
PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data perceraian menunjukkan pola yang mencengangkan—dari faktor penyebab hingga distribusi geografisnya.
Mari kita menyelami data ini dengan hangat dan penuh perhatian, membandingkan angka-angka antar-kota, dan merangkum apa yang bisa kita pelajari untuk masa depan yang lebih harmonis.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat (Jabar) yang bersumber dari Mahkamah Agung (Dirjen Badan Peradilan Agama) berjudul “Jumlah Perceraian Menurut Kabupaten/Kota dan Faktor Penyebab Perceraian (perkara) di Provinsi Jawa Barat, 2024”, kita disuguhi angka-angka tentang penyebab perceraian yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Baca Juga
Mari kita bedah dan bandingkan data ini untuk melihat peta sosial secara lebih dalam.
Kota vs Kabupaten: Siapa yang Paling Tinggi Angka Perceraiannya?
Kota Bandung mencatat total 7.109 kasus perceraian—tertinggi di seluruh Jawa Barat. Disusul Kota Bekasi (3.240 kasus), Kota Depok (2.775 kasus), dan Kota Cimahi (1.032 kasus).
Kabupaten yang paling tinggi angkanya adalah Kabupaten Bogor dengan 6.293 kasus, lalu disusul Indramayu (6.620 kasus) dan Garut (5.418 kasus).
Sebaliknya, daerah dengan jumlah perceraian terendah adalah Kota Banjar (620 kasus), Kota Cirebon (661 kasus), dan Kota Sukabumi (780 kasus).
Jika kita bandingkan secara kasar, maka kabupaten memang mendominasi dari segi jumlah karena populasi lebih besar, tapi kota-kota besar menunjukkan konsentrasi perceraian karena konflik internal yang intens dan kehidupan urban yang menekan.


Penyebab Perceraian: Pertengkaran Tak Berujung, Ekonomi, hingga Poligami
Data memperlihatkan bahwa penyebab paling umum adalah “perselisihan dan pertengkaran terus-menerus”. Contohnya:
- Kota Bandung: 6.550 kasus karena pertengkaran
- Kabupaten Bogor: 4.486 kasus
- Indramayu: 2.389 kasus
- Kota Bekasi: 3.279 kasus
- Kota Depok: 2.254 kasus
Penyebab ekonomi juga cukup signifikan:
- Kota Bandung: 1.663 kasus
- Kabupaten Garut: 3.925 kasus
- Kabupaten Ciamis: 3.069 kasus
- Kota Cimahi: 100 kasus
Sedangkan faktor-faktor seperti zina, mabuk, madat, dan judi juga muncul tapi dalam angka yang lebih kecil. Misalnya, Kabupaten Subang mencatat 6 kasus zina, sedangkan Kabupaten Bandung Barat dan Kota Sukabumi masing-masing mencatat 6 kasus juga.
Faktor lain seperti kekerasan dalam rumah tangga cukup tinggi di Kota Bandung (83 kasus) dan Bandung Barat (159 kasus). Ini memperlihatkan urgensi untuk intervensi sosial lebih dini.
Rasio dan Kategori Menarik
Kota Bekasi mencatat 3.240 kasus dari total penduduknya, dengan 14 kasus karena poligami, dan 309 karena ekonomi.
Kabupaten Karawang punya 3.562 kasus, dengan 58 karena mabuk dan 189 karena ditinggal salah satu pihak.
Kota Depok memiliki kasus perceraian karena kekerasan dalam rumah tangga yang relatif tinggi: 25 kasus, menunjukkan adanya tekanan rumah tangga yang signifikan meskipun secara ekonomi relatif lebih stabil.
Di sisi lain, Kota Banjar meskipun kecil, mencatat 16 kasus karena pertengkaran terus-menerus dan 111 kasus karena faktor ekonomi, menjadikannya salah satu daerah urban kecil dengan problematika rumah tangga yang cukup kompleks.
Dominan Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi menjadi penyebab dominan di banyak daerah, seperti Indramayu (4.229 kasus) dan Cirebon (4.131 kasus), sedangkan faktor “perkawinan terus” (konflik yang berkepanjangan) mendominasi di Bandung (6.550 kasus) dan Bogor (4.486 kasus).
Persentase faktor ekonomi di Indramayu mencapai 61,9% dari total kasusnya, jauh lebih tinggi dibandingkan Kota Banjar yang hanya 17,9%.
Sementara itu, kekerasan dalam rumah tangga lebih menonjol di Bandung Barat (5,6% dari total kasus) dibandingkan Bekasi (0,06%).
Poligami sebagai faktor perceraian cukup signifikan di Kota Depok (0,72%) dibandingkan Cianjur (0,07%). Data ini menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki dinamika sosial yang berbeda, dipengaruhi oleh faktor budaya, ekonomi, dan pendidikan.
Realitas Kehidupan Masyarakat Urban
Dari data tersaji ini memberikan potret mengenai rapuhnya institusi keluarga di tengah dinamika sosial yang cepat berubah.
Kota-kota besar menghadapi tekanan gaya hidup urban, sementara kabupaten harus menghadapi isu ekonomi dan pendidikan yang belum merata.
Tingginya angka perceraian karena pertengkaran menunjukkan lemahnya komunikasi dan manajemen konflik dalam rumah tangga. Sedangkan faktor ekonomi tetap menjadi bayang-bayang yang tak kunjung selesai.
Data ini juga menegaskan bahwa faktor ekonomi dan konflik berkepanjangan adalah pemicu utama perceraian di Jawa Barat.
Daerah dengan kasus tinggi seperti Bandung dan Indramayu perlu perhatian khusus dalam hal dukungan ekonomi dan mediasi keluarga.
Sementara itu, daerah seperti Banjar dan Cirebon, meski memiliki kasus lebih rendah, tetap membutuhkan upaya pencegahan melalui edukasi pernikahan.
Adapun saran yang dapat diberikan, pertama, pemerintah daerah dapat memperkuat program bantuan ekonomi untuk keluarga rentan.
Kedua, layanan konseling pernikahan harus lebih mudah diakses, terutama di daerah dengan tingkat “perkawinan terus” yang tinggi.
Ketiga, edukasi tentang pengelolaan konflik perlu digalakkan untuk mencegah perceraian di masa depan. Bersama, kita bisa menciptakan keluarga yang lebih harmonis di Jawa Barat.
Keempat, pemerintah daerah dan pusat perlu menjalin kolaborasi dengan tokoh agama dan masyarakat untuk memberikan ruang diskusi terbuka dan aman soal relasi rumah tangga.
Terakhir, data harus menjadi panduan kebijakan, bukan hanya laporan. Jika Anda tinggal di salah satu kota atau kabupaten di Jawa Barat, data ini adalah ajakan untuk peduli.
Ini bukan hanya tentang bagaimana keluarga lain hidup, tapi juga bagaimana kita merawat relasi paling mendasar dalam hidup kita—keluarga.[]