
DI TENGAH perkembangan zaman yang menuntut kemampuan berpikir kritis, sebuah dikotomi yang keliru kerap muncul dalam wacana pendidikan: hafalan versus penalaran.
Dikotomi itu memandang seolah-olah menghafal adalah aktivitas rendah yang tidak sebanding dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti analisis atau sintesis.
Pandangan tersebut tidak hanya simplistik, tetapi juga berpotensi merusak fondasi pendidikan yang holistik.
Baca Juga
Beberapa waktu lalu, seorang akademisi dan figur publik dengan nada sinis mempertanyakan manfaat menghafal Al-Qur’an, seraya memprioritaskan penalaran sebagai kemampuan yang lebih esensial.
Pernyataan semacam ini mencerminkan miskonsepsi yang lebih luas, bahwa hafalan dan pemahaman tidak dapat berjalan beriringan.
Padahal, dalam konteks pendidikan Islam maupun umum, keduanya adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi.
Problematika Dikotomi Hafalan dan Penalaran
Hafalan sering kali dipandang sebagai aktivitas mekanis yang tidak membutuhkan kreativitas.
Dalam konteks pendidikan Islam, menghafal Al-Qur’an kerap dianggap sebagai rutinitas ritualistik yang kaku, terutama oleh mereka yang tidak memahami esensinya.
Namun, pandangan ini mengabaikan fakta bahwa hafalan adalah fondasi penting untuk membangun pemahaman yang mendalam.
Menghafal Al-Qur’an, misalnya, bukan sekadar mengulang ayat demi ayat, tetapi juga menanamkan nilai-nilai spiritual, moral, dan intelektual yang terkandung di dalamnya.
Hafalan yang dilakukan dengan pemahaman dapat menjadi jembatan menuju penalaran yang lebih tinggi, seperti menelaah makna ayat atau mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, glorifikasi berlebihan terhadap penalaran juga bermasalah. Penalaran tanpa dasar pengetahuan yang kuat—yang sering kali diperoleh melalui hafalan—akan menjadi rapuh.
Seorang pelajar tidak dapat menganalisis fakta sejarah tanpa menghafal peristiwa penting, begitu pula seorang hafiz tidak dapat menafsirkan Al-Qur’an tanpa menghafal ayat-ayatnya terlebih dahulu.
Oleh karena itu, dikotomi antara hafalan dan penalaran adalah kontraproduktif dan tidak mencerminkan realitas proses belajar yang kompleks.
Pernyataan sinis tentang manfaat menghafal Al-Qur’an, seperti yang dilontarkan oleh figur publik tertentu, mencerminkan ketidakpahaman tentang tujuan menghafal.
Jika seseorang merasa menghafal Al-Qur’an tidak bermanfaat, masalahnya bukan pada aktivitas menghafal itu sendiri, melainkan pada pendekatan pendidikan yang gagal menanamkan makna dan tujuan di baliknya.
Banyak peserta didik yang merasa tertekan oleh hafalan karena mereka tidak diajarkan untuk memahami substansi dari apa yang mereka hafal.
Akar masalah ini terletak pada sistem pendidikan yang memisahkan pengetahuan dari penerapan, hafalan dari pemahaman.
Tantangan Pendidikan Holistik
Dalam era digital, di mana informasi tersedia dalam hitungan detik, kemampuan menghafal sering dianggap usang. Mengapa menghafal jika Google dapat memberikan jawaban instan?
Namun, pandangan ini mengabaikan bahwa hafalan bukan sekadar menyimpan fakta, tetapi juga melatih disiplin mental, memperkuat memori, dan membangun fondasi untuk berpikir kritis.
Penelitian neurosains menunjukkan bahwa aktivitas menghafal, seperti menghafal Al-Qur’an, dapat meningkatkan konektivitas otak dan kapasitas kognitif, yang pada gilirannya mendukung kemampuan penalaran.
Di sisi lain, pendidikan modern cenderung mengutamakan keterampilan berpikir tingkat tinggi tanpa memberikan perhatian yang cukup pada penguasaan materi dasar.
Akibatnya kemudian, banyak peserta didik yang mampu berdebat atau menganalisis, tetapi kurang memiliki kedalaman pengetahuan.
Dalam konteks pendidikan Islam, fenomena ini terlihat dari semakin menurunnya minat untuk menghafal Al-Qur’an, terutama di kalangan generasi muda yang lebih tertarik pada tren teknologi atau media sosial.
Tantangan lain adalah rendahnya kualitas pengajaran di banyak lembaga pendidikan Islam. Banyak pesantren atau madrasah yang masih menggunakan metode hafalan secara kaku tanpa mengintegrasikan pemahaman kontekstual.
Hal ini membuat peserta didik merasa bahwa menghafal adalah beban, bukan aktivitas yang menyenangkan dan bermakna.
Padahal, jika diajarkan dengan pendekatan yang tepat—misalnya, dengan menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan realitas kehidupan sehari-hari—menghafal dapat menjadi pengalaman intelektualisme yang memperkaya jiwa.
Integrasi Hafalan dan Pemahaman
Untuk mengatasi dikotomi yang keliru ini, diperlukan pendekatan pendidikan yang mengintegrasikan hafalan dan pemahaman.
Dalam konteks menghafal Al-Qur’an, guru harus mengajarkan tidak hanya teknik menghafal, tetapi juga makna, tafsir, dan relevansi ayat dengan kehidupan modern.
Misalnya, ayat tentang keadilan sosial dapat dikaitkan dengan isu-isu kontemporer seperti ketimpangan ekonomi atau diskriminasi.
Dengan demikian, peserta didik tidak hanya menghafal teks, tetapi juga memahami esensi, mampu menerapkan dan kaya perspektif, serta berupaya menawarkan solusi yang relevan.
Pendekatan serupa juga berlaku dalam pendidikan umum. Menghafal fakta ensiklopedik, seperti tanggal-tanggal sejarah atau rumus matematika, harus diimbangi dengan diskusi tentang makna dan aplikasinya.
Guru harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, di mana peserta didik merasa bahwa hafalan adalah langkah awal menuju penemuan yang lebih besar, bukan tujuan akhir yang membingungkan.
Selain itu, penting untuk menanamkan pemahaman tentang tujuan menghafal sejak dini.
Anak-anak harus diajarkan bahwa menghafal Al-Qur’an bukan hanya untuk prestasi atau pengakuan sosial, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperkaya wawasan, dan membentuk karakter mulia.
Dengan pendekatan semacam ini, menghafal tidak lagi terasa sebagai tekanan, tetapi sebagai perjalanan spiritual dan intelektual yang penuh makna.[]