Menanti Intervensi Pemerintah Ditengah Demam MBDK yang Mengancam Kesehatan Anak dan Dewasa

Parentnial Newsroom

Kesehatan

KITA seperti hidup di tengah hujan deras minuman manis. Di mana pun kita melangkah — dari pusat perbelanjaan hingga sudut gang kecil — kedai minuman kekinian menjamur seperti jamur di musim penghujan.

Mulai dari boba, teh tarik, kopi susu gula aren, hingga varian soda buah-buahan, semuanya menggoda lidah kita dengan rasa manis yang sulit ditolak.

Ironisnya, bukan hanya orang dewasa yang tergoda, tapi anak-anak pun kini menjadi pasar yang sangat potensial bagi industri minuman ini.

Fenomena ini sebenarnya sudah menjadi perhatian kalangan medis dan ilmuwan.

Indonesia, sebagaimana telah diingatkan oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Dr. dr Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS, menduduki peringkat tertinggi di Asia Pasifik dalam konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Realitas ini mencemaskan, mengingat setiap 250 ml MBDK rata-rata mengandung 22,8 gram gula, setara dengan 45,6% dari batas asupan gula harian yang direkomendasikan Kementerian Kesehatan RI.

Survei Kesehatan Indonesia 2023 memperkuat keprihatinan ini, mengungkap bahwa 47,5% penduduk berusia di atas 3 tahun mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali sehari, sementara 43,3% lainnya melakukannya 1-6 kali seminggu.

Fenomena ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat dan urgensi intervensi kebijakan untuk melindungi kesehatan publik dari risiko penyakit tidak menular yang kian mengintai.

Fakta ini seharusnya menjadi alarm keras, mengingat tren konsumsi kita justru bergerak ke arah sebaliknya: semakin banyak, semakin sering, dan semakin muda usia penikmatnya.

Masalah ini semakin kompleks ketika kembali pada budaya kita yang memang akrab dengan rasa manis, dari teh manis panas di pagi hari hingga camilan sore yang sarat gula.

Namun, ledakan tren minuman kekinian memperparah situasi. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan lonjakan kasus diabetes tipe 2, bahkan pada kelompok usia remaja.

Sementara itu, penyakit ginjal kini masuk lima besar penyebab kematian di negara ini, di mana pola konsumsi gula menjadi salah satu faktor utama.

Yang lebih mengkhawatirkan, banyak konsumen yang tidak benar-benar tahu berapa banyak gula yang mereka konsumsi setiap kali membeli minuman segar dalam kemasan.

Label yang ada seringkali tidak cukup eksplisit, atau bahkan tersembunyi dalam istilah-istilah teknis yang tidak mudah dipahami oleh masyarakat umum.

Padahal, dengan pelabelan gizi yang jelas dan mencolok secara signifikan dapat mengubah perilaku pembelian.

Konsumen yang disuguhi informasi gamblang tentang kandungan gula cenderung memilih produk yang lebih sehat, atau setidaknya mengurangi frekuensi konsumsi.

Sayangnya, di sini regulasi soal label minuman ini masih longgar. Kita lebih sering disuguhi jargon seperti “alami”, “mengandung buah asli”, atau “rendah kalori”, tanpa penjelasan detil yang bisa membantu kita membuat keputusan cerdas.

Nahasnya, anak-anak yang belum memiliki kesadaran kesehatan yang matang, menjadi sasaran empuk iklan yang membungkus risiko kesehatan dalam kemasan warna-warni dan karakter lucu.

Melihat kenyataan ini, sudah saatnya kita sebagai masyarakat mendorong kebijakan yang lebih progresif.

Label eksplisit tentang kandungan gula, kalori, dan risiko kesehatan seharusnya menjadi standar pada setiap produk minuman manis, bukan sekadar pilihan.

Pemerintah dapat belajar dari beberapa negara seperti tetangga kita, Malaysia, yang meluncurkan kampanye ‘Kurang Manis’ guna mendorong masyarakatnya mengurangi konsumsi gula yang dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan.

Negeri jiran itu juga menerapkan bea cukai tinggi terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sejak 2019.

Kita pun menyambut langkah progresif pemerintah yang berencana menerapkan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) tahun ini, sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2025, yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 12 Februari 2025.

Lampiran kebijakan tersebut mencakup 23 rancangan peraturan pemerintah, dengan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Barang Kena Cukai MBDK pada urutan ketujuh, yang menandai komitmen untuk mengelola konsumsi berbasis kesehatan masyarakat.

Namun, tanggung jawab ini tidak semata-mata milik pemerintah atau produsen. Kesadaran konsumen juga menjadi kunci penting.

Kita perlu mulai bertanya pada diri sendiri apakah kenikmatan sesaat dari segelas minuman manis sepadan dengan risiko kesehatan jangka panjang?

Apakah kita rela anak-anak kita tumbuh di tengah budaya konsumsi yang justru menggerogoti masa depan kesehatannya?

Singkat kata, tren minuman manis yang kini mewabah di berbagai lapisan masyarakat memang menyenangkan secara sosial dan ekonomis.

Tapi di balik manisnya minuman segar itu, tersimpan risiko kesehatan serius yang tak boleh kita abaikan.

Sudah saatnya kita menggeser paradigma dari sekadar mencari kenikmatan menuju konsumsi yang lebih cerdas dan sadar kesehatan.

Label gizi yang transparan hanyalah langkah awal, yang lebih penting adalah membangun budaya baru di mana kesehatan menjadi prioritas utama dalam setiap tegukan yang kita ambil.

Mari kita berhenti sejenak sebelum membeli minuman manis berikutnya, dan bertanya, seberapa besar harga yang harus kita bayar untuk segelas kenikmatan ini?

Baca Juga Lainnya

Analisa Data Tren Perceraian di Indonesia Tahun 2024, Bagaimana Persentasenya?

Parentnial Newsroom

DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ...

Nama Bayi Kembar Perempuan

50 Pasang Nama Bayi Kembar Perempuan Dan Artinya

Parentnial Newsroom

Di tengah euforia belanja perlengkapan bayi dan mempersiapkan kamar mungil mereka, ada satu hal penting yang nggak boleh terlewat: memilih ...

50 Nama Bayi Laki-Laki Modern 3 Kata Paduan Bugis, Barat, dan Arab

Parentnial Newsroom

MEMILIH nama untuk buah hati adalah salah satu momen paling menyenangkan sekaligus sakral bagi orang tua. Nama bukan sekadar identitas, ...

50 Nama Bayi Perempuan Unik 3 Kata Kombinasi Bugis, Eropa, dan Arab Penuh Makna

Parentnial Newsroom

MEMILIH nama untuk sang buah hati adalah momen istimewa yang penuh makna. Nama tidak hanya menjadi identitas, tetapi juga doa ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Membaca Ulang Angka Perceraian di Jawa Barat 2024, Siapa Paling Rentan?

Parentnial Newsroom

PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data ...