
PAGI adalah awal dari segalanya. Bagi seorang anak, pagi bukan hanya soal bangun tidur dan bersiap ke sekolah, tetapi juga soal mendapatkan bahan bakar untuk berpikir, belajar, dan tumbuh.
Sayangnya, realita di Indonesia menunjukkan bahwa pagi justru sering kali menjadi waktu yang terlewatkan untuk memenuhi kebutuhan gizi yang esensial.
Nyatanya, kebiasaan sarapan yang sehat belum menjadi prioritas dalam banyak keluarga Indonesia.
Baca Juga
Masalah ini bukan sekadar urusan dapur rumah tangga, melainkan problem struktural yang mengisyaratkan kegagalan negara dalam membangun kesadaran gizi masyarakat.
Negara Tidak Boleh Absen dalam Edukasi Gizi
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa gizi yang baik pada masa anak-anak sangat menentukan perkembangan otak, daya tahan tubuh, serta kemampuan kognitif jangka panjang.
Namun, apakah pengetahuan ini benar-benar telah merata di kalangan masyarakat? Jawabannya masih jauh dari harapan.
Tidak sedikit ibu rumah tangga tidak memiliki pengetahuan gizi yang memadai, bahkan tidak tahu bahwa sarapan yang asal-asalan atau tidak sama sekali bisa berdampak buruk pada kecerdasan anak mereka.
Hal ini menyiratkan adanya kekosongan peran negara dalam menyebarluaskan informasi dan edukasi gizi yang sistematis, mudah diakses, dan berkelanjutan.
Edukasi gizi seharusnya menjadi bagian dari kurikulum pendidikan dasar, bukan hanya melalui pelajaran formal di sekolah, tetapi juga melalui program-program keluarga dan komunitas yang intensif.
Sayangnya, sekali lagi, yang kita lihat justru adalah kebijakan sektoral yang tercerai-berai, tanpa koordinasi antar lembaga dan tanpa visi jangka panjang.
Gizi Buruk di Tengah Konsumsi Boros Gula
Di sisi lain, kita dihadapkan pada fenomena menjamurnya gaya hidup konsumtif yang tidak sehat. Maraknya coffee shop dengan menu serba manis menjadi ironi tersendiri.
Anak-anak muda, bahkan usia sekolah dasar, sudah terbiasa mengonsumsi minuman tinggi gula—mulai dari kopi susu kekinian hingga boba dan teh manis berkalori tinggi.
Yang ironis, mereka yang bisa dengan mudah mengakses minuman manis tersebut, justru sering melewatkan sarapan bergizi karena dianggap tidak praktis atau tidak penting.
Padahal, menurut banyak penelitian medis, asupan gula berlebih dapat mengganggu fungsi otak, menyebabkan obesitas, dan bahkan meningkatkan risiko diabetes tipe 2 di usia muda.
Di sinilah kita menyaksikan paradoks, bahwa, di satu sisi negara gagal menjamin pemenuhan gizi dasar, di sisi lain membiarkan bahkan “merestui” maraknya konsumsi makanan dan minuman yang secara terang-terangan membahayakan kesehatan publik.
Edukasi Gizi Harus Menjadi Agenda Nasional
Banyak ibu yang menyadari pentingnya sarapan, namun keterbatasan ekonomi dan pengetahuan menjadi kendala utama.
Hal ini menunjukkan bahwa edukasi gizi tidak dapat berdiri sendiri—ia harus diintegrasikan dengan kebijakan perlindungan sosial, pemberdayaan ekonomi keluarga, dan sistem pendidikan nasional.
Edukasi gizi juga tidak bisa hanya mengandalkan kampanye sesekali dari kementerian terkait. Dibutuhkan pendekatan lintas sektor: dari kesehatan, pendidikan, hingga industri makanan.
Saat ini, belum ada regulasi yang ketat terhadap pemasaran produk-produk tinggi gula kepada anak-anak.
Bahkan, media sosial dan platform digital menjadi ladang subur bagi iklan-iklan makanan tidak sehat.
Tanpa regulasi, masyarakat terus-menerus dicekoki pesan-pesan konsumtif yang bertolak belakang dengan kepentingan kesehatan jangka panjang.
Dimulai dari Meja Makan
Membenahi pola konsumsi dan gizi masyarakat Indonesia bukanlah pekerjaan satu malam. Tapi langkah awalnya bisa dimulai dari hal paling sederhana: mengembalikan pentingnya sarapan pagi sebagai pondasi gizi anak.
Pemerintah harus menggencarkan program edukasi gizi berbasis komunitas, menggandeng sekolah, tokoh masyarakat, dan media untuk membangun kesadaran kolektif.
Industri makanan dan minuman juga perlu dikontrol secara ketat—melalui regulasi iklan, labeling gizi, hingga pembatasan penjualan produk tinggi gula kepada anak-anak.
Selain itu, perlu adanya insentif bagi keluarga berpenghasilan rendah untuk dapat menyediakan sarapan sehat setiap hari. Ini bisa berupa subsidi pangan bergizi, program makanan gratis di sekolah, atau insentif tunai berbasis performa gizi anak.
Bangsa yang Gagal Menjaga Gizi Anak, Gagal Menjaga Masa Depan
Sebuah bangsa yang mengabaikan gizi anak-anaknya, sejatinya sedang membiarkan masa depannya tergerus secara perlahan.
Ini penting diutarakan, karena gizi bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga soal kualitas sumber daya manusia.
Negara tidak boleh lagi berdiam diri, apalagi menyerahkan sepenuhnya urusan gizi kepada pasar dan individu.
Sudah saatnya pemerintah menempatkan edukasi gizi sebagai prioritas nasional, bukan sekadar wacana program kesehatan yang basa-basi.
Karena, dari meja makan pagi itulah, masa depan anak-anak Indonesia ditentukan.[]