Tentang Nama Anak dan Ketika Tujuan Pernikahan Dilupakan

Adam Marzuki

HubunganPernikahanTrue Story

PERNIKAHAN dalam pandangan agama bukan sekadar ikatan dua insan, melainkan “ibadah terpanjang” yang menuntun pasangan menuju kedamaian, kasih sayang, dan rahmat Allah.

Kendati demikian, realitas kehidupan modern sering kali menggoyahkan makna suci ini.

Sepeti sebuah kisah nyata yang kami kutip dari The Mirror, menceritakan seorang wanita yang merasa dikhianati oleh suaminya hanya karena perkara nama anak.

Sang suami ternyata diam-diam memberi nama anak mereka berdasarkan sosok perempuan lain yang pernah dicintainya.

Sebuah tindakan yang mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang, namun sesungguhnya menyimpan luka mendalam dan menghancurkan kepercayaan dalam ikatan suci pernikahan.

Ibu hamil itu menemukan bahwa nama “sempurna” yang dipilih bersama suami untuk anak mereka ternyata terinspirasi dari nama rekan kerja suami yang berselingkuh melalui pesan eksplisit.

Refleksi atas kasus ini membawa kita pada pertanyaan mendasar, mengapa perkara sekecil nama anak saja bisa mengguncang fondasi pernikahan?

Nama anak bukanlah sekadar label; bagi seorang wanita, khususnya seorang ibu, nama anak mencerminkan harapan, identitas, dan ikatan emosional dengan buah hati.

Ketika nama itu ternyata terkait dengan pengkhianatan, perasaan dikhianati menjadi dua kali lipat: kehilangan kepercayaan pada pasangan dan kehilangan makna dari nama yang semula dianggap suci.

Kisah ini menjadi cermin bagi kita untuk memahami betapa pentingnya kejujuran dan komitmen dalam pernikahan, terutama di era modern yang penuh godaan.

Menjaga Kesucian Hubungan melalui Kejelasan Tujuan

Di era digital, pengkhianatan tidak lagi terbatas pada hubungan fisik. Pesan eksplisit melalui aplikasi atau media sosial, seperti yang dialami dalam kasus ini, telah menjadi bentuk baru perselingkuhan yang merusak kepercayaan.

Data dari Institute for Family Studies, sebagaimana dikutip dalam Jurnal Cendekia Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) Volume 1 No. 4 2024, 132 – 146, mengungkapkan bahwa 20% pria dan 13% wanita menikah terlibat dalam perselingkuhan.

Bahkan, masih dari sumber yang sama, menukil hasil survei aplikasi JustDating, menyebut 40% lelaki dan perempuan Indonesia pernah berkhianat dalam hubungan mereka, menempatkan Indonesia sebagai negara kedua tertinggi dalam kasus perselingkuhan di Asia, setelah Thailand.

Namun, keabsahan dan validitas sumber primer data ini masih perlu diperiksa lebih lanjut. Kendati demikian, tren yang tampak tetap mengkhawatirkan.

Tidak sedikit pasangan yang akhirnya mengalami konflik akibat interaksi digital yang tidak pantas dengan pihak ketiga. Teknologi, yang seharusnya mempermudah komunikasi, justru sering kali menjadi pisau bermata dua yang mengancam kesetiaan.

Selain itu, tekanan sosial untuk menciptakan “kesempurnaan” dalam keluarga—termasuk memilih nama anak yang unik atau bermakna—menambah beban emosional bagi pasangan.

Dalam kasus ibu hamil di awal, ia merasa nama yang dipilih bersama suami adalah simbol cinta mereka. Namun, ketika terungkap bahwa nama itu terkait dengan pengkhianatan, simbol cinta itu berubah menjadi pengingat luka.

Hal ini menunjukkan bahwa ketidakjujuran, bahkan dalam hal “kecil”, dapat menghancurkan makna yang telah dibangun dengan susah payah.

Dalam konteks Islam, pernikahan adalah mitsaqan ghaliza—perjanjian kokoh yang mengikat pasangan dengan Allah sebagai saksi.

