
KEJADIAN mengerikan di Desa Lumbang, Pasuruan, Jawa Timur, kembali menyentak kesadaran kolektif kita, di mana seorang pria melakukan pencabulan terhadap adik iparnya yang baru berusia 6 tahun hanya sehari setelah pernikahannya.
Kasus ini, sebagaimana dilaporkan oleh Radar Bromo (Jawa Pos Network), bukan sekadar tindakan kriminal biasa, melainkan cerminan dari masalah sosial yang kompleks dan berulang: kekerasan seksual terhadap anak oleh orang-orang terdekat.
Fenomena ini menuntut analisis mendalam, hukuman yang tegas, serta langkah preventif yang konkret untuk memutus rantai kejahatan serupa.
Baca Juga
Pola Kekerasan yang Mengkhawatirkan
Kekerasan seksual terhadap anak oleh anggota keluarga atau orang dekat bukanlah hal baru.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2021 saja menunjukkan, 62% aduan kejahatan seksual terhadap anak berasal dari kasus pencabulan, dengan 536 korban tercatat.
Fakta ini juga menyingkap ironi tragis bahwa pelaku kekerasan terhadap anak umumnya justru adalah orang yang mereka kenal. Ini membantah asumsi umum bahwa ancaman terutama datang dari orang asing.
Dengan demikian, upaya perlindungan anak tidak cukup berbasis pada peringatan terhadap bahaya eksternal semata, melainkan harus disertai kesadaran kritis dalam membangun lingkungan sosial yang aman, beradab, dan penuh pengawasan bermutu.
Tanpa itu, kita hanya menciptakan ilusi perlindungan. Di tengah era keterbukaan informasi saat ini, tidak mustahil angka tersebut semakin meningkat di 2025 ini.
Dalam kasus Jawa Timur ini, pelaku adalah sosok yang seharusnya menjadi pelindung, bukan predator.
Pola ini menunjukkan adanya kegagalan dalam sistem nilai keluarga, lemahnya pengawasan, dan mungkin juga distorsi moral yang dipicu oleh faktor eksternal.
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah pengaruh lingkungan digital. Di era internet, akses terhadap konten pornografi menjadi semakin mudah.
Penelitian dalam jurnal Frontiers in Psychiatry (2024) menyebutkan bahwa paparan berulang terhadap pornografi dapat mengganggu sistem limbik otak, bagian yang mengatur emosi dan impuls.
Ketika sistem ini rusak, seseorang cenderung kehilangan kendali diri, termasuk dalam mengambil keputusan moral.
Dalam kasus ini, meski tidak ada bukti langsung bahwa pelaku kecanduan pornografi, kebiasaan berselancar di internet tanpa filter perlu diselidiki sebagai salah satu pemicu potensial. Internet, jika tidak dikelola dengan bijak, bisa menjadi katalis bagi perilaku menyimpang.
Kepribadian Pelaku dan Kegagalan Deteksi Dini
Selain faktor eksternal, kepribadian pelaku juga harus menjadi fokus penelitian.
Apakah pelaku memiliki gangguan kepribadian, seperti sifat antisosial atau narsistik, yang membuatnya tidak mampu mengendalikan dorongan?
Atau, apakah ada riwayat trauma atau pola asuh yang salah yang membentuk perilaku predatornya?
Dalam banyak kasus, pelaku kekerasan seksual menunjukkan tanda-tanda menyimpang sejak dini, seperti kurangnya empati atau kecenderungan manipulatif. Sayangnya, tanda-tanda ini sering kali diabaikan oleh lingkungan terdekat, termasuk calon pasangan.
Dalam konteks kasus ini, pertanyaan penting muncul, bagaimana calon istri tidak menyadari gelagat aneh dari suaminya sebelum pernikahan?
Memang, tidak semua perilaku menyimpang mudah terdeteksi, tetapi hubungan pra-nikah seharusnya menjadi momen untuk mengenal pasangan secara mendalam.
Calon pasangan perlu dilatih untuk mengenali red flags, seperti sikap agresif, obsesi tidak sehat, atau ketidakmampuan mengelola emosi.
Pendidikan pranikah yang mencakup literasi psikologi dasar bisa menjadi langkah preventif untuk menghindari hubungan yang berpotensi merusak.
Hukuman Tegas dan Perlindungan Anak
Pencabulan dan kekerasan seksual, apapun bentuknya, tidak boleh ditoleransi. Hukuman yang tegas dan berefek jera adalah keharusan.
Dalam sistem hukum Indonesia, pelaku pencabulan anak dapat dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman penjara hingga 15 tahun.
Namun, pertanyaan kritisnya adalah, apakah hukuman tersebut cukup untuk mencegah kejahatan serupa? Kasus-kasus berulang menunjukkan bahwa efek jera belum optimal.
Hukuman seperti kebiri kimia, yang telah diterapkan di beberapa negara, mungkin perlu dipertimbangkan sebagai opsi tambahan, meski tetap mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan efektivitas jangka panjang.
Di sisi lain, perlindungan terhadap anak harus menjadi prioritas. Anak-anak perlu dididik tentang batasan tubuh dan cara melapor jika mengalami perlakuan tidak pantas.
Orang tua juga harus berperan aktif dalam mengawasi lingkungan anak, termasuk memantau interaksi dengan orang dewasa di sekitar mereka.
Program edukasi seksual usia dini, yang disesuaikan dengan budaya lokal, bisa menjadi alat untuk memberdayakan anak dan mencegah mereka menjadi korban.
Tindakan Keras dan Langkah Preventif
Di era digital saat ini, tantangan untuk mencegah kekerasan seksual semakin kompleks.
Media sosial, aplikasi tanpa filter, dan konten daring yang tidak diatur memperbesar risiko paparan materi yang merusak moral.
Pemerintah perlu memperketat regulasi terhadap konten daring, termasuk memblokir situs-situs yang menyediakan pornografi.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan keluarga diperlukan untuk menciptakan ekosistem digital yang aman bagi anak-anak.
Selain aspek teknologi, perubahan sosial juga memengaruhi dinamika keluarga. Tekanan ekonomi, misalnya, sering kali membuat keluarga kurang harmonis, sehingga pengawasan terhadap anak melemah.
Program pemberdayaan keluarga, seperti konseling rutin atau komunitas pendukung, bisa membantu memperkuat ikatan keluarga dan mencegah terjadinya kasus seperti ini.
Kasus pencabulan di Jawa Timur adalah pengingat pahit bahwa kekerasan seksual terhadap anak tetap menjadi ancaman nyata, terutama dari orang-orang terdekat.
Hukuman tegas terhadap pelaku adalah keharusan, tetapi itu saja tidak cukup. Pencegahan harus dimulai dari pendidikan, pengawasan lingkungan digital, dan deteksi dini terhadap perilaku menyimpang.
Calon pasangan juga perlu lebih peka terhadap tanda-tanda bahaya dalam hubungan. Hanya dengan pendekatan holistik—kombinasi hukum, edukasi, dan perubahan sosial—kita dapat memutus rantai kekerasan ini.
Anak-anak berhak hidup aman, dan kita semua bertanggung jawab untuk mewujudkannya.[]