
DI TENGAH hiruk-pikuk kehidupan modern, kita kerap mengagumi mereka yang terlihat sibuk, produktif, dan penuh pencapaian. Sosok yang selalu on time, kerja keras, tak pernah mengeluh—bahkan jadi panutan di tempat kerja atau komunitas.
Tapi, bagaimana jika semua itu hanyalah topeng? Bagaimana jika di balik semangat dan senyuman itu tersimpan luka batin yang dalam?
Fenomena ini dikenal sebagai High-Functioning Depression atau depresi fungsional tinggi. Istilah ini merujuk pada kondisi mental di mana seseorang mengalami gejala depresi namun tetap mampu berfungsi secara normal, kerja tanpa lelah seperti kuda, bahkan luar biasa, dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga
Mereka mungkin terlihat baik-baik saja, namun diam-diam berjuang keras menahan beban mental yang tak terlihat. Kamu begitu?
Apa Itu High-Functioning Depression?
Berbeda dari gambaran depresi yang umum—seperti sulit bangun dari tempat tidur, tidak mampu bekerja, atau kehilangan semangat hidup—orang dengan depresi fungsional tinggi tetap menjalankan rutinitas dengan baik.
Mereka hadir di rapat tepat waktu, menyelesaikan deadline, bahkan bisa menghibur orang lain.
Namun, di balik semua itu, mereka merasa kosong, tidak bersemangat, mudah lelah secara emosional, dan kerap mengalami kecemasan berlebihan.
Mereka juga cenderung menggunakan pekerjaan atau kesibukan sebagai pelarian untuk menghindari emosi yang tidak nyaman atau trauma masa lalu.
Lambat laun, aktivitas yang seharusnya mendukung kualitas hidup justru berubah menjadi bentuk coping mechanism yang tidak sehat.
Mengapa Sulit Dikenali?
Karena masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari, depresi jenis ini sering kali tidak terdiagnosis. Bahkan oleh diri sendiri.
Banyak orang yang berpikir, “Aku baik-baik saja. Aku bisa bekerja, bisa tertawa, berarti aku tidak mungkin depresi.”
Padahal kenyataannya, depresi tidak selalu tampil dalam bentuk menangis di sudut kamar. Ia bisa menyamar menjadi kesibukan yang berlebihan, kebutuhan untuk selalu produktif, hingga perasaan bersalah ketika mengambil waktu istirahat.
Di tempat kita berada bahkan umumnya di Indonesia, stigma terhadap kesehatan mental masih cukup kuat. Banyak yang menganggap perasaan sedih atau cemas sebagai bentuk kelemahan iman, kurang bersyukur, atau sekadar “kurang hiburan.”
Suasaan semacam ini kemudian membuat banyak orang menyimpan beban sendiri, tanpa tempat bercerita atau meminta bantuan.
Ditambah lagi dengan budaya kerja keras yang ditanamkan sejak kecil—”kalau capek berarti kamu sedang produktif”, atau “orang sukses itu tidak punya waktu untuk mengeluh”.
Akibatnya, banyak individu yang memilih untuk menenggelamkan diri dalam pekerjaan sebagai cara untuk menghindari masalah emosional yang tidak terselesaikan.
Dampak Jangka Panjang dan Jalan Keluarnya
Jika tidak ditangani, high-functioning depression dapat menimbulkan dampak serius seperti stres berat alias burnout, gangguan kecemasan kronis, gangguan tidur, bahkan depresi mayor.
Selain itu, hubungan personal dan keluarga pun bisa terganggu karena ketidakseimbangan emosional dan kurangnya kehadiran yang tulus dalam relasi.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan sebagai jalan keluar atas permasalahan ini? Setidaknya ada 4 kiat yang dapat kita tempuh untuk mendeteksi lalu mencoba mengatasinya.
1. Kenali Tanda-Tandanya
Jika kamu merasa terus-menerus lelah secara emosional, sulit merasa puas atas pencapaianmu, atau merasa kosong meski terlihat “baik-baik saja”, bisa jadi itu tanda awal depresi fungsional.
2. Izinkan Diri Beristirahat
Produktivitas bukanlah tolok ukur utama nilai diri. Tidak apa-apa untuk istirahat. Tidak apa-apa untuk tidak selalu kuat. Memahami batas diri adalah bentuk keberanian.
3. Cari Dukungan Profesional
Konseling atau terapi bukan hanya untuk mereka yang “gila”. Justru, orang yang paling butuh bantuan sering kali adalah mereka yang terlihat paling tenang. Jangan ragu menghubungi psikolog atau psikiater jika kamu merasa butuh.
4. Bangun Kesadaran Kolektif
Sebagai masyarakat, mari mulai membuka ruang yang aman untuk saling mendengar dan memahami. Hindari memberi label negatif pada orang yang berbagi tentang masalah mentalnya.
Kita Butuh Kesejahteraan Emosional
Di negeri yang dikenal ramah namun juga penuh tekanan sosial ini, banyak dari kita terjebak dalam standar “tampak sempurna”. High-functioning depression menjadi fenomena yang diam-diam tumbuh di balik pencapaian dan senyuman.
Sudah saatnya kita lebih jujur terhadap diri sendiri, memberi ruang bagi rasa lelah, dan mengakui bahwa menjadi sehat secara mental adalah hak setiap orang.
Kita perlu membangun budaya yang tidak hanya menghargai produktivitas, tapi juga kesejahteraan emosional. Jika kamu sedang merasa lelah, ingatlah: tidak apa-apa untuk berhenti sejenak, menepi, dan kembali pada-Nya.[]