
KAMU pernah denger istilah “peacock parenting”? Bukan, ini bukan tentang burung merak yang suka pamer bulu. Tapi gaya parenting baru yang lagi rame dibahas di internet karena dianggap over the top alias lebay.
Peacock parenting adalah gaya pengasuhan di mana orang tua terlalu fokus pada penampilan atau pencapaian anak-anak mereka — baik secara fisik, prestasi, maupun eksistensi di media sosial. Anak dijadikan semacam “trophy” yang harus selalu tampil sempurna di depan publik, entah itu di dunia nyata atau online.
Kalau di Indonesia, ini mirip kayak ortu yang suka pamer nilai rapor anak di Instagram, bikin akun khusus buat anak sejak bayi, atau selalu update soal pencapaian anak ke grup WhatsApp keluarga. Sounds familiar?
Baca Juga
Kenapa Ini Jadi Masalah?
Sekilas sih gak ada yang salah ya, namanya juga bangga sama anak sendiri. Tapi masalahnya muncul ketika kebanggaan itu jadi obsesi. Anak jadi tertekan, ngerasa harus selalu “on” dan gak punya ruang buat gagal.
Netizen luar negeri udah mulai resah karena gaya parenting ini bisa berdampak buruk ke mental anak. Apalagi di zaman sekarang, tekanan dari sosial media tuh gila-gilaan. Anak-anak bisa tumbuh dengan mindset “gue harus sempurna” atau “gue harus selalu bikin orang tua bangga” — padahal hidup gak sesimpel itu, yekan.
Di Indonesia sendiri, tren ini makin kelihatan. Mulai dari orang tua yang daftarin anak les dari umur 2 tahun, sampe yang sibuk bikin anak viral di TikTok. Gak salah sih kalau tujuannya positif, tapi kalau udah jadi ambisi pribadi orang tua? Nah, itu baru bahaya.
Apa Bedanya Sama Gaya Parenting Lain?
Biar gak bingung, yuk kita bedain sama beberapa gaya parenting lain. Kita pernah denger istilah Helicopter parenting yang mengidentifikasi ortu yang super protektif dan selalu “ngejagain” anak dari atas, takut anak gagal atau kenapa-kenapa.
Kemudian ada Tiger parenting, gaya didikan super disiplin, keras, dan fokus banget ke prestasi akademis. Nah, Peacock parenting adalag ortu yang fokus banget ke pencitraan dan penampilan anak, baik secara fisik maupun sosial.
Jadi bisa dibilang peacock parents itu kayak manajer artis pribadi buat anak-anak mereka.
Dampaknya ke Anak? Bisa Ngeri Juga
Penelitian dan psikolog anak bilang, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan “peacock” ini bisa kehilangan jati diri karena selalu berusaha jadi versi “sempurna” sesuai ekspektasi orang tua.
Anak yang berada dalam kungkungan “peacock” akan gampang stres, cemas, dan takut gagal. Bahkan, yang lebih parah, anak akan ngerasa nilai dirinya ditentukan dari pencapaian, bukan dari siapa mereka sebenarnya.
Dampaknya kemudian diantaranya adalah anak jadi gak punya kesempatan buat belajar dari kesalahan, karena semua harus selalu tampil sempurna.
Gimana Kalau Ngerasa Udah Masuk ke Zona Peacock?
Tenang, gak ada orang tua yang sempurna. Yang penting adalah sadar dan mau berubah. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama, fokus ke proses, bukan hasil. Dukung anak buat berkembang sesuai minat dan kemampuannya, bukan demi konten Instagram.
Kedua, kurangi ekspos anak di media sosial. Ingat, anak juga punya hak privasi, lho. Berikutnya, kasih ruang buat gagal. Gagal itu bagian dari belajar. Gak usah panik kalau anak salah, yang penting dia belajar dari situ.
Terakhir, dengerin anak. Tanyakan apa yang mereka suka, apa yang mereka rasain. Jangan sampe anak cuma jadi “proyek” hidup Anda.
Tak bisa ditampik bahwa kita hidup di era digital yang serba cepat dan penuh pencitraan. Tapi jangan sampe lupa, tujuan utama jadi orang tua bukan buat bikin anak tampil sempurna, tapi bantu mereka tumbuh jadi manusia yang bahagia, sehat, dan punya identitas sendiri.
Boleh banget bangga sama anak, tapi jangan sampai kebanggaan itu berubah jadi tekanan. Parenting itu maraton, bukan sprint. Nikmatin prosesnya, jangan cuma kejar hasilnya.[]