
KALAU kamu ngerasa jadi orang tua zaman sekarang tuh makin ribet, kamu nggak sendirian. Banyak orang tua, dari generasi milenial sampai gen Z yang baru punya anak, ngerasa overwhelmed.
Di satu sisi, pengen jadi orang tua terbaik, tapi di sisi lain, capek banget sama tekanan dari segala arah. Entah itu dari sosial media, omongan tetangga, sampai standar “parenting ideal” yang makin ke sini makin nggak realistis.
Fenomena ini pun tak luput dari sorotan Jessica Grose, kolumnis The New York Times, yang concern membahas topik keluarga dan budaya.
Baca Juga
Ibu dua anak ini telah meliput berita keluarga, kebijakan, dan budaya populer di banyak penerbitan termasuk Slate, New York Magazine, dan Jezebel sejak dia lulus dari Universitas Brown pada tahun 2004.
Dalam opininya belum lama ini ia menegaskan parenting dari dulu emang udah susah. Cuma bedanya, kata Jess, tantangan kita sekarang tuh beda jenisnya. Dan kalau kita liat dari konteks Indonesia, beban itu kadang malah kerasa dua kali lipat.
Dulu Susah, Sekarang Juga Susah (Tapi Beda)
Dulu, orang tua di Indonesia punya tantangan yang nggak kalah berat. Misalnya, harus kerja keras cari nafkah, ngurus anak banyak, belum lagi fasilitas kesehatan dan pendidikan yang minim. Tapi mereka punya satu hal yang sekarang mulai hilang: dukungan komunitas.
Waktu kita kecil, kalau orang tua lagi sibuk, ada kakek-nenek, tante, atau tetangga yang siap bantuin jaga. Tapi sekarang?
Banyak keluarga muda hidup di kota besar jauh dari keluarga, dan akhirnya ngasuh anak sendirian. Ditambah lagi, kultur individualis makin kuat, jadi minta bantuan pun kadang sungkan.
Memaksa Semua Serba Harus Sempurna
Zaman digital bawa berkah, tapi juga beban. Liat aja di Instagram atau TikTok: ada ibu-ibu yang kayaknya selalu semangat, anaknya rapi, rumah bersih, dan makanannya sehat semua. Padahal kita tahu, hidup nggak selalu seindah filter.
Tanpa sadar, banyak orang tua ngebandingin diri sama yang ada di layar. Mulai ngerasa bersalah kalau anak kebanyakan main HP, atau nggak bisa masak makanan sehat tiap hari. Padahal, tiap keluarga punya tantangan dan ritmenya sendiri.
Di sisi lain, tekanan buat ibu bekerja juga tinggi. Kadang dianggap “nggak ngasuh” karena kerja, tapi kalau full time di rumah juga dibilang “nggak produktif”. Serba salah, kan?
Sementara bapak-bapak juga nggak luput. Harus jadi pencari nafkah utama, tapi juga dituntut buat hadir secara emosional.
Generasi sekarang mulai sadar pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan, tapi sistem kerja di banyak tempat belum mendukung. Cuti ayah yang cuma beberapa hari? Ya gimana mau bonding?
Parenting Nggak Harus Sempurna
Satu hal yang perlu kita tanam bahwa parenting bukan soal kesempurnaan, tapi soal kehadiran. Anak-anak nggak butuh orang tua yang bisa semua hal. Mereka butuh orang tua yang peduli, mau belajar, dan mau ngobrol.
Kadang, kita cuma perlu jeda sejenak, tarik napas, dan sadar bahwa capek itu manusiawi. Nggak apa-apa kalau sesekali ngasih anak nonton YouTube biar kita bisa istirahat.
Nggak dosa juga kalau kita minta tolong orang lain buat jagain anak. Yang penting, jangan merasa gagal cuma karena hidup kamu nggak kayak postingan orang lain.
Balik Lagi ke Komunitas
Kalau dulu kita punya “kampung” buat bantu ngasuh anak, sekarang kita bisa bikin komunitas digital atau support group sendiri. Ada banyak komunitas parenting, baik online maupun offline, yang bisa jadi tempat curhat, belajar, atau sekadar ngobrol.
Daripada terus-terusan ngebandingin diri sama standar orang lain, mending fokus ke apa yang bisa kita lakuin hari ini. Sekali lagi, parenting itu maraton, bukan sprint.
Ya emang sih, ngasuh anak di era sekarang emang penuh tantangan, tapi bukan berarti kita harus jalan sendiri. Cari dukungan, ngobrol sama sesama orang tua, dan jangan lupa kasih ruang buat diri sendiri.
Parenting itu bukan lomba. Bukan siapa yang anaknya paling cepat bisa baca atau paling jarang tantrum. Tapi siapa yang bisa tetap hadir dan waras, buat dirinya dan anak-anaknya.[]