Jawaban Ketus Anak Bukan Tanda Durhaka, Tapi Isyarat Kejiwaan

Parentnial Newsroom

Parenting

TIDAK sedikit orang tua yang merasa tersinggung atau marah saat anak-anak menjawab balik dengan nada tinggi, atau tampak tidak sopan dalam komunikasi sehari-hari.

Dalam tradisi masyarakat kita yang menjunjung tinggi nilai hormat pada orang tua, perilaku seperti ini sering dianggap sebagai tanda pembangkangan atau kurang ajar.

Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, apa sebenarnya yang ingin disampaikan anak saat ia bersikap seperti itu?

Memahami anak bukan sekadar mendengarkan kata-katanya secara harfiah.

Justru dalam banyak kasus, anak-anak tidak mampu atau tidak berani mengungkapkan perasaannya secara langsung.

Mereka malu, takut disalahpahami, atau justru tidak tahu bagaimana merumuskan emosinya dalam bentuk ucapan.

Ketika akhirnya yang keluar hanya keluhan, bantahan, atau bahkan nada suara yang tinggi, sering kali itu adalah bentuk komunikasi tak langsung dari luka atau kebutuhan emosional yang belum terpenuhi.

Sebuah Pola yang Perlu Dibaca

Menurut laporan kanal parenting India Times yang mengulas sepuluh alasan mengejutkan mengapa anak-anak meninggi atau ketus saat menjawab orang tuanya, beberapa penyebab utamanya adalah stres, kurangnya perhatian, dan kebutuhan untuk merasa dihargai.

Mereka sebenarnya tidak sedang berniat melawan, tetapi tengah mencari ruang aman untuk menyampaikan keresahan.

Anak-anak hari ini hidup dalam tekanan yang tidak ringan: tuntutan akademik, dinamika sosial media, perbandingan sosial, hingga ekspektasi tinggi dari keluarga.

Mereka bisa merasa kesepian di tengah keramaian, merasa gagal saat tidak bisa memuaskan ekspektasi, atau merasa tidak didengar ketika berusaha mengutarakan isi hati.

Sayangnya, ketika respons mereka malah mendapat teguran atau bentakan, anak belajar bahwa membuka perasaan hanya akan berujung masalah.

Maka, mereka pun akhirnya memilih diam, memendam, atau lebih buruk lagi—curhat pada orang yang salah.

Jika sudah begitu, maka ini adalah titik rentan yang perlu diwaspadai.

Ketika kebutuhan emosional anak tidak dipenuhi oleh keluarganya, ia akan mencarinya di luar, bahkan jika itu berarti berteman dengan lingkungan yang tidak sehat.

Bahaya dari Ketidakmampuan Membaca Pesan Emosional Anak

Kita tidak bisa mengandalkan anak untuk selalu mampu mengartikulasikan emosinya secara dewasa.

Tanggung jawab itu mestinya ada pada kita, orang tua dan orang dewasa di sekitarnya.

Jika kita tidak bisa membaca pola komunikasi anak—ekspresi wajah, perubahan nada bicara, bahasa tubuh, atau pola perilaku—kita akan mudah terjebak pada penilaian dangkal.

Kita menyangka anak tidak sopan, padahal ia sedang sangat terluka. Kita menyangka anak keras kepala, padahal ia sedang butuh perhatian.

Dalam konteks kekinian, fenomena ini menjadi semakin mendesak untuk dipahami.

Laporan berbagai lembaga kesehatan mental menunjukkan tren peningkatan kasus depresi dan kecemasan pada anak dan remaja.

Mereka hidup di zaman di mana ekspektasi sosial meningkat, namun kapasitas untuk mengolah dan mengekspresikan emosi belum sekuat itu.

Jika kita masih menerapkan pendekatan komunikasi satu arah—hanya ingin didengar tanpa mau mendengar—maka sama saja kita sedang menciptakan jurang emosional dalam keluarga kita sendiri.

Bukan Sekadar Mendengar, Tapi Memahami

Orang tua perlu mulai membiasakan diri untuk membaca, bukan hanya mendengar.

Saat anak menjawab balik dengan emosi, jangan buru-buru memotong atau menilai.

Tahan ego. Dengarkan dulu, lalu ajak bicara saat situasi sudah tenang.

Tanyakan apa yang sebenarnya mereka rasakan.

Bantu mereka menyadari dan menyebutkan nama emosinya. Ajarkan bahwa marah, kecewa, dan sedih itu normal—asal tahu cara menyampaikannya.

Di sisi lain, penting juga bagi orang tua untuk mengevaluasi diri. Apakah kita sendiri memberikan contoh komunikasi yang sehat di rumah?

Atau, jangan jangan kita memperlakukan anak dengan respek yang sama seperti kita harapkan dari mereka? Sering kali, anak meniru pola komunikasi yang ia lihat dari orang tuanya.

Bangun Jembatan Sebelum Anak Membangun Tembok

Anak-anak tidak selalu tahu bagaimana cara mengutarakan isi hati. Mereka mengandalkan kita untuk membaca sinyal-sinyal halus yang mereka kirimkan.

Ketika mereka menjawab dengan nada tinggi, itu bukan panggilan perang—itu adalah panggilan perhatian.

Jika kita memilih cuek atau membalas dengan kemarahan, kita hanya akan mempertebal tembok di antara kita dan mereka.

Sebaliknya, jika kita belajar hadir sebagai pendengar yang empatik, pembaca sinyal yang peka, dan penuntun yang sabar, kita tidak hanya mencegah mereka jatuh ke pelukan pergaulan negatif, tetapi juga sedang membentuk generasi yang tahu bagaimana mencintai dan dicintai dengan sehat.[]

Baca Juga Lainnya

Analisa Data Tren Perceraian di Indonesia Tahun 2024, Bagaimana Persentasenya?

Parentnial Newsroom

DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ...

Nama Bayi Kembar Perempuan

50 Pasang Nama Bayi Kembar Perempuan Dan Artinya

Parentnial Newsroom

Di tengah euforia belanja perlengkapan bayi dan mempersiapkan kamar mungil mereka, ada satu hal penting yang nggak boleh terlewat: memilih ...

50 Nama Bayi Laki-Laki Modern 3 Kata Paduan Bugis, Barat, dan Arab

Parentnial Newsroom

MEMILIH nama untuk buah hati adalah salah satu momen paling menyenangkan sekaligus sakral bagi orang tua. Nama bukan sekadar identitas, ...

50 Nama Bayi Perempuan Unik 3 Kata Kombinasi Bugis, Eropa, dan Arab Penuh Makna

Parentnial Newsroom

MEMILIH nama untuk sang buah hati adalah momen istimewa yang penuh makna. Nama tidak hanya menjadi identitas, tetapi juga doa ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Membaca Ulang Angka Perceraian di Jawa Barat 2024, Siapa Paling Rentan?

Parentnial Newsroom

PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data ...