
DITENGAH guncangan ekonomi yang tak kunjung reda melanda negeri kita yang tercinta ini, ratusan pasangan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, memilih jalan perpisahan.
Data dari Pengadilan Agama (PA) Kelas IA Pemalang menggambarkan realitas yang mencemaskan: faktor ekonomi menjadi pemicu utama retaknya rumah tangga, dengan istri sebagai penggugat dominan.
Parentnial mencoba menyajikan analisis data untuk membedah tren perceraian di wilayah ini, mari kita telusuri angka-angka ini untuk memahami dinamika sosial yang sedang berlangsung.
Baca Juga
Sumber data analisa yang disajikan ini didapat dari laporan berita portal Joglo Jateng (Selasa, 15 April 2025), dan media lokal Kabupaten Pemalang, Puskapik (Kamis, 9 Januari 2025).
Data dan Tren Perceraian di Pemalang
Humas PA Pemalang, Sobirin, melaporkan bahwa hingga pertengahan April 2025, pengadilan telah menerima 974 permohonan perceraian. Angka ini mencakup periode dari Januari hingga awal April 2025.
Khusus pada 8–11 April 2025, terdapat 132 perkara baru, dengan rincian 96 gugatan dari istri (72%) dan 36 gugatan dari suami (28%).
Dominasi penggugat perempuan ini konsisten dengan tren tahunan. Pada 2024, dari total 3.838 kasus perceraian, 3.056 kasus (79,6%) diajukan oleh istri, sementara cerai talak dari suami berjumlah 782 kasus (20,4%).
Perbandingan tahunan menunjukkan peningkatan kasus perceraian. Pada 2023, tercatat 3.713 kasus, naik menjadi 3.838 kasus pada 2024, atau meningkat sekitar 3,4%.
Jika tren tersebut berlanjut, proyeksi kasus pada 2025 berpotensi melampaui angka 2024, mengingat 974 permohonan telah diajukan dalam kurun waktu tiga setengah bulan pertama tahun ini.
Dengan asumsi laju pengajuan konstan, estimasi kasus tahunan 2025 bisa mencapai sekitar 3.896 kasus, meskipun faktor musiman—seperti lonjakan pada Januari–Maret—perlu dipertimbangkan.
Faktor Ekonomi sebagai Pemicu Utama
Data menegaskan bahwa faktor ekonomi adalah penyebab utama perceraian di Pemalang. Sobirin menjelaskan bahwa banyak istri menggugat cerai karena suami gagal memenuhi tanggung jawab nafkah, bahkan hingga menelantarkan istri dan anak-anak.
Data juga menunjukkan bahwa salah satu akar masalah yang menonjol adalah kecanduan judi online, yang memperburuk kondisi finansial keluarga.
Fenomena ini menjadi cerminan tekanan ekonomi yang menghimpit rumah tangga, terutama pada kelompok usia produktif (35–37 tahun dan 45–47 tahun), yang menjadi mayoritas pasangan bercerai.
Meskipun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga tercatat sebagai penyebab, angkanya relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakstabilan ekonomi memiliki dampak yang jauh lebih signifikan dibandingkan faktor lain seperti konflik interpersonal atau KDRT.
Persentase penggugat istri yang tinggi (72% pada 2025 dan 79,6% pada 2024) mengindikasikan bahwa perempuan lebih sering menanggung beban ketimpangan ekonomi dalam rumah tangga, mendorong mereka untuk mengambil langkah hukum.
Istri Lebih Proaktif Mengajukan Perceraian
Mari kita bandingkan persentase penggugat berdasarkan gender. Pada 2024, rasio gugatan istri (79,6%) terhadap cerai talak suami (20,4%) menunjukkan ketimpangan yang signifikan.
Pada 2025, meskipun proporsi gugatan istri sedikit menurun menjadi 72%, angka ini tetap mencerminkan tren bahwa perempuan lebih proaktif dalam mengajukan perceraian.
Perbedaan 7,6% antara 2024 dan 2025 bisa jadi dipengaruhi oleh faktor musiman atau perubahan pola pengajuan, tetapi data jangka panjang diperlukan untuk memastikannya.
Perbandingan ini juga menggarisbawahi dinamika sosial di Pemalang. Tingginya gugatan dari istri mungkin mencerminkan meningkatnya kesadaran perempuan akan hak mereka, terutama dalam konteks ekonomi yang timpang. Namun, ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas mediasi dan konseling pranikah untuk mencegah perceraian.
Sobirin menekankan pentingnya pemahaman hak dan kewajiban suami-istri, dengan harapan dapat menekan angka perceraian.
Sobirin menegaskan bahwa kewajiban suami adalah hak istri, dan sebaliknya, sebuah prinsip yang jika dipahami secara utuh, dapat memperkuat harmoni keluarga.
Mendesaknya Intervensi Holistik
Tentu saja sajian angka-angka ini perlu menjadi bahan monitoring serta cerminan tantangan sosial yang dihadapi masyarakat khususnya Pemalang. Lonjakan kasus perceraian, terutama yang dipicu oleh faktor ekonomi, menyerukan intervensi yang lebih holistik.
Secara komparatif, persentase gugatan istri (79,6% pada 2024 dan 72% pada April 2025) menunjukkan sedikit penurunan, meskipun masih dominan. Hal ini mungkin mengindikasikan perubahan kecil dalam dinamika rumah tangga atau kesadaran suami untuk lebih proaktif mengajukan cerai.
Namun, tanpa data kualitatif lebih lanjut, ini tetap spekulatif. Yang jelas, angka perceraian yang terus naik—dari 3.713 (2023) ke 3.838 (2024), dan potensi lebih tinggi pada 2025—menjadi alarm bagi semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah hingga komunitas agama.
Upaya pencegahan, seperti edukasi finansial, pengendalian kecanduan judi online, dan penguatan mediasi keluarga, menjadi krusial. PA Pemalang terus mengkampanyekan pentingnya harmoni rumah tangga, tetapi tanpa dukungan sistemik—seperti pemberdayaan ekonomi lokal—angka perceraian berpotensi terus meningkat.
Dengan 974 permohonan hingga April 2025 dan 3.838 kasus pada 2024, Pemalang menghadapi tantangan serius dalam menjaga keutuhan rumah tangga.
Disamping itu, data ini juga diharapkan memandu kita memahami tantangan ini yang membutuhkan solusi holistik. Peningkatan literasi ekonomi, penguatan nilai keluarga, dan intervensi terhadap masalah seperti judi online dapat menjadi langkah awal.
Dengan memahami data dan dinamika di baliknya, diharapkan kita dapat merancang strategi yang lebih tepat untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan masyarakat yang resilien.[]