
“KALAU pernikahan seharusnya jadi tempat pulang paling nyaman, kenapa justru banyak yang memilih pergi?”
Statistik mengejutkan datang dari Padang. Dalam tiga bulan pertama tahun 2025 saja, telah terjadi 556 kasus perceraian, dan lebih dari dua pertiganya diajukan oleh pihak istri.
Data seperti yang dikutip Parentnial dari berita lansiran Padang Ekspres (Padek) ini bukan sekadar angka, tapi cermin dari krisis yang mulai merambah inti dari institusi keluarga itu sendiri.
Baca Juga
Ini bukan fenomena yang eksklusif terjadi di Padang. Tapi angka yang tinggi dalam waktu yang begitu singkat membuat kita bertanya, apa sebenarnya yang terjadi dalam rumah tangga kita saat ini?
Dari Ketimpangan Emosional hingga Masalah Ekonomi
Menurut laporan dari Pengadilan Agama Padang, alasan utama perceraian adalah pertengkaran terus-menerus, kurangnya tanggung jawab dari suami, hingga masalah ekonomi.
Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai pisau analisis untuk menelaah persoalan semakin meningkatnya kasus perceraian ini, bukan saja di Padang, tapi secara umum di masyarakat kita.
1. Perempuan Semakin Berdaya, Tapi Hubungan Tidak Ikut Berubah
Perempuan masa kini lebih berpendidikan, mandiri secara finansial, dan sadar akan hak-haknya. Tapi, banyak pernikahan masih terjebak dalam pola lama: istri sebagai pihak yang harus “mengalah” dan memikul beban ganda, baik di rumah maupun di tempat kerja. Ketika ekspektasi tak sejalan dengan kenyataan, dan komunikasi mandek, perceraian jadi pilihan, bukan lagi aib.
2. Ketimpangan Komunikasi dan Emosi
Banyak pasangan tidak siap menghadapi konflik secara sehat. Emosi dipendam, kelelahan dibiarkan menumpuk, hingga akhirnya ledakan tak terelakkan. Tidak sedikit juga yang masih menganggap diskusi tentang perasaan adalah hal yang “tidak penting” atau “tidak maskulin”.
3. Ekonomi Masalah Klasik yang Kian Relevan
Tekanan ekonomi pasca pandemi, terlebih dalam kondisi bangsa saat ini yang terdampak resesi, dan kenaikan harga kebutuhan pokok jelas memperkeruh suasana rumah tangga. Saat kebutuhan dasar saja sulit terpenuhi, rasa frustrasi bisa berubah menjadi konflik personal. Jika salah satu pihak tidak bisa jadi penopang—baik secara materi maupun mental—maka retaknya hubungan hanyalah soal waktu.
4. Bukan Soal Menyalahkan, Tapi Soal Mencari Solusi
Perceraian bukan akhir dari segalanya, tapi jika jumlahnya terus meningkat, kita perlu mengevaluasi sistem dan budaya yang membentuk pernikahan itu sendiri.
Lantas, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Menikah hari ini tidak sama dengan 20 atau 30 tahun lalu. Peran sudah berubah, ekspektasi meningkat, dan tekanan sosial juga lebih besar.
Tapi, perubahan ini seharusnya bukan jadi alasan untuk menyerah, melainkan peluang untuk membangun relasi yang lebih setara, sehat, dan manusiawi. Berikut beberapa tips praktis yang barangkali bisa kita terapkan:
1. Pendidikan Pra-Nikah yang Lebih Realistis
Kursus pra-nikah selama ini cenderung terlalu normatif. Kita perlu edukasi yang lebih jujur tentang dinamika hubungan, cara menyelesaikan konflik, membagi peran, dan pentingnya kesehatan mental dalam pernikahan.
2. Budaya Komunikasi yang Terbuka
Pasangan perlu dibekali keterampilan komunikasi yang sehat sejak awal. Tidak cukup hanya “sabar” atau “mengalah”, tapi harus ada keterbukaan, empati, dan keberanian untuk menyampaikan kebutuhan secara asertif.
3. Dukungan Ekonomi dan Akses Bantuan
Banyak konflik rumah tangga muncul karena tekanan ekonomi. Pemerintah daerah dan lembaga sosial harus menyediakan program bantuan yang nyata seperti mengadakan pelatihan kerja, modal usaha kecil, hingga konseling pernikahan yang gratis dan mudah diakses.
Perceraian memang kadang jadi jalan terakhir. Tapi kalau kita bisa mengedepankan empati, edukasi, dan dukungan sistemik yang lebih kuat, bukan tidak mungkin rumah tangga bisa kembali jadi tempat pulang yang nyaman—bukan medan perang tanpa akhir.[]