Di wilayah timur, Maluku (4.464 pernikahan, 623 kasus perceraian, rasio 14%) dan Maluku Utara (5.724 pernikahan, 1.260 kasus perceraian, rasio 22%) menunjukkan rasio yang bervariasi, dengan Maluku menjadi yang terendah secara nasional.
Papua (1.473 pernikahan, 1.060 kasus perceraian, rasio 72%) menunjukkan rasio ekstrem—sebuah anomali yang mungkin terkait dengan faktor budaya atau pelaporan data.
Papua Barat (1.038 pernikahan, 487 kasus perceraian, rasio 46,9%) juga tinggi, sementara Papua Barat Daya, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan menunjukkan data yang terbatas.


Cerai Gugat dan Cerai Talak 2024, Siapa Lebih Banyak Mengambil Keputusan?
Dari tabulasi data, fenomena cerai gugat, yakni perceraian yang diajukan oleh istri, tampak mendominasi hampir di seluruh provinsi di Indonesia sepanjang tahun 2024.
Ini menunjukkan adanya transformasi besar dalam relasi gender di Indonesia. Perempuan kini lebih berani memperjuangkan haknya ketika pernikahan tak lagi berjalan sehat.
Mari kita bedah lebih dalam:
Sumatera dan Kepulauan
Aceh:
- Cerai Talak: 1.192
- Cerai Gugat: 4.739
- Persentase Cerai Gugat: 79,9% dari total cerai.
Sumatera Utara:
- Cerai Talak: 2.891
- Cerai Gugat: 12.861
- Persentase Cerai Gugat: 81,7%
Sumatera Selatan:
- Cerai Talak: 2.042
- Cerai Gugat: 7.939-
- Persentase Cerai Gugat: 79,55%
Lampung:
- Cerai Talak: 2.575
- Cerai Gugat: 11.896
- Proporsi cerai gugat: 82,2%.
Terlihat bahwa di Sumatera, dominasi cerai gugat sangat tinggi. Ini mungkin berhubungan dengan tingkat pendidikan dan kemandirian ekonomi perempuan yang makin membaik atau faktor lain yang berkaitan dengan individu.
Pulau Jawa
DKI Jakarta:
- Cerai Talak: 2.800
- Cerai Gugat: 9.349
- Cerai gugat sebesar 76,9%
Jawa Barat:
- Cerai Talak: 19.874
- Cerai Gugat: 68.968
- Cerai gugat mencapai 77,6%.
Jawa Timur:
- Cerai Talak: 18.979
- Cerai Gugat: 58.679
- Cerai gugat: 75,5%.
Jawa Tengah:
- Cerai Talak: 13.786
- Cerai Gugat: 50.783
- Cerai gugat mencapai 78,64%
DIY Yogyakarta:
- Cerai Talak: 980
- Cerai Gugat: 3.683
- Persentase cerai gugat: 78,99%
Pulau Jawa sebagai pusat urbanisasi dan perubahan sosial memperlihatkan tren yang konsisten: cerai gugat sangat dominan.
Bali dan Nusa Tenggara
Bali:
- Cerai Talak: 235
- Cerai Gugat: 806
- Persentase cerai gugat: 77,4%
Nusa Tenggara Barat:
- Cerai Talak: 1.266
- Cerai Gugat: 5.408
- Persentase cerai gugat: 81,0%
Dominasi cerai gugat di Bali dan NTB menunjukkan bahwa perempuan di kawasan ini juga aktif menentukan nasib pernikahan mereka.
Kalimantan
Kalimantan Timur:
- Cerai Talak: 1.518
- Cerai Gugat: 4.698
- Persentase cerai gugat: 75,6%
Kalimantan Selatan:
- Cerai Talak: 1.238
- Cerai Gugat: 5.139
- Persentase cerai gugat: 80,5%
Kalimantan mengikuti pola nasional, meskipun volume peristiwanya lebih kecil dibandingkan Pulau Jawa.
Sulawesi
Sulawesi Selatan:
- Cerai Talak: 2.302
- Cerai Gugat: 9.647
- Persentase cerai gugat: 80,7%
Sulawesi Tengah:
- Cerai Talak: 740
- Cerai Gugat: 3.122
- Persentase cerai gugat: 80,8%
Sulawesi memperlihatkan pola yang sangat sejalan dengan tren nasional, memperkuat temuan bahwa perempuan di Indonesia semakin aktif mengambil peran dalam menentukan status rumah tangga.
Maluku dan Papua
Maluku:
- Cerai Talak: 170
- Cerai Gugat: 453
- Persentase cerai gugat: 72,7%
Papua:
- Cerai Talak: 254
- Cerai Gugat: 806
- Cerai gugat: 76%
Menarik bahwa di kawasan yang sering dianggap lebih tradisional, tren cerai gugat tetap kuat.
Data ini menunjukkan pola konsisten di seluruh Indonesia, bahwa lebih dari tiga perempat kasus perceraian merupakan hasil permohonan dari pihak istri.
Pentingnya Komunikasi dan Komitmen
Data ini mengungkapkan bahwa rasio perceraian tertinggi terjadi di Papua (72%), diikuti Papua Barat (46,9%), Bali (32,6%), dan Sulawesi Utara (32,4%), sementara Maluku (14%) menjadi yang terendah.
Provinsi dengan populasi besar seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menunjukkan rasio perceraian yang tinggi (27-30%), kemungkinan dipengaruhi oleh tekanan ekonomi, seperti tingginya biaya hidup dan urbanisasi.
Faktor perselingkuhan juga menjadi indikator penting yang dapat meningkatkan risiko konflik rumah tangga.
Data tahun 2024 ini menunjukkan bahwa perceraian bukan lagi fenomena sporadis, tetapi bagian dari dinamika sosial Indonesia modern.
Pulau Jawa menjadi episentrum perceraian, sejalan dengan tingkat urbanisasi tinggi. Daerah-daerah lain seperti Lampung, Bali, dan Papua memperlihatkan ciri khasnya masing-masing yang dipengaruhi faktor budaya, sosial, dan ekonomi.
Untuk mengurangi angka perceraian, pemerintah perlu memperkuat program konseling pranikah, terutama di provinsi dengan rasio tinggi seperti Jawa Barat dan Papua.
Selain itu, dukungan ekonomi, seperti subsidi untuk keluarga muda, dapat meringankan tekanan finansial yang sering memicu konflik. Edukasi tentang komunikasi dan komitmen dalam pernikahan juga penting untuk mengatasi masalah perselingkuhan.
Analisis data pernikahan dan perceraian Indonesia 2024 ini akan terus diperbarui untuk memberikan wawasan yang lebih akurat dan relevan. Kami sangat terbuka terhadap masukan dari pembaca, baik berupa data tambahan, sudut pandang baru, maupun koreksi yang membangun.
Bersama, kita dapat membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena ini demi mendukung kebijakan sosial yang lebih baik di masa depan.[]