
HIRUK pikuk belantara informasi era digital acapkali membuat perhatian kita sebagai orang tua terbelah antara notifikasi yang terus berdenting dan kebutuhan emosional anak-anak yang kadang tersampaikan tanpa kata.
Banyak dari kita mungkin merasa sudah “bersama” anak-anak di rumah, padahal secara emosional dan psikologis, jarak itu makin melebar.
Gejala itu biasanya ditandai oleh perilaku ganjil anak yang tidak boleh diabaikan orang tua, sebuah alarm halus bahwa kedekatan emosional adalah kebutuhan dasar mereka, sama pentingnya dengan sandang, pangan, dan papan.
Baca Juga
Salah satu pilar penting dalam memenuhi kebutuhan ini adalah komunikasi yang intim, intens, dan sentuhan penuh kasih.
Namun, realitas hari ini menunjukkan, bahkan saat kita secara fisik hadir, kita kerap emosional absent. Gadget, pekerjaan, media sosial — semua menjadi “pihak ketiga” dalam hubungan kita dengan anak-anak.
Pentingnya Sentuhan dan Komunikasi dalam Tumbuh Kembang Anak
Sentuhan fisik seperti pelukan, belaian, atau bahkan sekadar menggenggam tangan, memiliki kekuatan besar dalam membangun rasa aman dan kedekatan emosional antara orang tua dan anak.
Berbagai studi psikologi perkembangan menyebutkan bahwa anak-anak yang menerima cukup banyak sentuhan positif dari orang tuanya cenderung memiliki kepercayaan diri lebih tinggi, kemampuan sosial yang lebih baik, serta ketahanan emosional yang kuat.
Komunikasi bukan hanya tentang berbicara. Ia adalah seni untuk hadir sepenuh hati: mendengarkan tanpa menghakimi, berbicara dengan mata yang penuh kasih, serta membangun ruang aman di mana anak merasa dihargai dan dicintai.
Komunikasi intim semacam ini, yang seharusnya menjadi jembatan penghubung antara hati anak dan orang tua, sayangnya kini seringkali tergantikan oleh layar gadget.

Distraksi Digital Ancaman Nyata untuk Bonding Keluarga
Fenomena gadget sebagai “penyita perhatian” sudah bukan rahasia lagi. Ironisnya, bukan hanya anak-anak yang kecanduan layar, melainkan juga orang tua.
Saat momen yang seharusnya diisi dengan percakapan hangat atau pelukan, malah berlalu dalam keheningan yang masing-masing disibukkan dengan ponsel mereka.
Menurut data riset terkini, rata-rata waktu screen time masyarakat Indonesia mencapai lebih dari 8 jam per hari, bahkan Indonesia salah satu tertinggi di dunia.
Tidak mengherankan jika hubungan antar anggota keluarga menjadi semakin renggang.
Anak-anak yang seharusnya belajar mengelola emosi dan membangun empati dari interaksi nyata, malah tumbuh dengan pola komunikasi digital yang dangkal.
Lebih parah lagi, tanda-tanda perilaku bermasalah seperti menarik diri, agresivitas tersembunyi, atau keinginan berlebihan untuk mendapatkan perhatian seringkali luput dari pengamatan orang tua.
Anak yang ingin dipeluk, disapa, dan didengarkan akhirnya mencari pelarian dalam dunia maya — tempat yang tidak selalu aman bagi perkembangan jiwa mereka.
Mengalokasikan Waktu Khusus untuk Bonding
Menyadari pentingnya hal ini, sudah saatnya kita mengambil langkah konkret. Salah satu upaya sederhana namun berdampak besar adalah mengalokasikan waktu khusus untuk bonding dengan anak.
Upaya ini bukan sekadar “quality time” yang sesekali, melainkan jadwal rutin di mana seluruh keluarga sepakat untuk benar-benar hadir — tanpa distraksi gadget.
Aktivitas bonding tidak harus rumit. Bisa berupa makan malam bersama sambil berbagi cerita, makan kudapan bersama di sore hari, membaca buku bersama, atau bahkan sekadar duduk di sofa sambil berpelukan.
Dalam keheningan yang penuh kehadiran itu, anak-anak akan merasakan bahwa mereka dicintai bukan karena prestasi atau penampilan mereka, melainkan karena keberadaan mereka sendiri.

Menjadi Orang Tua yang Hadir Sepenuhnya
Kunci utama dari komunikasi intim dan bonding yang kuat adalah kehadiran total. Ini berarti tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga secara emosional dan mental.
Matikan notifikasi ponsel, letakkan laptop, dengarkan, dan tatap mata anak Anda.
Dengarkan dengan penuh perhatian bahkan ketika cerita mereka tampak sederhana atau berulang. Hargai emosi mereka tanpa tergesa-gesa menawarkan solusi.
Dengan membiasakan diri untuk hadir, kita sedang membangun pondasi kuat bagi masa depan mereka.
Anak-anak yang merasa dihargai dan dipahami sejak dini akan tumbuh menjadi pribadi yang stabil, penuh percaya diri, serta mampu membina hubungan sehat dengan orang lain.
Tugas kita sebagai orang tua adalah mengembalikan makna cinta kepada hal-hal yang nyata dan sederhana: pelukan hangat, percakapan intim, tawa bersama, dan perhatian tanpa syarat.
Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh dengan luka emosional tersembunyi hanya karena kita terlalu sibuk dengan dunia virtual kita.
Kini, saatnya kita memilih untuk lebih banyak memeluk, lebih banyak mendengarkan, dan lebih banyak hadir.
Karena dalam setiap pelukan dan kata-kata yang tulus, kita sedang menanam benih cinta yang akan tumbuh menjadi kekuatan terbesar dalam hidup anak-anak kita.[]