
“SCROLL sekali lagi, dan dunia pun terasa jauh lebih gelap.” Itulah yang dirasakan banyak remaja saat ini—terperangkap dalam dunia maya yang tampak gemerlap, namun menyimpan tekanan tak terlihat.
Media sosial, yang semula menjadi sarana ekspresi dan koneksi, kini menjadi ladang perbandingan dan sumber stres yang terus meningkat bagi generasi muda.
Media sosial bukan hanya soal hiburan atau komunikasi. Ia membentuk cara remaja melihat diri sendiri, berinteraksi, dan memaknai dunia.
Baca Juga
Sayangnya, dampak yang ditimbulkan bisa sangat kompleks—mulai dari peningkatan rasa cemas, isolasi sosial, hingga depresi.
Media Sosial Dua Sisi Mata Uang
Media sosial sejatinya bukan musuh. Dalam konteks positif, platform seperti Instagram, TikTok, atau Twitter bisa menjadi ruang belajar, mengembangkan kreativitas, bahkan mendukung kesehatan mental.
Banyak komunitas online yang mendukung remaja dalam mengenali emosi, mencari bantuan profesional, atau sekadar berbagi cerita.
Namun, sekali lagi, sisi gelapnya media sosial tidak bisa diabaikan. Laporan Telemed Indonesia Healthcare Corporation (IHC), menunjukkan bahwa waktu layar berlebihan dan paparan terhadap konten negatif dapat menyebabkan perasaan tidak cukup baik, kecemasan sosial, dan tekanan untuk tampil sempurna.
Fitur seperti “like” atau komentar pun bisa menjadi pemicu validasi eksternal yang membuat remaja mengaitkan harga diri mereka dengan angka-angka tersebut.
Kenapa Remaja Rentan?
Remaja berada dalam fase perkembangan identitas. Otak mereka, khususnya bagian yang mengatur emosi dan pengambilan keputusan, masih berkembang. Artinya, mereka cenderung lebih impulsif, sensitif terhadap penilaian sosial, dan mudah terpengaruh oleh opini luar.
Menurut studi cohort longitudinal terhadap remaja berusia 12–15 tahun menunjukkan bahwa remaja yang menghabiskan lebih dari 3 jam per hari di media sosial berisiko dua kali lipat mengalami masalah kesehatan mental.
Menurut Departemen Layanan Kesehatan dan Kemanusiaan (HHS) Amerika, aktivitas berlebihan di media sosial dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan depresi dan kecemasan pada remaja usia 12–17 tahun.
Ketika dunia digital menyajikan standar kecantikan, keberhasilan, atau gaya hidup yang tidak realistis, remaja cenderung merasa tidak cukup—tidak cukup cantik, tidak cukup sukses, atau tidak cukup menarik.
Tantangan Serius Kesehatan Mental Remaja dan Solusinya
Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam reportase di laman resminya, pada tahun 2024 tercatat 221,5 juta jiwa telah terhubung ke internet, dari total populasi Indonesia sebesar 278,7 juta jiwa. Ini berarti lebih dari 79% masyarakat Indonesia kini hidup berdampingan dengan dunia digital.
Menariknya, porsi terbesar pengguna datang dari generasi muda. Generasi Z (1997–2012) menjadi yang paling aktif, menyumbang 34,4% dari total pengguna, disusul generasi milenial (1981–1996) sebesar 30,6%. Ini menggambarkan bagaimana lanskap digital kita kini dibentuk oleh mereka yang tumbuh bersamaan dengan perkembangan teknologi.
Data Ini menjadi tantangan serius karena literasi digital dan kesehatan mental belum sepenuhnya menjadi prioritas dalam kurikulum pendidikan atau program keluarga.
Stigma terhadap gangguan mental juga masih tinggi. Banyak remaja enggan bicara tentang apa yang mereka rasakan karena takut dicap lemah, gila, atau tidak bersyukur. Padahal, tekanan dari media sosial bisa sangat nyata dan berbahaya jika tidak ditangani.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Solusinya bukan melarang media sosial, tapi mengajarkan cara menggunakannya dengan bijak. Berikut beberapa langkah yang bisa diambil:
1. Bangun Komunikasi terbuka
Ajak remaja bicara tanpa menghakimi. Tanyakan perasaan mereka tentang apa yang mereka lihat di media sosial.
2. Batasi Waktu Layar
Gunakan aplikasi atau pengaturan ponsel untuk membatasi waktu penggunaan, terutama sebelum tidur.
3. Dorong Aktivitas Offline
Ajak mereka untuk lebih sering berinteraksi di dunia nyata—bermain, olahraga, atau ikut kegiatan sosial.
4. Berikan Contoh yang Sehat
Orang tua perlu menunjukkan kebiasaan digital yang sehat, seperti tidak terlalu tergantung pada ponsel atau membandingkan diri di dunia maya.
5. Edukasi tentang literasi digital
Sekolah dan komunitas harus mulai memberikan pemahaman tentang algoritma, konten palsu, dan cara menjaga kesehatan mental di era digital.
Saatnya Menatap Cermin Sosial Kita
Media sosial adalah cermin zaman, dan remaja sedang belajar mengenali diri mereka melalui pantulan-pantulan digital.
Namun, jika pantulan itu penuh tekanan dan ilusi, siapa yang akan membantu mereka melihat jati diri yang sebenarnya?
Kita di sini perlu lebih serius membicarakan kesehatan mental remaja, termasuk dampak media sosial.
Pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bersinergi dalam menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan mental yang sehat. Karena generasi yang sehat mentalnya, adalah fondasi masa depan bangsa yang lebih kuat.[]