Al-Qur’an (Ar-Rum: 21) menyebutkan bahwa tujuan pernikahan adalah menciptakan ketenangan (sakinah), menumbuhkan kasih sayang (mawadda), dan meraih keberkahan (rahmat). Pengkhianatan, dalam bentuk apa pun, bertentangan dengan tujuan ini.

Seorang suami, sebagai pemimpin keluarga, memiliki tanggung jawab untuk menjaga kepercayaan dan kehormatan istrinya.

Ketika kepercayaan itu dikhianati, pernikahan kehilangan esensinya sebagai ibadah, menjadi hubungan yang hambar dan penuh luka.

Pernikahan Tanpa Tujuan adalah Hampa

Kisah ini mengajarkan kita bahwa tanpa pemahaman yang mendalam tentang tujuan pernikahan, hubungan suci ini rentan goyah.

Dalam Islam, pernikahan bukan hanya tentang kebahagiaan duniawi, tetapi juga tentang membangun jalan menuju surga bersama.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menikah karena Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memberikan kecukupan baginya” (HR. Tirmidzi). Kecukupan di sini bukan hanya materi, tetapi juga ketenangan batin dan keharmonisan keluarga.

Namun, di tengah gempuran budaya instan dan individualisme, banyak pasangan lupa bahwa pernikahan adalah kerja keras.

Komunikasi yang terbuka, kejujuran, dan komitmen untuk saling menghormati adalah pilar yang harus dijaga.

Kasus dalam artikel The Mirror tadi menunjukkan bahwa pengkhianatan tidak hanya merusak kepercayaan, tetapi juga mencuri makna dari momen-momen kecil yang seharusnya suci, seperti memilih nama anak.

Seorang suami yang setia tidak hanya menghindari perselingkuhan, tetapi juga menjaga hati istrinya dari luka yang tidak perlu.

Pernikahan adalah ibadah yang menuntut kesetiaan, kejujuran, dan kesadaran akan tujuannya. Di era modern, godaan untuk menyimpang semakin besar, namun justru di sinilah kekuatan pernikahan diuji.

Seorang suami harus memahami bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, dapat berdampak pada hati pasangannya.

Bagi seorang wanita, nama anak adalah cerminan harapan dan cinta; ketika nama itu ternoda, luka yang ditimbulkan bukan hanya personal, tetapi juga spiritual.

Untuk menjaga kesucian pernikahan, pasangan harus kembali pada esensi ibadah terpanjang ini: membangun sakinah, mawadda, dan rahmah.

Dengan komunikasi yang jujur, komitmen yang kokoh, dan kesadaran bahwa pernikahan adalah jalan menuju Allah, hubungan suci ini dapat bertahan selamanya.

Pelajaran berharganya adalah bahwa kejujuran adalah fondasi cinta, dan tujuan pernikahan adalah anugerah yang harus dijaga dengan penuh kesadaran.[]

Baca Juga Lainnya

Analisa Data Tren Perceraian di Indonesia Tahun 2024, Bagaimana Persentasenya?

Parentnial Newsroom

DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ...

Potret Nikah Cerai di Kaltim Tahun 2024, Menelusuri Jejak Cinta dan Perpisahan

Parentnial Newsroom

TIDAK ada yang lebih menggugah hati daripada angka-angka yang membisikkan cerita di balik kehidupan manusia. Setidaknya, itulah yang mencuat saat ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Membaca Ulang Angka Perceraian di Jawa Barat 2024, Siapa Paling Rentan?

Parentnial Newsroom

PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data ...

Pelajaran dari ‘Adolescence’ Serial Netflix yang Menggugah tentang Kekerasan Remaja

Rahmat Hidayat

SERIAL drama Inggris terbaru, “Adolescence,” yang dirilis di Netflix pada 13 Maret 2025, telah menjadi fenomena global dengan lebih dari ...

Pelajaran dari Kasus Baim dan Paula, Mengapa Netizen Perlu Menghormati Batas Privasi

Muhammad Hidayat

DI masa masa seperti sekarang dimana akses informasi begitu mudahnya dan ruang digital yang serba terhubung, kehidupan pribadi figur publik ...