PROSES persalinan adalah momen penuh perjuangan, haru, dan tentu saja—pertaruhan nyawa. Tapi masih banyak di antara kita yang berpikir kalau tugas suami saat istri melahirkan cuma sebatas duduk di ruang tunggu sambil berdoa.
Padahal, kehadiran dan dukungan pasangan saat proses melahirkan bisa bikin perbedaan besar, bukan hanya buat sang ibu, tapi juga buat hubungan keluarga ke depannya.
Yuk, kita bahas kenapa kehadiran pasangan saat persalinan itu penting banget dan bagaimana budaya serta sistem kesehatan kita bisa mulai mengarah ke dukungan yang lebih manusiawi bagi para ibu melahirkan.
Baca Juga
Nggak Cuma Soal Fisik, Tapi Juga Emosional
Banyak studi menunjukkan bahwa kehadiran pasangan selama persalinan bisa mengurangi rasa sakit, mempercepat proses melahirkan, dan bahkan menurunkan risiko intervensi medis seperti operasi caesar atau induksi.
Kenapa bisa begitu? Karena dukungan emosional dari orang terdekat itu powerful banget.
Saat seorang ibu merasa aman, didukung, dan dicintai, tubuhnya bisa lebih rileks. Rasa rileks ini bikin hormon oksitosin (alias “hormon cinta”) bekerja lebih optimal dalam proses kontraksi dan persalinan. Jadi bukan cuma soal menemani, tapi benar-benar jadi bagian dari perjuangan lahirnya kehidupan baru.
Belum Semua Rumah Sakit Memberikan Akses
Sayangnya, di banyak rumah sakit Indonesia, terutama yang masih mengedepankan sistem medis konservatif, suami atau pasangan belum tentu diizinkan untuk masuk ruang bersalin.
Alasan akses langsung ini bisa beragam, mulai dari keterbatasan ruang, kekhawatiran sterilitas, sampai norma budaya yang menganggap melahirkan sebagai “urusan perempuan”.
Namun, di beberapa rumah sakit swasta dan bidan bersalin yang lebih modern, kehadiran pasangan sudah mulai dianggap penting. Bahkan ada yang menyediakan kelas persiapan melahirkan untuk suami-istri agar bisa saling memahami peran masing-masing. Ini langkah maju yang perlu terus didorong.
Maskulinitas dan Peran Gender
Di masyarakat kita, masih banyak laki-laki yang menganggap bahwa urusan melahirkan bukan tanggung jawabnya secara langsung. Ada anggapan bahwa laki-laki cukup cari uang, sedangkan istri urus rumah dan anak.
Padahal, ditegesin lagi nih, menjadi ayah bukan cuma soal memberi nafkah, tapi juga hadir secara emosional, terutama di momen penting seperti kelahiran anak.
Kita butuh redefinisi soal maskulinitas—bahwa menjadi kuat itu juga berarti berani menangis saat melihat anak lahir, berani pegang tangan istri saat dia kesakitan, dan tetap berdiri mendampingi di tengah jeritan dan air ketuban yang pecah.
Apa yang Bisa Dilakukan Pasangan?
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan suami saat istri akan melahirkan, bahkan dapat siapkan diri sebelum memasuk fase tersebut dengan ikut pelatihan. Diantara yang bisa dilakukan adalah ikut kelas persiapan melahirkan. Emang boleh? Boleh!
Banyak klinik dan rumah sakit kini menyediakan kelas ini. Jadi bukan istri doang yang sibuk, suami pun bisa belajar soal proses melahirkan, cara mendampingi, teknik pernapasan, sampai cara memijat agar istri lebih rileks.
Kiat berikutnya adalah membangun ruang diskusi yang terbuka dengan istri dan tenaga medis. Bicarakan keinginan untuk mendampingi istri di ruang bersalin. Komunikasikan ke bidan atau dokter kandungan sejak awal kehamilan agar bisa diatur.
Yang tidak kalah penting adalah menyiapkan mental dan emosi. Melihat proses melahirkan bisa menguras emosi, bahkan bikin syok. Tapi dengan kesiapan mental, pasangan bisa jadi support system terbaik buat sang ibu.
Menuju Sistem Kesehatan yang Lebih Ramah Keluarga
Pemerintah dan lembaga kesehatan bisa mulai membuka lebih banyak ruang bagi pendekatan persalinan yang berpusat pada keluarga (family-centered care). Ini termasuk melibatkan pasangan dalam proses kehamilan, melahirkan, hingga pasca persalinan.
Dukungan kebijakan semacam ini bukan cuma meningkatkan kesehatan ibu dan bayi, tapi juga memperkuat ikatan keluarga dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sejak hari pertama.
Melahirkan bukan sekadar momen biologis, tapi juga peristiwa emosional yang sangat besar. Pasangan yang hadir dan terlibat aktif bisa memberi kekuatan ekstra bagi ibu yang sedang berjuang antara hidup dan mati.
Dan, disinilah, saat suami hadir, bukan cuma bayi yang lahir—tapi juga lahirnya keluarga yang saling menguatkan, dari awal, bersama-sama.[]