
ANGKA perceraian di Indonesia terus merangkak naik, menjadi cerminan kompleksitas masalah sosial yang dihadapi masyarakat modern.
Berdasarkan laporan terbaru seperti dikutip dari kantor berita LKBN Antara, Selasa (22/4/2025), Menteri Agama mengusulkan revisi Undang-Undang Perkawinan dengan tambahan bab Pelestarian Perkawinan sebagai respons terhadap fenomena ini.
Namun, di balik statistik yang mencemaskan, faktor ekonomi muncul sebagai salah satu pemicu utama yang kerap terabaikan.
Baca Juga
Dalam konteks kekinian, tekanan finansial tidak hanya mengguncang stabilitas rumah tangga, tetapi juga memperlemah ikatan emosional dan spiritual dalam keluarga.
Krisis Ekonomi Pemicu Utama Perceraian
Di tengah gempuran inflasi, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan ketidakpastian lapangan kerja, keluarga-keluarga miskin menjadi yang paling rentan.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa.
Suami-istri yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan sering kali terperangkap dalam konflik berulang, mulai dari pertengkaran kecil hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih berkisar di angka 9-10%, dengan jutaan keluarga hidup di bawah garis kemiskinan.
Realitas ini memperparah ketegangan dalam rumah tangga, di mana ketidakstabilan ekonomi menjadi katalis bagi keputusan bercerai.
Namun, masalah ini tidak hanya soal angka. Ketidakadilan ekonomi, seperti kesenjangan upah dan minimnya akses terhadap pekerjaan layak, turut memperburuk situasi.
Misalnya, banyak pekerja informal—yang merupakan mayoritas tenaga kerja di Indonesia—tidak memiliki jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan.
Maka ketika musibah seperti PHK atau sakit menimpa, keluarga kehilangan sumber pendapatan tanpa bantalan yang memadai.
Dalam situasi ini, perceraian sering kali menjadi jalan keluar dari tekanan yang tak tertahankan, meskipun solusi ini justru memperburuk kondisi, terutama bagi anak-anak.
Mengapa Pemerintah Harus Bertindak?
Saat ini tantangan ekonomi semakin kompleks. Pandemi COVID-19 telah meninggalkan bekas luka ekonomi yang dalam, dengan banyak keluarga masih berjuang untuk pulih.
Di sisi lain, transformasi ekonomi berbasis teknologi cenderung menguntungkan kelompok terdidik dan meninggalkan pekerja kasar dalam ketertinggalan.
Pemerintah, sebagai regulator dan penyedia kebijakan, memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sistem jaminan sosial yang inklusif.
Sayangnya, program seperti Kartu Prakerja atau bantuan sosial (bansos) sering kali tidak tepat sasaran atau hanya bersifat sementara.
Revisi Undang-Undang Perkawinan yang diusulkan Menteri Agama untuk pelestarian perkawinan memang penting, tetapi tidak akan efektif tanpa intervensi ekonomi yang substansial.
UU Perkawinan yang lebih ketat, misalnya dengan memperketat prosedur perceraian, mungkin dapat menekan angka perceraian dalam jangka pendek. Namun, tanpa mengatasi akar masalah seperti kemiskinan, kebijakan ini hanya akan menjadi solusi kosmetik.
Pemerintah perlu mengarahkan fokus pada penguatan ekonomi keluarga melalui penciptaan lapangan kerja, pelatihan keterampilan, dan perluasan akses jaminan sosial.
Program perlindungan seperti asuransi kesehatan universal, bantuan pendidikan bagi anak-anak misk, dan kredit usaha mikro dengan bunga rendah dapat menjadi langkah konkret untuk mengurangi tekanan ekonomi pada rumah tangga.
Perceraian dan Faktor Tekanan Hidup
Dari sudut pandang agama, terutama dalam Islam, kefakiran memiliki korelasi erat dengan lemahnya iman. Sebuah hadis yang sering dikutip menyatakan, “Kemiskinan itu dekat dengan kekufuran.”
Kekufuran di sini bukan berarti hilangnya keimanan secara literal, melainkan kondisi di mana seseorang kehilangan kendali atas dirinya akibat tekanan hidup.
Dalam situasi kemiskinan, seseorang cenderung mudah putus asa, bertindak kasar, atau mengabaikan nilai-nilai moral.
Dalam konteks rumah tangga, hal ini dapat terwujud dalam bentuk kekerasan verbal, pengabaian tanggung jawab, atau ketidakharmonisan yang berujung pada perceraian.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah ikatan suci yang harus dipertahankan dengan kesabaran dan kasih sayang.
Namun, tanpa dukungan ekonomi yang memadai, nilai-nilai ini sulit diwujudkan. Oleh karena itu, tanggung jawab tidak hanya ada pada individu, tetapi juga pada negara sebagai penyelenggara kesejahteraan.
Dalam Islam, konsep keadilan sosial (al-adl) menekankan pentingnya distribusi sumber daya yang merata agar setiap individu dapat hidup bermartabat.
Oleh karena itu, negara, dalam hal ini, memiliki peran untuk memastikan bahwa keluarga-keluarga miskin tidak terjerumus ke dalam keputusasaan yang dapat menghancurkan ikatan pernikahan.
Stabilitas Keluarga dan Nilai-nilai Moral
Kenaikan angka perceraian di Indonesia adalah alarm bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ekonomi dan sosial secara serius.
Krisis ekonomi bukan sekadar masalah finansial, tetapi juga ancaman terhadap stabilitas keluarga dan nilai-nilai moral.
Ketika kemiskinan mendorong seseorang ke ambang keputusasaan, iman dan kesabaran sering kali terkikis, membuka jalan bagi konflik dan perceraian.
Oleh karena itu, revisi Undang-Undang Perkawinan harus diiringi dengan langkah konkret untuk mengatasi kemiskinan, seperti memperluas jaminan sosial, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan akses pendidikan.
Pemerintah perlu menyadari bahwa keluarga adalah pilar utama bangsa. Tanpa kesejahteraan ekonomi, ikatan keluarga akan terus tergerus, meninggalkan luka sosial yang sulit dipulihkan.
Mari bersama-sama mendorong kebijakan yang tidak hanya menekan angka perceraian, tetapi juga membangun fondasi keluarga yang kuat melalui keadilan dan kesejahteraan.
Dengan langkah yang tepat, kita dapat menjaga keutuhan rumah tangga sekaligus memperkuat nilai-nilai agama dan kemanusiaan.[]