
DI BALIK lebatnya hutan tropis Papua Barat, jauh dari gemerlap pusat industri modern, berdenyut sebuah harapan yang lahir dari akar tradisi dan ketekunan perempuan adat.
Di sana, di Desa Pangwadar, Kecamatan Kokas, Kabupaten Fakfak, sekelompok perempuan tangguh tengah menanam benih masa depan dari buah pala—komoditas warisan leluhur yang selama ini terpinggirkan.
Di barisan terdepan perjuangan ini, berdiri satu nama yang menjadi pelita bagi komunitasnya. Dialah Mama Siti, perempuan berusia 52 tahun yang tak hanya menanam, tetapi juga menumbuhkan harapan.
Baca Juga
Mama Siti bukanlah tokoh biasa. Ia adalah petani pala sekaligus dewan pengawas koperasi yang dipimpin oleh perempuan adat Papua Barat.
Senyumnya terkembang lebar tersimpan semangat besar untuk membalikkan nasib komunitas. Ia menjadi simbol ketelatenan dan inovasi, membawa para perempuan lainnya keluar dari bayang-bayang kemiskinan menuju ruang-ruang kemandirian ekonomi.
“Pohon pala di hutan Dusun Pala, rata-rata sudah banyak,” ujar Mama Siti. Kata dia, tugas laki-laki biasanya hanya memanjat pohon untuk mengambil buah yang sudah matang.
“Untuk pengolahannya, sejauh ini sudah ada 118 wanita yang membersihkan buah pala, memisahkan daging dan bijinya, lalu menjemurnya di bawah sinar matahari,” ujarnya, seperti dalam keterangan pers Contentro x Kaleka yang diterima media ini, Jum’at (25/4/2025).

Apa yang dilakukan Mama Siti bersama para perempuan adat bukan sekadar proses pertanian biasa. Ini adalah praktik ekologis yang sarat makna spiritual dan simbolik.
Bagi masyarakat adat Papua Barat, pohon pala bukan sekadar tanaman penghasil buah. Ia adalah “penjelmaan perempuan”—simbol kehidupan yang tak boleh disentuh sembarangan. Ada rasa hormat yang dalam, ada nilai luhur yang terikat kuat pada setiap batang pohon.
Sebelum musim panen tiba, masyarakat melakukan musyawarah adat atau wewowo. Dalam upacara ini, pohon pala secara simbolik “dikenakan kebaya”—pakaian tradisional perempuan—untuk menandai masa pematangan buah.
Pala yang masih muda disebut kera-kera, dan dilarang keras untuk dipanen.
Barulah setelah waktu panen tiba, “pakaian” itu dilepas dan masyarakat mulai memetik hasil alam yang telah masak secara alami.

Setelah itu, pohon-pohon dibiarkan beristirahat, memberi ruang bagi alam untuk memulihkan diri.
Namun kehormatan terhadap alam saja tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan hidup. Harga pala yang rendah dan tidak menentu menjadi beban berat bagi para petani.
Siklus panen yang hanya dua kali setahun membuat mereka harus berpikir keras untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.
“Harga pala seringkali fluktuatif dan tidak menentu tergantung musim,” kata Mama Siti lirih.
Dia menjelaskan, ketika harga turun, pendapatan dari pala hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. “Saat panen selesai, banyak dari kami terpaksa mencari pekerjaan lain demi kelangsungan hidup keluarga,” imbuh Mama Siti.
Bagi Mama Siti, pohon pala Tomandin bukan sekadar tanaman produktif. Ia adalah peninggalan yang sarat makna.
Pohon pala Tomandin, jelasnya, bukan sekadar pohon bagi mereka. Ini adalah warisan dari nenek moyang yang hidup dari generasi ke generasi untuk memberi kehidupan pada mereka.
“Saya hanya bisa mengatakan bahwa pala Tomandin adalah keajaiban bagi kami,” tegasnya.
Di tengah kesulitan ekonomi dan ketidakpastian pasar, muncul secercah cahaya melalui inisiatif Wewowo Lestari, sebuah program pemberdayaan yang digagas oleh Kaleka (sebelumnya Yayasan Inobu).

Organisasi nirlaba ini mengusung misi pengelolaan bentang alam dan laut yang berkelanjutan, dengan menjadikan masyarakat adat sebagai subjek, bukan sekadar objek perubahan.
Melalui pelatihan intensif dan pendampingan teknis, Kaleka membekali para petani perempuan dengan pengetahuan baru—cara-cara mengolah pala menjadi produk bernilai tinggi yang kini dilirik oleh industri parfum dunia.
Pala tidak lagi hanya menjadi hasil panen musiman, tetapi berubah menjadi emas hijau yang mampu menyambung hidup dan memperkuat posisi perempuan dalam tatanan sosial adat.
Mama Siti, dengan tangan yang kasar karena kerja keras dan mata yang menyimpan cahaya tekad, menjadi wajah dari kebangkitan perempuan adat Papua Barat.
Ia tidak sekadar memimpin proses produksi, tetapi memimpin perubahan pola pikir—bahwa perempuan adat bisa menjadi penggerak utama dalam pelestarian budaya, ekonomi, dan ekologi sekaligus.[]