
BARU baru ini publik kembali dikejutkan oleh temuan yang sangat mengkhawatirkan. Jajanan anak-anak yang beredar luas di pasaran ternyata mengandung unsur babi.
Kabar ini mencuat dari hasil uji laboratorium Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap sejumlah makanan ringan yang dijual bebas, khususnya produk yang dikonsumsi oleh anak-anak.
Seperti dikutip dari siaran Pers Nomor 242/KB.HALAL/HM.1/04/2025 di laman BPJPH, Senin (21/4/2025), produk produk mengandung babi itu adalah:
Baca Juga
- Corniche Fluffy Jelly Marshmallow (marshmallow aneka rasa leci,
jeruk, stroberi, dan anggur). - Corniche Marshmallow rasa apel bentuk Teddy (Apple Teddy
Marshmallow). - ChompChomp Car Mallow (marshmallow berbentuk mobil).
- ChompChomp Flower Mallow (marshmallow berbentuk bunga).
- ChompChomp Marshmallow bentuk tabung (marshmallow mini).
- Hakiki Gelatin (bahan tambahan pangan pembentuk gel).
- Larbee-TYL Marshmallow isi selai vanila (Vanilla Marshmallow
Filling). - AAA Marshmallow rasa jeruk.
- SWEETME Marshmallow rasa cokelat.
Temuan ini bukan hanya mencoreng nama baik produsen, tetapi juga menggambarkan realitas pahit, bahwa sistem jaminan halal kita masih jauh dari kata andal.
Skandal semacam ini bukanlah hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim sudah berkali-kali dikecewakan oleh lemahnya pengawasan produk makanan.
Di negeri yang mengklaim diri sebagai “pusat halal dunia”, ironi ini amat menyakitkan.
Jika makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh anak-anak pun bisa tercemar unsur haram, maka bagaimana mungkin kita bisa percaya pada sistem yang seharusnya melindungi keyakinan dan hak konsumen?
Kelalaian yang Terstruktur, Bukan Sekadar Kecolongan
Kita tidak bisa lagi menyebut kasus seperti ini sebagai “kecolongan”.
Dalam dunia industri pangan yang serba cepat dan kompleks, kealpaan dalam pengawasan bisa berakibat fatal.
Namun jika kealpaan itu terus berulang, maka ia sudah bertransformasi menjadi kelalaian sistemik.
Masalahnya bukan semata pada satu atau dua oknum produsen nakal, tetapi pada lemahnya sistem verifikasi dan audit sertifikasi halal di Indonesia.
Sertifikasi halal seharusnya bukan sekadar formalitas administratif, bukan pula sekadar stempel di kemasan. Ia adalah janji dan jaminan bahwa produk tersebut layak dikonsumsi oleh umat Islam.
Ketika janji ini dilanggar, ada pelanggaran hak yang nyata—hak atas kejelasan, hak atas kepercayaan, dan hak atas kebersihan produk secara syariah dan etika.
Dimana Peran Lembaga Pengawas dan Regulator?
Ketika produk mengandung babi bisa lolos ke pasaran dan dikonsumsi anak-anak, maka pertanyaan paling mendasar adalah di mana pengawasan dari lembaga terkait?
Apakah BPOM, MUI, dan Kementerian Agama sudah benar-benar menjalankan fungsi mereka dengan maksimal?
Ataukah, pengawasan hanya dilakukan secara insidental, setelah terjadi kasus dan tekanan publik?
Lebih menyedihkan lagi, label halal yang seharusnya menjadi simbol kepastian justru berubah menjadi ilusi.
Konsumen yang membeli produk dengan label halal berhak merasa aman. Namun ketika fakta berkata sebaliknya, maka krisis kepercayaan akan semakin dalam. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi.
Produsen Harus Bertanggung Jawab
Sayangnya, ketika skandal seperti ini terjadi, tanggapan produsen sering kali normatif: klarifikasi, permintaan maaf, dan janji akan melakukan evaluasi.
Namun, tentu saja itu tidak cukup. Produsen yang terbukti menyebarkan produk mengandung babi tanpa pemberitahuan harus dikenai sanksi tegas, bahkan pidana jika perlu.
Tindakan mereka telah merugikan jutaan konsumen secara spiritual, psikologis, dan moral.
Apalagi jika terbukti ada unsur kelalaian atau bahkan kesengajaan dalam pencampuran bahan.
Maka ini sudah masuk ranah penipuan konsumen dan pelanggaran etik industri pangan.
Penegakan hukum tidak boleh tebang pilih. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi standar utama.
Kita Butuh Reformasi Sertifikasi Halal
Peristiwa ini harus menjadi momentum untuk mereformasi total sistem jaminan halal di Indonesia.
Pengawasan harus diperketat, proses sertifikasi harus diperbarui, dan audit terhadap produsen harus dilakukan secara rutin, tidak hanya berdasarkan laporan publik.
Sistem yang baik adalah sistem yang bisa mencegah, bukan hanya bereaksi.
Pemerintah perlu mempertimbangkan pembentukan badan independen yang secara khusus mengawasi rantai produksi produk halal—dari bahan baku, proses, hingga distribusi.
Teknologi blockchain dan pelabelan digital bisa diadopsi untuk menelusuri jejak halal produk secara real-time. Di era digital ini, transparansi bukan hanya mungkin, tapi wajib.
Konsumen Kritis dan Kepercayaan Publik
Di sisi lain, konsumen juga perlu lebih kritis dan tidak mudah terlena oleh label semata. Namun, tanggung jawab utama tetap ada di pundak produsen dan negara
Edukasi masyarakat soal pentingnya memahami komposisi produk dan mengenali bahan-bahan berisiko harus ditingkatkan.
Rakyat tidak bisa dibiarkan menjaga dirinya sendiri dalam dunia industri yang tidak transparan.
Kepercayaan publik adalah modal sosial yang paling mahal. Sekali rusak, ia tidak mudah dipulihkan.
Kasus jajanan anak mengandung babi ini bukan hanya masalah agama atau pangan semata. Ini adalah krisis etika, tanggung jawab, dan keteladanan dalam pengelolaan industri konsumsi.
Jika negara serius ingin menjaga integritas sistem halal nasional, maka peristiwa seperti ini harus menjadi yang terakhir. Bukan diulangi, bukan ditoleransi.[]