
PERNAH kepikiran nggak, kenapa anak yang kelihatannya biasa-biasa aja bisa jadi luar biasa? Sementara yang sejak kecil dicap “berbakat” malah tumbuh biasa aja? Jawabannya mengejutkan, dan mungkin akan mengubah cara kamu membesarkan anak selamanya.
Psikolog Adam Grant pernah menyampaikan pandangannya soal ini yang kemudian memantik diskusi hangat. Menurutnya, anak-anak yang tidak terlihat “berbakat alami” justru punya peluang besar untuk sukses di masa depan.
Kenapa bisa begitu? Yuk, kita bongkar satu per satu!
Baca Juga
Bakat Itu Bonus, Bukan Penentu
Dalam budaya populer, kita sering banget mengagungkan bakat. Anak yang bisa main piano di usia 4 tahun langsung dilabeli “jenius.” Yang lancar coding sejak SD dibilang “next Zuckerberg.” Padahal, menurut Grant, bakat hanyalah permulaan, bukan jaminan.
Faktanya, anak-anak yang sejak awal tidak diberi label “berbakat” justru punya ruang lebih luas untuk belajar, gagal, dan bangkit.
Mereka ini tidak terpaku pada ekspektasi tinggi, sehingga lebih fleksibel dalam membentuk karakter: tahan banting, pekerja keras, dan punya mental tangguh.
Grit Lebih Kuat dari Gift
Profesor psikologi di University of Pennsylvania, Angela Lee Duckworth, pernah memperkenalkan istilah grit—kombinasi dari passion dan kegigihan jangka panjang. Dan, Grant seolah menegaskan hal itu, bahwa, anak yang tekun akan mengalahkan anak yang hanya mengandalkan bakat.
Jadi, saat anak kamu merasa kesulitan di sekolah atau belum menemukan “bakat emas”-nya, jangan buru-buru panik. Justru ini saatnya kamu sebagai orang tua memberi ruang dan dukungan yang tepat untuk membangun daya juang mereka.
Orang Tua, Stop Jadi “Penentu Takdir”
Masalah terbesar sebenarnya bukan terletak pada anak, tapi pada ekspektasi orang tua. Banyak orang tua secara tidak sadar “mengunci” potensi anak sejak dini.
Misalnya, kalau anak nggak jago matematika sejak TK, langsung dibilang “ya udah, anaknya emang nggak kuat di pelajaran kalkulus.” Padahal, kemampuan berkembang seiring waktu dan pengalaman.
Orang tua yang terlalu cepat melabeli anak justru membatasi pertumbuhannya. Anak yang percaya bahwa mereka “nggak berbakat” akan berhenti mencoba, bahkan sebelum memulai.
Fokus ke Proses, Bukan Hasil
Salah satu insight paling keren dari Adam Grant adalah tentang pentingnya membentuk kebiasaan belajar dan kerja keras daripada sekadar mengejar hasil instan.
Anak-anak yang dibiasakan fokus pada proses—entah itu latihan menggambar, belajar menulis, atau mencoba eksperimen sains—lebih mudah menyesuaikan diri dengan tantangan hidup.
Jadi, alih-alih bertanya “Nilaimu berapa?”, coba ubah pertanyaan menjadi, “Kamu belajar apa dari tugas ini?” atau, “Bagian mana yang menurutmu paling menantang?”
Cara Menumbuhkan Mentalitas Tumbuh pada Anak
Kalau kamu ingin membesarkan anak yang sukses, tanpa harus bergantung pada bakat alami, berikut beberapa langkah yang bisa kamu terapkan.
Pertama, berikan dia ruang untuk gagal. Jangan buru-buru menyelamatkan anak dari kesalahan. Biarkan mereka belajar bangkit. Kedua, hargai usaha, bukan hasil. Rayakan proses belajarnya, bukan hanya trofi atau ranking.
Langkah Ketiga, tumbuhkan rasa ingin tahunya. Dorong anak untuk bertanya dan mengeksplorasi banyak hal. Terakhir, dan ini yang paling penting: jadilah role model. Tunjukkan bahwa kamu juga terus belajar dan berkembang.
Setiap Anak Punya Potensi
Yang menarik, isu ini bukan cuma terjadi di Indonesia. Di banyak negara maju, tekanan terhadap anak untuk “menonjol” sejak dini juga menciptakan krisis identitas dan mental. Anak-anak jadi takut gagal, takut mengecewakan orang tua, dan akhirnya kehilangan semangat belajar.
Dengan memahami bahwa sukses bukan soal siapa yang tercepat, tapi siapa yang terus berjalan, kita bisa menciptakan generasi baru yang lebih kuat, lebih adaptif, dan siap menghadapi dunia yang berubah cepat.
Jadi, kalau hari ini kamu melihat anakmu belum menunjukkan “bakat spesial” — itu bukan kekurangan. Itu peluang emas. Karena anak-anak yang tumbuh dengan perjuangan justru jadi pemimpin masa depan yang tahu arti kerja keras, kegigihan, dan ketekunan.[]