
MENJADI seorang ibu kerap digambarkan sebagai pengalaman paling indah dan membahagiakan dalam hidup seorang perempuan.
Gambar-gambar penuh senyum, pelukan hangat, dan tawa anak sering kali mendominasi narasi tentang kehidupan seorang ibu.
Namun, bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa ia membenci setiap detik menjadi ibu?
Baca Juga
Pernyataan itu terdengar mengejutkan, bahkan menyakitkan bagi sebagian orang.
Tapi bagi sebagian perempuan, ini adalah kenyataan yang mereka jalani dalam diam—perasaan bersalah, lelah secara mental, dan terjebak dalam tekanan sosial yang tak memberikan ruang untuk kejujuran emosional.
Ibu dan Harapan yang Tak Realistis
Banyak ibu merasa terjebak antara tuntutan masyarakat dan kenyataan pribadi. Budaya populer sering memuja figur “supermom” yang bisa mengurus rumah, anak, suami, bahkan bekerja, tanpa terlihat lelah sedikit pun.
Pada akhirnya ketika seorang ibu tidak bisa memenuhi standar itu, ia bisa merasa gagal.
Pada kenyataannya, kehamilan, persalinan, dan membesarkan anak adalah perjalanan yang penuh tantangan, baik secara fisik maupun mental.
Kurangnya dukungan emosional, tekanan ekonomi, hingga hilangnya identitas diri bisa memicu perasaan depresi, kecemasan, dan bahkan penolakan terhadap peran keibuan itu sendiri.
Kisah Nyata yang Jarang Diceritakan
Di Inggris, seperti dilansir Mirror, seorang ibu dengan jujur mengakui bahwa ia membenci setiap detik menjadi ibu.
Meski mencintai anaknya, ia merasa kehilangan dirinya sendiri dan tidak menemukan kebahagiaan dalam rutinitas membesarkan anak.
Ia merindukan kebebasannya, waktu untuk diri sendiri, dan merasa bersalah karena perasaannya itu bertentangan dengan ekspektasi sosial.
Pernyataan seperti ini sering ditanggapi dengan kritik keras. Namun, di balik kalimat yang tampak keras tersebut, ada jeritan hati yang meminta pemahaman.
Jelas ibu tersebut tidak membenci anaknya—ia membenci situasi yang membuatnya merasa terkurung dan tidak bahagia.
Menormalkan Emosi yang Tidak Ideal
Salah satu masalah terbesar adalah tidak adanya ruang aman bagi para ibu untuk jujur tentang perasaan mereka.
Ketika seorang ibu mengatakan bahwa ia lelah, jenuh, atau bahkan menyesal menjadi ibu, respon yang paling sering muncul adalah penghakiman, bukan empati.
Padahal, validasi terhadap perasaan adalah langkah awal untuk penyembuhan.
Kita perlu menyadari bahwa menjadi ibu bukanlah hal yang mudah, dan tidak semua orang secara alami menyukai peran tersebut. Dan itu tidak membuat mereka menjadi ibu yang buruk.
Akhirnya, Menyimpan Semuanya Sendiri
Di lingkungan yang mungkin kita ketahui dan berada di dalamnya, tekanan terhadap ibu bahkan boleh jadi bisa lebih besar.
Norma budaya yang menjunjung tinggi peran ibu sebagai “tiang rumah tangga” membuat banyak perempuan enggan berbicara tentang penderitaannya.
Masalah kesehatan mental ibu, seperti baby blues atau postpartum depression, sering kali diabaikan atau dianggap sebagai “kurang bersyukur”.
Sayangnya, ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi justru membuat banyak ibu menyimpan semuanya sendiri, yang akhirnya berdampak buruk bagi dirinya dan anak-anaknya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap keibuan dengan perannya yang amat tidak sederhana. Berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan:
1. Bangun Ruang Diskusi yang Aman
Berikan ruang bagi para ibu untuk bercerita tanpa takut dihakimi. Dengarkan dengan empati, bukan dengan tuntutan moral.
2. Edukasi tentang Kesehatan Mental Ibu
Pemerintah dan tenaga medis perlu lebih gencar memberikan informasi dan layanan terkait kesehatan mental pasca melahirkan.
3. Libatkan Ayah dan Keluarga dalam Pengasuhan
Beban pengasuhan tidak seharusnya hanya di pundak ibu. Peran ayah, mertua, dan lingkungan sangat penting dalam menciptakan sistem pendukung.
4. Normalisasi Perasaan Campur Aduk
Tidak apa-apa merasa tidak bahagia setiap saat. Menjadi ibu tidak berarti harus selalu tersenyum. Emosi manusia kompleks, dan semuanya valid.
Menjadi ibu adalah perjalanan yang penuh warna—ada tawa, ada tangis, ada cinta, dan kadang ada perasaan ingin menyerah.
Daripada menghakimi, mari kita mulai membuka hati untuk mendengar. Karena terkadang, satu pelukan dan kata “kamu tidak sendiri” bisa menjadi penyelamat dalam gelapnya hari-hari seorang ibu.[]