
PAGI itu, seperti biasa, rumah kami dipenuhi tawa kecil dari anak-anak yang bermain di ruang tamu. Aku, seorang ayah dari 4 anak, sedang terburu-buru karena kebelet buang air kecil.
Tanpa pikir panjang, aku berlari ke kamar mandi, lupa menutup pintu, dan langsung berdiri di depan toilet.
Di tengah “aktivitas” itu, tiba-tiba terdengar suara polos dari pintu yang terbuka, “Ayah, kok kencingnya berdiri?”
Baca Juga
Itu suara Alya, putriku yang akan beranjak masuk usia empat tahun, dengan wajah penuh keheranan.
Aku tersentak, wajahku memerah, dan buru-buru menutup pintu sambil tergagap menjelaskan, “Eh, ini… Ayah lupa, Nak.”
Malam harinya, Alya dengan polos menceritakan kejadian itu kepada ibunya. “Mama, Ayah kencing berdiri, padahal aku disuruh jongkok!” katanya dengan nada penasaran.
Istriku menahan tawa, tapi matanya menatapku dengan penuh makna. Aku tahu, ini bukan sekadar soal lupa menutup pintu, tapi juga tentang kebiasaan yang selama ini aku anggap remeh: kencing berdiri.
Alya, yang selalu diajarkan untuk buang air dengan jongkok karena alasan kebersihan dan kesehatan, jelas bingung melihat ayahnya melanggar “aturan” yang kami ajarkan.
Dalam banyak budaya, buang air sambil jongkok adalah kebiasaan turun-temurun.
Namun lebih dari sekadar tradisi, berbagai penelitian ilmiah menunjukkan bahwa posisi jongkok saat buang air, baik kecil maupun besar, memberikan banyak manfaat kesehatan.
Doktor dalam Bioteknologi Klinis dari Universitas Strathclyde yang banyak merancang kursi roda dan kursi penyangga, dr. Laura Finney, PhD, dalam penuturannya di laman British Bowel and Bladder UK (BBUK) , mengemukakan bahwa posisi jongkok membantu meluruskan sudut anorektal, sehingga memperlancar pembuangan limbah dari tubuh.
Hal itu berarti, risiko sembelit, wasir, hingga masalah usus lainnya dapat berkurang signifikan. Saat berdiri atau duduk tegak di toilet, sudut anorektal tetap tertahan, membuat pengeluaran tidak maksimal.
Bahkan, Laura yang juga merupakan Ilmuwan Klinis, menguraikan dalam konteks buang air kecil, terutama bagi laki-laki, berjongkok dapat membantu mengosongkan kandung kemih dengan lebih sempurna.
Buang air kecil berjongkok ini penting untuk mencegah infeksi saluran kemih serta mengurangi risiko pembentukan batu ginjal dalam jangka panjang.
Laura yang juga mendalami terapi pediatrik, menyebut posisi jongkok saat buang air kecil atau besar membantu tubuh untuk lebih rileks, mengurangi tekanan pada otot panggul, dan memperlancar proses eliminasi.
Posisi ini juga diklaim dapat mencegah masalah kesehatan seperti wasir, sembelit, dan bahkan infeksi saluran kemih.
Penelitian yang dikutip BBUK menunjukkan bahwa posisi jongkok memungkinkan sudut anorektal menjadi lebih lurus, sehingga proses buang air menjadi lebih alami dan efisien.
Namun, di tengah gaya hidup modern, kebiasaan jongkok saat buang air kecil atau besar semakin jarang dilakukan.
Toilet duduk yang kini mendominasi rumah-rumah urban telah menggeser tradisi jongkok yang dulu umum di banyak budaya, termasuk di Indonesia.
Aku sendiri, meski dibesarkan dengan toilet jongkok, sering kali memilih kencing berdiri karena alasan kepraktisan.
Tapi, kejadian bersama Alya membuatku sadar bahwa kebiasaan ini bukan hanya soal preferensi, tetapi juga tentang kesehatan jangka panjang dan teladan yang aku tunjukkan kepada anak-anakku.
Dari perspektif budaya, kencing berdiri bagi pria sering dianggap wajar, bahkan maskulin dalam beberapa konteks. Namun, ketika ditelusuri lebih dalam, posisi ini ternyata kurang optimal bagi tubuh.
Selain manfaat kesehatan yang telah disebutkan, jongkok juga meminimalkan percikan urin yang bisa mencemari lingkungan kamar mandi—sesuatu yang sering diabaikan.
Di era kesadaran lingkungan dan kesehatan yang semakin tinggi, mengadopsi kebiasaan jongkok bisa menjadi langkah kecil namun signifikan untuk hidup lebih sehat dan berkelanjutan.
Kejadian ini juga membuka diskusi di keluargaku tentang pentingnya privasi dan komunikasi.
Lupa menutup pintu kamar mandi adalah kesalahan kecil, tapi itu mengingatkanku untuk lebih mindful dalam tindakan sehari-hari, terutama di depan anak-anak yang sedang belajar dari setiap gerak-gerik orang tuanya.
Alya, dengan kepekaannya, mengajarkanku bahwa anak-anak tidak hanya meniru apa yang kita ajarkan, tetapi juga apa yang kita lakukan. Jika aku ingin dia menjaga kebersihan dan kesehatan, aku harus menjadi contoh yang konsisten.
Secara lebih luas, peristiwa ini juga bagi aku merefleksikan tantangan dalam mengubah kebiasaan di tengah arus modernisasi.
Toilet duduk, misalnya, sering dianggap simbol kemajuan, tetapi apakah kita benar-benar mempertimbangkan dampaknya terhadap tubuh kita?
Di sisi lain, kembali ke kebiasaan jongkok mungkin terasa asing bagi sebagian orang, terutama generasi muda yang terbiasa dengan fasilitas modern.
Namun, seperti yang telah banyak ditunjukkan, ilmu pengetahuan modern justru mendukung praktik tradisional ini. Mungkin sudah saatnya kita memadukan kearifan lama dengan kesadaran baru untuk menciptakan gaya hidup yang lebih sehat.
Kejadian kecil di kamar mandi itu, meski memalukan, adalah anugerah tersembunyi.
Ia mengingatkanku untuk lebih mindful, baik dalam menjaga privasi maupun memilih kebiasaan yang mendukung kesehatan.
Kencing jongkok, yang awalnya kuanggap sepele, ternyata memiliki manfaat besar bagi tubuh dan lingkungan.
Lebih dari itu, peristiwa ini mengajarkanku bahwa menjadi orang tua berarti terus belajar—bahkan dari keheranan polos seorang anak.
Tapi dengan mengadopsi posisi jongkok dan lebih disiplin menutup pintu, aku berharap bisa menjadi teladan yang lebih baik bagi Alya dan keluargaku.
Di tengah dunia yang terus berubah, kadang-kadang pelajaran terbaik datang dari momen-momen sederhana yang tak terduga.*/Andi A. Muhammad