
DI TENGAH dinamika sosial yang terus berubah, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, mencatatkan angka perceraian yang mengguncang dimana faktor ekonomi menjadi penyebab utama, menyumbang lebih dari separuh kasus.
Data dari Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro, seperti dikutip Parentnial dari kantor berita Antara, Senin (14/4/2025) mengungkap realitas yang kompleks, di mana tekanan finansial, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan judi online (judol) membentuk lingkaran masalah yang sulit diurai.
Data dan Tren Perceraian: 2023 vs. 2024
Pada tahun 2023, PA Bojonegoro mencatat 3.474 perkara yang diterima, dengan 3.334 di antaranya diputus. Dari total 2.562 perkara perceraian, sebanyak 1.385 kasus (54,1%) dipicu oleh faktor ekonomi.
Baca Juga
Sementara itu, pada tahun 2024, jumlah perkara yang diterima sedikit menurun menjadi 3.405, dengan 3.135 perkara diputus. Dari 2.465 perkara perceraian, faktor ekonomi menyumbang 1.102 kasus (44,7%).
Penurunan persentase ini menarik untuk dicermati: apakah ini menandakan perbaikan kondisi ekonomi atau pergeseran penyebab perceraian ke faktor lain?
Secara kuantitatif, jumlah perkara perceraian turun sebesar 3,8% dari 2023 ke 2024 (dari 2.562 menjadi 2.465). Namun, proporsi kasus berbasis ekonomi mengalami penurunan yang lebih signifikan, dari 54,1% menjadi 44,7%, atau selisih 9,4 poin persentase.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun ekonomi tetap dominan, faktor lain seperti KDRT dan judi online mulai mengambil porsi yang lebih besar.
Data per Maret 2025 menambah konteks yang mana sebanyak 755 perkara baru telah tercatat, menunjukkan bahwa tren perceraian tetap tinggi di awal tahun ini.
Wilayah Pinggiran sebagai Episentrum
Kepala PA Bojonegoro, Mufi Ahmad Baihaqi, menyoroti bahwa kasus perceraian akibat faktor ekonomi terkonsentrasi di wilayah pinggiran, seperti daerah dekat hutan dan tepian Sungai Bengawan Solo.
Kawasan ini umumnya memiliki akses terbatas terhadap peluang ekonomi, infrastruktur, dan layanan sosial.
Tekanan finansial di wilayah ini sering kali diperparah oleh ketidakstabilan pendapatan, seperti dari sektor pertanian atau pekerjaan informal, yang rentan terhadap perubahan musim atau pasar.
Data menunjukkan bahwa pada 2023, 1.385 dari 2.562 perkara (54,1%) berasal dari masalah ekonomi, sedangkan pada 2024, angka ini turun menjadi 1.102 dari 2.465 perkara (44,7%).
Penurunan ini bisa mencerminkan intervensi lokal, seperti bantuan sosial atau peningkatan kesadaran, meskipun data lanjutan diperlukan untuk memastikannya.
Ancaman yang Meningkat
Selain ekonomi, KDRT dan judi online muncul sebagai penyebab signifikan. Mufi mencatat adanya peningkatan kasus perceraian akibat judi online, yang sering kali memicu masalah lain seperti KDRT dan kriminalitas.
Meskipun data kuantitatif untuk KDRT dan judi online tidak dirinci, keterkaitan ini menunjukkan efek domino: kecanduan judi online dapat menguras keuangan keluarga, memicu konflik rumah tangga, dan berujung pada kekerasan atau perceraian.
Fenomena ini mencerminkan tantangan baru di era digital, di mana akses mudah ke platform judi online memperburuk kerentanan sosial-ekonomi.
Perbandingan Persentase dan Implikasinya
Mari kita bandingkan persentase secara lebih rinci. Pada 2023, faktor ekonomi menyumbang 54,1% dari total perkara perceraian, diikuti oleh KDRT dan judi online sebagai penyebab sekunder.
Pada 2024, porsi ekonomi turun menjadi 44,7%, menunjukkan diversifikasi penyebab perceraian. Jika kita asumsikan KDRT dan judi online mengisi sebagian besar sisanya (55,3% pada 2024), ini menandakan pergeseran pola konflik rumah tangga.
Penurunan jumlah perkara ekonomi sebanyak 283 kasus (dari 1.385 ke 1.102) sejalan dengan penurunan total perkara perceraian, tetapi proporsi penurunannya lebih tajam, mengisyaratkan bahwa faktor non-ekonomi semakin relevan.
Implikasi dari data ini signifikan. Pertama, intervensi ekonomi seperti pemberdayaan masyarakat pinggiran atau pelatihan keterampilan dapat mengurangi tekanan finansial yang memicu perceraian.
Kedua, meningkatnya kasus judi online menuntut regulasi yang lebih ketat dan kampanye kesadaran publik untuk mengatasi dampaknya. Ketiga, KDRT sebagai faktor sekunder menunjukkan perlunya layanan konseling dan perlindungan hukum bagi korban.
Refleksi dan Langkah ke Depan
Data dari PA Bojonegoro adalah cerminan tantangan sosial yang multidimensional. Ekonomi tetap menjadi akar masalah, tetapi munculnya judi online dan KDRT menambah lapisan kompleksitas.
Penurunan persentase kasus berbasis ekonomi dari 54,1% ke 44,7% adalah sinyal positif, namun angka 755 perkara baru hingga Maret 2025 mengingatkan kita bahwa masalah ini jauh dari selesai.
Dengan pendekatan berbasis data, pemerintah lokal, organisasi masyarakat, dan akademisi dapat merancang solusi yang terarah, mulai dari pemberdayaan ekonomi hingga edukasi digital.
Mari kita bersama-sama memahami angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cerita tentang keluarga, harapan, dan perjuangan. Dengan empati dan aksi nyata, Bojonegoro dapat membangun masa depan yang lebih harmonis. Semoga.[]