SIAPA bilang setelah menikah semua jadi gampang? Justru, banyak banget keputusan besar yang harus diambil bareng-bareng. Mulai dari soal pindah kota, karier siapa yang dikorbanin, mau punya anak kapan (atau malah nggak sama sekali), sampai soal keuangan.
Ada kisah menarik dari Don Kollisch seperti dia tulis di Huffpost tentang bagaimana dia dan istrinya ngadepin ini dengan pendekatan “negosiasi numerik”—alias masing-masing pasangan ngasih skor atau nilai ke pilihan yang ada. Tapi, gimana kalau itu diterapin di Indonesia yang budayanya beda banget?

Realita Pasangan Menikah di Indonesia
Di Indonesia, pernikahan masih erat banget sama budaya patriarki, keluarga besar, dan ekspektasi sosial. Misalnya, banyak perempuan yang masih harus “ngalah” demi karier suami, atau harus tinggal di kota kecil demi mengikuti tugas dinas pasangan. Belum lagi tekanan dari orang tua: “Kapan punya anak?”, “Kapan beli rumah?”, dan sebagainya.
Baca Juga
Tapi, sekarang makin banyak pasangan muda yang mulai sadar pentingnya komunikasi dua arah. Mereka nggak cuma asal ikut arus atau nurut budaya, tapi mulai buka obrolan soal “maunya kita apa sih sebagai pasangan?”
Belajar dari “Skor Pilihan” ala Don Kollisch
Don Kollisch dalam artikelnya di HuffPost cerita gimana ia bisa menghindari konflik besar dengan cara ngasih angka ke tiap keputusan yang lagi dipertimbangkan. Misalnya: suami pengen pindah ke luar kota buat karier, tapi istri punya karier yang lagi naik di kota sekarang. Mereka berdua ngasih skor dari 1 sampai 10 buat seberapa penting keputusan itu buat mereka masing-masing.
Kalau ternyata suami ngasih skor 9 (karier itu krusial banget buat dia), dan istri ngasih skor 5 (dia bisa tetap kerja remote atau cari peluang lain), maka bisa dicari kompromi yang lebih adil. Nggak pakai emosi, tapi pakai data dari perasaan masing-masing.
Bisa Nggak Sih Diterapin di Indonesia?
Jawabannya: bisa banget, asal dua-duanya open-minded. Di Indonesia, kita sering banget diajarin buat “ngalah” atau “ikut aja kata pasangan.” Tapi kalau terus begitu, lama-lama salah satu bisa merasa dipendam dan akhirnya meledak juga.
Dengan pendekatan kasih skor atau nilai ke pilihan hidup, pasangan bisa lebih terbuka dan jujur. Ini bukan berarti hubungan jadi kayak robot atau kayak voting DPR, tapi lebih ke: masing-masing suara dihargai, dan keputusan dibuat bareng.
Contohnya, si A pengen banget kuliah S2 di luar negeri, sementara pasangannya udah nyaman kerja di Jakarta. Nah, daripada langsung ribut, mending dua-duanya duduk bareng dan diskusi.
Kasih nilai ke opsi: S2 di luar negeri vs tetap tinggal di Jakarta. Cari tahu, mana yang lebih penting buat siapa, dan bagaimana dampaknya buat keluarga mereka ke depan.
Pentingnya Komunikasi dan Empati
Kunci dari semuanya tetap di komunikasi dan empati. Tanpa dua hal ini, teknik kayak apa pun nggak akan jalan. Luangkan waktu buat ngobrol serius tapi santai.
Bikin suasana nyaman, nggak saling menyalahkan. Kadang, obrolan ini bisa dimulai dari pertanyaan simpel: “Kamu sebenarnya pengin hidup kayak gimana dalam 5 tahun ke depan?”
Empati juga penting banget—coba lihat dari sudut pandang pasangan. Kadang, kita terlalu fokus sama keinginan pribadi sampai lupa kalau hubungan itu tentang dua kepala, dua hati, dan dua jalan hidup yang dijadiin satu.
Harus Tetap Realistis
Satu lagi yang sering jadi sumber konflik adalah ekspektasi yang nggak realistis. Banyak pasangan muda yang mikir hidup setelah nikah bakal mulus kayak sinetron.
Padahal, keputusan besar kayak ganti karier, pindah kota, atau ngurus anak itu bisa jadi tantangan berat. Maka penting banget buat ngobrolin semua ini dari awal, bahkan sebelum nikah.
Perlu dipahami setiap pasangan bahwa pernikahan bukan tentang siapa yang menang atau siapa yang ngalah, tapi tentang gimana caranya dua orang bisa bikin keputusan bersama tanpa saling mengorbankan diri. Teknik negosiasi numerik bisa jadi alat bantu buat pasangan di Indonesia juga, asal disesuaikan dengan budaya dan komunikasi yang tulus.
Jadi, lain kali kalian dan pasangan lagi debat soal keputusan penting, coba deh diskusiin pakai metode “skor.” Siapa tahu, itu bisa jadi jalan tengah yang lebih adil dan bikin hubungan makin kuat.[]