
HARI hari ini, gangguan kecemasan (anxiety disorder) telah menjadi momok diam-diam yang menggerogoti kehidupan banyak orang.
Menurut World Health Organization (WHO), badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas membidangi kesehatan global, pada tahun 2019, 301 juta orang hidup dengan gangguan kecemasan termasuk 58 juta anak-anak dan remaja.
Gangguan kecemasan ini merupakan salah satu bentuk gangguan mental paling umum di dunia, memengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku. WHO menyebut, 1 dari 8 orang di dunia hidup dengan gangguan mental.
Baca Juga
Kecemasan bukan sekadar rasa khawatir biasa—ia melumpuhkan. Ia menyabotase rasa percaya diri, menciptakan bayang-bayang kegagalan, dan membungkus pikiran dengan asumsi-asumsi negatif yang tidak pernah benar-benar terjadi.
Namun di balik hiruk pikuk terapi kognitif, obat penenang, dan meditasi mindfulness, kita sering lupa bahwa manusia tidak hanya terdiri dari tubuh dan pikiran, tetapi juga ruh.
Di sinilah tulisan ini mengajak kita untuk merenungkan, mungkinkah istighfar, sebagai bentuk kembali ke dalam diri dan kepada Tuhan, menjadi paradigma baru dalam menyembuhkan kecemasan?
Krisis Makna di Balik Gangguan Kecemasan
Kita hidup di zaman yang memuja ‘produktivitas’, kesuksesan, pencapaian, dan validasi. Dalam sistem nilai seperti ini, kegagalan, keraguan, dan rasa lemah dianggap sebagai dosa sosial.
Maka tidak heran, ketika seseorang merasa tidak mampu, tidak cukup cepat, atau tidak sekuat yang diharapkan masyarakat, muncul perasaan terasing—bahkan dari dirinya sendiri.
Di sinilah kecemasan menemukan ruang subur untuk tumbuh. Saat kita merasa harus mengendalikan segalanya, padahal kenyataannya, kita hanyalah manusia biasa.
Di sini juga kita acapkali lupa bahwa menjadi lemah bukanlah kesalahan, dan tidak tahu arah bukanlah kehinaan.
Istighfar Bukan Sekadar Permintaan Maaf
Dalam tradisi spiritual Islam, istighfar secara literal berarti “memohon ampun”, namun maknanya jauh lebih dalam. Istighfar adalah tindakan kesadaran.
Ia adalah momen ketika kita mengakui sepenuhnya bahwa kita lemah, tidak tahu arah, dan sering kali tersesat dalam ilusi kekuatan diri.
Namun, dari pengakuan kelemahan inilah justru kekuatan sejati dilahirkan.
Saat seseorang berkata dalam hatinya, “Ya Allah, aku lemah, aku tidak bisa, aku butuh Engkau,” maka sesungguhnya ia sedang keluar dari jerat kecemasan paling hakiki, yaitu kesombongan tersembunyi, bahwa ia harus mampu mengendalikan segalanya sendiri.
Dengan istighfar, kita kembali ke dalam. Kita menyentuh bagian terdalam dari eksistensi kita, di mana ada ruang sunyi yang hanya bisa diisi oleh kehadiran Tuhan.
Paradigma Baru Mengatasi Masalah Kecemasan
Dalam psikologi modern, terapi kognitif berusaha menantang pikiran negatif dan menggantinya dengan afirmasi positif. Namun kadang-kadang, kalimat seperti “aku bisa”, “aku kuat”, justru terasa palsu ketika diucapkan oleh seseorang yang sedang tenggelam dalam kecemasan.
Bagaimana jika kita membalik paradigma ini?
Bagaimana jika afirmasi positif itu justru berbunyi: “Memang aku lemah dan tidak berdaya, tapi aku punya Tuhan yang Maha Besar, yang akan menyelesaikan semua masalahku”?
Ini bukan bentuk pelarian atau fatalisme. Ini adalah bentuk tertinggi dari keikhlasan.
Dalam istilah psikospiritual, ini adalah penyerahan total (tawakkal) yang sehat, bukan pasif. Ia tidak mematikan usaha, justru memurnikannya dari beban ego.
Hari ini, kita melihat bukan hanya generasi muda yang semakin cemas. Media sosial menjadi panggung pembanding abadi; setiap orang tampak bahagia, sukses, dan berdaya, sementara kita sendiri merasa seperti selalu tertinggal.
Sayangnya, pendekatan konvensional sering kali hanya menyentuh permukaan. Obat pereda cemas mungkin meredakan gejala, tapi tidak menyentuh akar, yakni kekosongan spiritual.
Istighfar menawarkan jawaban yang sederhana namun esensial yang membawa manusia pada kesadaran bahwa tak ada satu pun yang benar-benar bisa ia kontrol, kecuali responsnya terhadap keadaan. Dan, di situlah titik balik dimulai.

Kembali Pulang pada Diri dan Tuhan
Gangguan kecemasan sejatinya bukan hanya masalah psikologis belaka. Ia adalah krisis eksistensial yang meminta manusia untuk kembali bertanya: siapa aku? siapa yang memegang kendali? ke mana aku harus kembali?
Paradigma baru melalui istighfar adalah sebuah ajakan untuk “kembali ke dalam”, mengakui keterbatasan diri bukan sebagai aib, tetapi sebagai pintu menuju kekuatan yang lebih tinggi.
Sebab, saat seseorang jujur mengakui kelemahannya di hadapan Tuhan, maka saat itulah ia sedang dikuatkan. Karena ia menyadari dirinya adalah makhluk (dicipta) yang dikuasai oleh Sang Pencipta (al khaaliq).
Mari kita ubah cara pandang kita, bukan dengan menolak kelemahan, tapi dengan merangkulnya sebagai jalan pulang menuju Tuhan Yang Maha Besar. Di sanalah, semua kecemasan akan larut, tak bersisa.[]
*) Coach Asep Supriatna, penulis adalah dai trainer di lembaga pelatihan dan motivasi Human Institute (Humanis). Ikuti kelas coaching clinic Humanis dengan mendaftar di sini.