
NARASI tentang ibu tiri sering kali dipenuhi stigma negatif. Dari ibu tiri Bawang Putih, dongeng klasik seperti Snow White hingga mitologi kuno tentang Medea, ibu tiri kerap digambarkan sebagai sosok jahat, manipulatif, dan penuh intrik.
Stereotip ini tidak hanya bertahan dalam cerita rakyat, tetapi juga merasuki budaya populer dan persepsi masyarakat modern.
Kolom yang diterbitkan The Guardian pada 19 April 2025 oleh Kate Maltby menyoroti realitas ini, mengungkap bagaimana stigma “ibu tiri jahat” masih menghantui wanita yang menjalani peran ini, bahkan di era yang seharusnya lebih terbuka terhadap dinamika keluarga modern.
Baca Juga
Akar Sejarah dan Dampaknya
Secara historis, stereotip ibu tiri jahat muncul dari realitas sosial di masa lalu.
Tingginya angka kematian ibu saat melahirkan membuat banyak ayah menikah lagi, menempatkan wanita baru dalam posisi yang kompleks: mengasuh anak-anak dari pernikahan sebelumnya.
Dalam banyak kasus, konflik kepentingan, seperti warisan, memicu ketegangan yang kemudian diabadikan dalam cerita-cerita rakyat.
The Guardian menyebutkan bahwa dongeng Grimm, misalnya, sengaja mengganti “ibu kandung jahat” dalam tradisi lisan menjadi “ibu tiri jahat” untuk memisahkan emosi anak terhadap ibu kandung mereka yang ideal dari konflik dengan sosok ibu yang masih hidup.
Di era modern, stereotip ini terus hidup melalui media. Penelitian dari Anglia Ruskin University, yang diulas dalam artikel tersebut, menganalisis 450 jam tayangan televisi dan film klasik, menemukan bahwa ibu tiri sering digambarkan sebagai “bossy”, “strict”, atau “heartless”.
Representasi ini tidak hanya memengaruhi persepsi anak-anak, tetapi juga membuat ibu tiri merasa tertekan untuk menghindari stigma tersebut, bahkan hingga mengorbankan otoritas atau batasan yang sehat dalam keluarga.
Tantangan Ibu Tiri di Era Kekinian
Survei yang dikutip The Guardian menunjukkan bahwa 43% ibu tunggal enggan menjalin hubungan dengan pria yang sudah memiliki anak karena takut dianggap sebagai “ibu tiri jahat”.
Sementara itu, 37% secara eksplisit menyebutkan ketakutan bahwa anak pasangan mereka akan memandang mereka sebagai sosok negatif.
Data ini, meskipun berasal dari aplikasi kencan, mencerminkan kecemasan nyata yang dihadapi wanita dalam dinamika keluarga campuran (blended family).
Di Indonesia, di mana nilai keluarga besar masih kuat, tantangan ini bisa terasa lebih berat.
Norma budaya sering kali menuntut ibu tiri untuk langsung berperan sebagai “ibu” tanpa mempertimbangkan proses adaptasi emosional yang dibutuhkan oleh semua pihak.
Media sosial juga memperumit situasi ini. Di platform seperti Instagram atau TikTok, narasi tentang keluarga campuran sering kali diromantisasi atau, sebaliknya, dipenuhi drama yang memperkuat stereotip.
Ibu tiri yang berusaha membangun hubungan positif dengan anak tiri sering kali merasa berada di bawah pengawasan publik, baik dari keluarga besar, teman, maupun komunitas daring.
Tekanan untuk menjadi “ibu sempurna” tanpa cela membuat banyak ibu tiri ragu untuk menetapkan batasan atau menegakkan disiplin, yang justru dapat melemahkan dinamika keluarga.
Langkah Menuju Harmoni
Untuk mengatasi stigma ini, diperlukan perubahan narasi yang melibatkan media, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan.
Pertama, representasi ibu tiri dalam media perlu lebih beragam.
Alih-alih hanya menampilkan mereka sebagai antagonis, film dan serial televisi dapat mengeksplorasi kisah ibu tiri yang penuh kasih, berjuang melawan tantangan emosional, dan berhasil membangun ikatan dengan anak tiri mereka.
Di Indonesia, sinetron atau film keluarga, salah satunya, yang populer dengan jargon “Sinetron Indosiar”, bisa memainkan peran besar dalam hal ini dengan menampilkan cerita yang realistis dan manusiawi.
Kedua, komunikasi terbuka dalam keluarga campuran sangat penting.
Ibu tiri perlu diberi ruang untuk membangun hubungan dengan anak tiri tanpa tekanan untuk langsung menggantikan peran ibu kandung.
Pendekatan ini membutuhkan kesabaran dari semua pihak, termasuk pasangan dan anak-anak.
Dalam konteks di negara kita, melibatkan keluarga besar dalam diskusi awal tentang dinamika keluarga campuran dapat membantu mengurangi miskomunikasi dan ekspektasi yang tidak realistis.
Ketiga, dukungan psikologis bagi ibu tiri harus lebih mudah diakses.
Konseling keluarga atau komunitas dukungan daring dapat membantu ibu tiri mengelola tekanan emosional dan menemukan strategi untuk membangun hubungan yang sehat.
Di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, layanan semacam ini sudah mulai tersedia, tetapi perlu diperluas ke daerah lain.
Menghadirkan Ruang Bagi Ibu Tiri Tanpa Stigma
Stigma ibu tiri jahat adalah warisan budaya yang terus menghambat pembentukan keluarga campuran yang harmonis.
Meskipun akarnya terletak pada sejarah dan dongeng, dampaknya terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari, dari ketakutan untuk menjalin hubungan hingga tekanan untuk menjadi “ibu sempurna”.
Namun, dengan mengubah narasi melalui media yang lebih inklusif, komunikasi terbuka dalam keluarga, dan dukungan psikologis yang memadai, kita dapat menciptakan ruang bagi ibu tiri untuk diterima sebagai bagian dari keluarga tanpa stigma.
Bagi wanita yang sedang atau akan menjadi ibu tiri, saran saya adalah jangan biarkan stereotip menghalangi langkah Anda menuju cinta sejati.
Bangun hubungan dengan anak tiri secara bertahap, tetapkan batasan yang sehat, dan cari dukungan dari komunitas atau profesional jika diperlukan.
Untuk masyarakat, mari kita hentikan narasi usang tentang ibu tiri jahat dan mulailah merangkul keragaman dinamika keluarga modern. Cinta sejati, dalam segala bentuknya, selalu layak diperjuangkan.[]