
KEMISKINAN bukan hanya tentang angka statistik atau masalah ekonomi. Ia adalah realitas kompleks yang menyentuh aspek kehidupan paling mendasar, termasuk hak dan perlindungan anak.
Meskipun negara telah mengucurkan miliaran rupiah untuk program pengentasan kemiskinan atau bantuan tunai, kasus kekerasan terhadap anak justru tidak menunjukkan penurunan signifikan.
Hal ini menjadi sorotan penting, karena memperlihatkan bahwa intervensi ekonomi semata tidak cukup untuk memutus siklus kekerasan dalam rumah tangga miskin.
Baca Juga
Tanpa bermaksud menggeneralisir, dalam banyak temuan, keluarga yang hidup dalam tekanan ekonomi ekstrem cenderung lebih rentan melakukan kekerasan, baik karena stres kronis, ketidakstabilan psikologis, maupun ketiadaan dukungan sosial.
Mengapa Program Pengentasan Kemiskinan Tidak Langsung Menurunkan Kekerasan Anak?
Banyak yang beranggapan bahwa meningkatkan kesejahteraan keluarga otomatis akan memperbaiki kualitas pengasuhan anak. Namun, data menunjukkan korelasi yang lebih kompleks.
Program seperti tunjangan makanan atau bantuan tunai hanya memberikan dampak terbatas jika tidak dibarengi dengan intervensi sosial dan psikologis.
Salah satu faktor utama adalah stres keluarga. Ketika orang tua hidup dalam kecemasan terus-menerus soal kebutuhan dasar, potensi untuk kehilangan kendali emosional terhadap anak meningkat.
Kekerasan yang terjadi pun sering kali bukan karena niat jahat, tetapi sebagai bentuk letupan dari tekanan batin yang tidak tersalurkan dengan sehat.
Kondisi ini diperburuk dengan minimnya dukungan mental health (kesehatan jiwa) di kalangan masyarakat miskin. Tanpa akses terhadap konseling, edukasi pengasuhan, atau komunitas pendukung, keluarga rentan terjebak dalam siklus kekerasan antar generasi.
Apakah Kita Siap Menghadapi Masalah Ini?
Kita bukan tidak memiliki program perlindungan sosial. Program seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) telah menjadi instrumen penting untuk mengurangi angka kemiskinan. Namun, pertanyaannya, apakah program-program ini cukup untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak?
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa laporan kekerasan terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya. Ironisnya, sebagian besar pelaku adalah orang tua atau anggota keluarga terdekat.
Gejala ini menunjukkan bahwa rumah—yang seharusnya menjadi tempat paling aman—bisa menjadi ruang yang membahayakan, terutama dalam situasi krisis ekonomi.
Membangun Sistem Perlindungan Anak yang Holistik
Indonesia perlu memperluas pendekatan dalam menangani kemiskinan dan kekerasan anak. Bantuan finansial penting, tetapi tidak boleh berhenti di sana. Perlu ada integrasi lintas sektor, termasuk:
- Edukasi pengasuhan untuk orang tua penerima bantuan sosial, agar mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan membesarkan anak dengan pendekatan positif.
- Layanan konseling keluarga, khususnya di wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi, yang dapat membantu orang tua mengelola stres dan emosi.
- Peningkatan kapasitas kader posyandu, petugas PKH, dan pekerja sosial untuk mendeteksi dan merespon potensi kekerasan di tingkat komunitas.
- Kemitraan dengan organisasi masyarakat sipil, agar upaya perlindungan anak tidak bergantung sepenuhnya pada birokrasi.
Menyatukan Ekonomi dan Empati dalam Kebijakan Sosial
Indonesia tengah menghadapi masa transisi penting dalam pembangunan sosial. Untuk itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil menyadari bahwa kebijakan perlindungan anak tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-ekonomi keluarga.
Solusi terbaik bukan hanya memberikan uang, tapi juga menyediakan ruang aman bagi keluarga untuk tumbuh secara emosional dan spiritual.
Kita perlu mengubah cara pandang bahwa anak bukan hanya “korban” dari kemiskinan, tetapi juga agen masa depan yang harus dilindungi sejak dini.
Karenanya, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat secara emosional adalah investasi jangka panjang bagi ketahanan bangsa.[]