
VASEKTOMI, sebuah prosedur kontrasepsi permanen untuk pria, belakangan menjadi topik hangat di media sosial.
Dipicu oleh diskusi netizen, topik ini mencuri perhatian karena menyentuh isu sensitif berkenaan dengan keputusan pribadi, tanggung jawab keluarga, hingga nilai-nilai budaya dan agama.
Menarik rasanya untuk mencermati mengapa prosedur ini memicu perbincangan seraya mencoba menimbang solusi alternatif lain yang barangkali dapat menjadi pilihan alternatif lain dari masalah ini.
Baca Juga
Apa Itu Vasektomi?
Vasektomi adalah prosedur bedah sederhana yang memutus saluran vas deferens, jalur yang membawa sperma dari testis ke uretra.
Dengan demikian, pria yang menjalani vasektomi tetap dapat ejakulasi, tetapi air maninya tidak lagi mengandung sperma, sehingga mencegah kehamilan.
Dalam artike Healthline (update 18/8/2018) yang ditulis oleh Stephanie Watson dan ditinjau secara medis oleh Holly Ernst, PA-C, disebutkan bahwa prosedur ini dianggap efektif hingga 99,9% dan sering dipilih sebagai solusi kontrasepsi permanen bagi pasangan yang tidak ingin memiliki anak lagi.
Meski terdengar praktis, vasektomi bukan tanpa risiko. Komplikasi seperti infeksi, pembengkakan, atau nyeri kronis, meskipun jarang, tetap ada.
Selain itu, keputusan untuk menjalani vasektomi sering kali dianggap berat karena sifatnya yang permanen, meskipun ada prosedur pembalikan (vasovasostomy) yang tidak selalu berhasil.
Mengapa Vasektomi Jadi Perbincangan?
Media sosial telah menjadi panggung bagi diskusi tentang vasektomi, baik dari sudut pandang medis, sosial, maupun moral.
Beberapa netizen memuji vasektomi sebagai bentuk tanggung jawab pria dalam perencanaan keluarga, terutama di tengah tekanan ekonomi dan populasi.
Namun, sebagian lain memandangnya sebagai langkah ekstrem yang bertentangan dengan nilai budaya atau agama, khususnya di masyarakat Indonesia yang masih kuat memegang tradisi dan ajaran agama.
Dari perspektif dialektik, perbincangan ini mencerminkan ketegangan antara modernitas dan tradisi. Di satu sisi, vasektomi menawarkan solusi praktis di era ketika biaya hidup melonjak dan perencanaan keluarga menjadi kebutuhan mendesak.
Di sisi lain, prosedur ini memicu pertanyaan etis, apakah memutus kemampuan reproduksi secara permanen selaras dengan fitrah manusia?
Pertanyaan tersebut lantas diperumit oleh stigma sosial, di mana pria yang memilih vasektomi kerap dianggap “kurang maskulin” atau melanggar norma budaya.
Antara Tantangan dan Dilema
Dalam konteks Indonesia modern, vasektomi setidaknya menghadapi beberapa tantangan unik. Pertama, kesadaran tentang kontrasepsi pria masih rendah dibandingkan kontrasepsi wanita seperti pil KB atau IUD.
Dikutip dari laman resmi BKKBN sebaimana laporan berita VOA (11/5/2020), menunjukkan bahwa hanya sekitar 0,2% pria di Indonesia yang memilih vasektomi sebagai metode KB, jauh lebih rendah dibandingkan penggunaan kontrasepsi wanita. Hal ini menunjukkan adanya hambatan budaya dan kurangnya edukasi.
Kedua, diskusi tentang vasektomi sering kali terjebak dalam polarisasi. Di media sosial, narasi cenderung terbagi antara dukungan penuh atau penolakan keras, tanpa ruang untuk dialog yang mendalam.
Padahal, keputusan menjalani vasektomi adalah urusan pribadi yang dipengaruhi oleh faktor kompleks seperti kondisi ekonomi, kesehatan, dan nilai-nilai keluarga.
Menghakimi mereka yang memilih prosedur ini tanpa memahami konteksnya hanya akan memperkeruh diskusi.
Tantangan Ketiga, dari sudut pandang kesehatan masyarakat, vasektomi sebenarnya bisa menjadi solusi strategis untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, terutama di daerah dengan angka kelahiran tinggi. Namun, tanpa pendekatan yang sensitif terhadap budaya dan agama, promosi vasektomi berisiko ditolak masyarakat.
Menimbang Kembali Al-‘Azl sebagai Solusi Alternatif
Dalam Islam, perencanaan keluarga bukanlah hal baru. Salah satu metode kontrasepsi yang dikenal sejak zaman Rasulullah SAW adalah Al-‘Azl, yaitu mengeluarkan sperma di luar vagina untuk mencegah kehamilan.
Metode ini disebutkan dalam hadis riwayat Muslim, di mana para sahabat mempraktikkan ‘azl dan Rasulullah tidak melarangnya, asalkan dilakukan dengan persetujuan istri.
‘Azl menawarkan solusi yang lebih fleksibel dibandingkan vasektomi karena tidak bersifat permanen dan tidak mengubah struktur tubuh.
Dari sudut pandang syariat, ‘azl dianggap lebih selaras dengan fitrah karena tidak mengganggu kemampuan reproduksi secara permanen. Selain itu, ‘azl tidak memerlukan intervensi medis, sehingga lebih mudah diakses dan bebas dari risiko komplikasi bedah.
Namun, ‘azl juga memiliki kelemahan. Tingkat efektivitasnya lebih rendah dibandingkan vasektomi, dengan risiko kehamilan sekitar 4-20% tergantung pada konsistensi penggunaan.
Selain itu, metode ini membutuhkan komunikasi dan kerja sama yang baik antara suami dan istri, yang mungkin tidak selalu mudah diterapkan.
Menimbang dengan Bijak
Vasektomi, seperti keputusan lain dalam hidup, adalah pilihan pribadi yang harus dihormati. Namun, diskusi publik tentang prosedur ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih bijak dan terinformasi.
Edukasi yang inklusif, yang mencakup sudut pandang medis, sosial, dan agama, dapat membantu masyarakat memahami vasektomi tanpa stigma atau polarisasi.
Dalam Islam, ‘azll menawarkan alternatif yang seimbang bagi pasangan yang ingin merencanakan keluarga tanpa mengambil langkah permanen.
Metode ‘azl ini mengingatkan kita bahwa solusi tradisional sering kali relevan dalam konteks modern, asalkan diterapkan dengan pemahaman dan komitmen.
Pada akhirnya, apakah memilih vasektomi atau ‘azl, yang terpenting adalah keputusan tersebut diambil dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap nilai-nilai yang diyakini.[]