
SEORANG ibu curhat. Dia merasa bingung dengan perubahan yang dialami oleh anaknya. “Dulu anakku suka main bareng siapa aja. Sekarang, temennya harus yang ‘selevel’. Aku merasa kehilangan mereka…”
Kalimat ini mungkin relate banget buat sebagian orang tua. Dan itulah yang terjadi pada seorang ibu asal Inggris yang kisahnya viral lewat artikel The Telegraph dengan identitas diri yang sengaja disamarkan.
Perempuan ini curhat tentang suaminya yang secara perlahan mengubah anak-anak mereka menjadi snob—alias orang yang hanya mau bergaul dengan ‘yang sekelas’. Bukan karena nilai atau kepribadian, tapi karena status sosial.
Baca Juga
Fenomena ini sebenarnya nggak cuma terjadi di Inggris. Di Indonesia pun, bisa dibilang cukup lumrah. Tapi apa dampaknya buat anak? Dan harus bagaimana kita sebagai orang tua menyikapinya?
Elitisme Sosial Racun yang Terasa Manis
Masalah utamanya bukan sekadar soal anak ikut gaya hidup mewah. Tapi tentang bagaimana mereka diajarkan memandang orang lain.
Ketika ayah (atau ibu) mulai menyisipkan kalimat-kalimat seperti, “Main sama dia ngapain sih? Rumahnya aja sempit”, atau, “Kamu cocoknya sekolah di tempat yang anak-anaknya satu level sama kamu”. Apa yang akan terjadi?
Maka, tanpa sadar, dari kalimat kalimat semacam itu kita sedang menanamkan hierarki sosial di kepala mereka. Anak mulai belajar bahwa “aku lebih baik karena aku punya lebih banyak.”
Bahaya jangka panjangnya pun memiliki implikasi yang tidak sederhana, diantaranya, anak akan tumbuh dengan kepribadian arogan.
Anak juga akan sulit bersosialisasi secara sehat, tidak mampu berempati pada mereka yang ‘berbeda’, dan ironisnya, bisa terisolasi dari dunia nyata yang penuh keberagaman.
Semua Anak Terlahir Sama, Orang Tuanya yang Membentuk
Dalam banyak budaya, konsep kesetaraan sosial adalah nilai yang dijunjung tinggi. Islam, Kristen, Hindu, Buddha—semuanya menanamkan pentingnya rendah hati dan empati. Tapi sayangnya, sistem kapitalis modern kerap mengaburkan nilai ini.
Di zaman sekarang, branding sosial jadi sangat kuat. Sekolah mahal, baju branded, liburan ke luar negeri—jadi standar pencapaian orang tua. Akibatnya, anak pun belajar membandingkan dan menilai orang dari apa yang mereka punya, bukan siapa mereka sebenarnya.
Maka tugas tidak ringan orang tua adalah menjadi penyeimbang. Terutama jika salah satu dari pasangan mulai condong ke arah yang keliru.
Bukan Melarang, Tapi Menanamkan Nilai
Menghadapi pasangan yang tanpa sadar menanamkan snobisme memang tricky. Tapi bukan berarti nggak bisa. Berikut pendekatan yang bisa dicoba:
1. Ngobrol dari Hati ke Hati
Jangan langsung menghakimi. Ajak pasangan bicara dari sisi dampaknya ke anak. Tanyakan, “Kita mau anak kita dikenal sebagai pribadi seperti apa?”
2. Fokus pada Nilai, Bukan Barang
Tanamkan nilai ke anak lewat cerita, film, atau aktivitas sosial. Ajak mereka ikut kegiatan volunteer, main ke desa, atau sekadar ngobrol sama orang dari latar belakang berbeda.
3. Jadi Teladan
Anak lebih banyak meniru ketimbang mendengar. Tunjukkan bahwa kamu menghargai siapa pun tanpa melihat status. Mereka akan menyerap itu lebih kuat daripada nasihat.
4. Perbanyak Exposure Beragam
Jangan hanya ajak anak ke mal atau kafe mewah. Ajak juga ke tempat-tempat umum, taman kota, atau warung kaki lima. Ini bisa membangun empati dan kebiasaan melihat semua orang setara.
Menjadi orang tua bukan cuma soal menyediakan fasilitas terbaik, tapi juga mewariskan nilai hidup yang benar. Di tengah dunia yang makin materialistis, anak-anak kita butuh fondasi yang kuat agar tetap membumi.
Jangan biarkan mereka tumbuh jadi “raja kecil” yang merasa lebih tinggi dari orang lain. Karena dunia nyata bukan cuma milik mereka yang punya, tapi juga mereka yang tahu cara menghargai sesama.[]