
DALAM dunia pendidikan, terutama dalam konteks keluarga dan pengasuhan anak, sering kali kita mendengar bahwa mengajar adalah proses mentransfer pengetahuan dari orang dewasa ke anak.
Namun, sejauh mana pengetahuan itu benar-benar dipahami oleh anak? Sejauh mana anak benar-benar menyerap dan menginternalisasi nilai-nilai yang diajarkan? Di sinilah pentingnya memahami seni bertanya dan kekuatan dialog dalam proses pendidikan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani رحمه الله pernah mengatakan:
Baca Juga
“حُسْنُ السُّؤَالِ نِصْفُ العِلْمِ”
“Pertanyaan yang baik adalah setengah dari ilmu”
Hal ini ditegaskan pula oleh sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud رضي الله عنه, yang menekankan bahwa dengan bertanya, seseorang akan mampu memahami ilmu secara lebih mendalam. Maka, pertanyaan bukan sekadar alat menggali informasi, tetapi juga medium untuk menyalakan cahaya akal.
Memahami Bukan Sekadar Mengetahui
Orangtua dan guru kadang merasa cukup dengan memberi tahu anak tentang suatu ajaran atau prinsip. Anak pun terlihat mendengarkan, mengangguk, atau bahkan mengulang kembali penjelasan kita. Namun, apakah itu berarti ia telah benar-benar memahami?
Pemahaman anak bisa dikelompokkan ke dalam dua kemungkinan, yaitu:
1. Menangkap Penjelasan Tanpa Mendasari Pemahaman yang Kokoh
Anak mungkin mampu mengikuti alur penjelasan kita, tetapi belum tentu ia memahami makna mendalam atau filosofi di baliknya. Ia hanya “menangkap” permukaan dari apa yang disampaikan.
2. Menginternalisasi Ilmu dengan Utuh
Anak bisa memahami, mencerna, dan bahkan menyampaikan kembali apa yang telah ia pelajari dengan bahasanya sendiri. Ini adalah indikator bahwa ilmu sudah masuk ke dalam dirinya, bukan sekadar melewati telinga.
Dialog Sarana Menakar dan Menyemai Pemahaman
Lantas, bagaimana menakar pemahaman anak? Jawabannya adalah hiwar, atau dialog.
Bertanya dengan baik adalah kunci untuk membuka ruang berpikir anak. Dalam suasana dialogis, anak merasa dihargai dan diberi tempat untuk menyampaikan pendapatnya.
Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan Arab:
التَّرْبِيَةُ الْحَقِيقِيَّةُ هِيَ تَرْبِيَةُ الْإِقْنَاعِ، وَأَقْصَرُ طُرُقِ الْإِقْنَاعِ هُوَ الْحِوَارُ
“Pendidikan yang hakiki adalah pendidikan yang mempersuasi, dan jalan paling singkat untuk mempersuasi adalah dialog”
Dalam hiwar, bukan hanya orangtua yang berbicara, melainkan juga mendengarkan. Ini poin krusial.
Anak yang merasa didengarkan akan merasa diterima dan lebih terbuka untuk berdiskusi. Mereka tidak hanya akan mengikuti perintah, tetapi memahami alasan di baliknya.
Mendengarkan, Bukan Sekadar Menilai
Salah satu kesalahan umum dalam mendidik adalah terburu-buru menilai atau memuji sebelum anak selesai menyampaikan. Padahal, yang dibutuhkan anak bukanlah validasi instan, tetapi ruang untuk berpikir dan mengolah makna.
Mendengarkan secara aktif dan sabar akan menciptakan suasana psikologis yang nyaman bagi anak untuk bereksplorasi secara intelektual.
Pendidikan yang berhasil bukan yang menghasilkan anak yang hafal banyak hal, tetapi yang mampu berpikir kritis, memiliki argumen, dan memahami nilai-nilai dengan utuh.
Mendidik bukanlah memaksa anak menelan informasi, melainkan menuntunnya untuk memahami makna. Dalam proses ini, pertanyaan yang baik menjadi senjata utama, dan dialog menjadi jalan paling efektif.
Seorang pendidik—baik orangtua maupun guru—harus mampu menghidupkan hiwar sebagai jembatan pemahaman. Karena pendidikan yang hakiki adalah tumbuhnya kesadaran, bukan sekadar kepatuhan.
Mari kita renungkan kembali bahwa sejatinya pendidikan bukan hanya soal apa yang diketahui anak, tetapi bagaimana ia berpikir, bagaimana ia merasa dihargai, dan bagaimana ia dibentuk menjadi pribadi yang memahami, bukan hanya menuruti.[]
*) Dirangkum dari pointer materi Ust. H. Mohammad Fauzil Adhim dalam acara Kajian Rumah Sajada Seri #01 bertajuk “Ngobrol Itu Penting untuk Mempengaruhi Pikiran Anak” di kanal Youtube Handle @mohammadfauziladhim3855, Sabtu (29/3/2025)