3 Juta Ancaman Siber Mengintai Indonesia, Saatnya Orangtua Melek Digital

Parentnial Newsroom

Keseharian

KABAR mengejutkan datang lagi. Tiga juta ancaman online menyerbu pengguna internet Indonesia hanya dalam tiga bulan pertama tahun 2025 ini.

Angka itu bukan main-main. Data ini diungkapkan Kaspersky, perusahaan keamanan siber global, yang menyebut bahwa Indonesia kini masuk dalam radar panas pelaku kejahatan dunia maya.

Tentu saja ini bukan soal teknis semata. Ini soal nyawa baru zaman digital: data pribadi kita.

Masalahnya, banyak orangtua di negeri ini masih memandang urusan teknologi sebagai wilayah anak muda.

Mereka menyerahkan ponsel pada anak-anak, membiarkan game-game baru diunduh tanpa banyak tanya.

Padahal, di balik aplikasi warna-warni yang tampak “seru”, terselip potensi bahaya yang mematikan: malware, spyware, dan trojan yang bisa mencuri data kita — termasuk yang paling vital: informasi perbankan.

Bayangkan, Anda sedang santai di rumah. Anak Anda sibuk bermain game yang katanya “gratis”. Tanpa disadari, game itu meminta akses: ke galeri foto, kontak, bahkan lokasi GPS.

Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan hacker. Mereka tak cuma mengincar si kecil yang asyik main, tapi juga rekening Anda, password Anda, dan bahkan identitas Anda secara penuh.

Adapun jenis ancaman paling umum terjadi di Indonesia adalah file infector — virus yang menyusup lewat file yang tampak normal, seperti dokumen atau aplikasi.

Disusul oleh trojan yang lihai menyamar, dan worm yang menggandakan dirinya sendiri dari satu perangkat ke perangkat lain.

Fakta lain yang membuat kita mengernyit: Indonesia sebagai salah satu negara dengan target serangan cyber terbesar di dunia, bersama dengan Amerika Serikat dengan 332 ribu serangan (11 ribu per hari) dan Tiongkok sebanyak 151 ribu (5 ribu serangan per hari).

Data yang dirilis HP Security 12 tahun lalu itu tentu makin meningkat pada tahun ini jika kita coba komparasi trennya yang kian megkhawatirkan. Ini alarm keras. Tapi, sayangnya, banyak yang masih tidur.

Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya sederhana: karena literasi digital kita, terutama di kalangan orangtua, masih tertinggal.

Di kota-kota besar, mungkin sebagian sudah mulai paham tentang password yang kuat atau pentingnya two-factor authentication.

Tapi, di pelosok, bahkan di pinggiran Jakarta sekalipun, ponsel cerdas masih digunakan sekadar untuk WhatsApp, TikTok, dan, ya, membiarkan anak-anak mengunduh apa saja asal mereka anteng.

Ada kesalahpahaman besar yang harus segera diluruskan, bahwa ancaman siber hanya menyasar kaum profesional atau perusahaan besar.

Fakta terbaru justru menunjukkan, pengguna rumahan — terutama keluarga dengan anak-anak — menjadi target empuk. Hacker tahu betul bahwa orangtua di Indonesia jarang memeriksa apa yang anaknya instal.

Mereka juga paham, budaya kita yang nrimo (menerima apa adanya) membuat banyak yang malas membaca terms and conditions atau izin aplikasi.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, orangtua harus mulai melek teknologi, bukan sekadar tahu, tapi juga paham.

Ini zaman di mana menjadi digital parent adalah keharusan. Mulailah dengan langkah sederhana: periksa aplikasi apa saja yang terpasang di ponsel anak. Hapus yang mencurigakan atau meminta akses berlebihan.

Kedua, edukasi anak sejak dini bahwa internet bukan hanya taman bermain, tapi juga hutan belantara yang penuh jebakan.

Ajari mereka untuk tidak sembarang mengklik tautan, menginstal aplikasi dari sumber tak jelas, atau membagikan informasi pribadi bahkan kepada teman online.

Ketiga, pasang aplikasi keamanan yang terpercaya. Banyak antivirus dan parental control tools yang kini mudah dipakai. Anggaplah ini investasi kecil demi keamanan besar.

Tentu saja, peran pemerintah dan dunia pendidikan juga tak kalah penting. Literasi digital harus menjadi kurikulum wajib, bukan pelajaran tambahan.

Sebab, perang masa depan bukan lagi hanya di medan laga, tapi juga di jaringan maya. Dan tentara terdepan dari perang ini adalah keluarga, terutama orangtua.

Akhirnya, mari kita akui: kita sudah terlambat satu langkah. Ancaman sudah masuk ke ruang tamu kita, ke ponsel kita, ke data perbankan kita.

Tapi belum terlambat untuk bangun. Dunia maya menuntut kita untuk cerdas dan waspada. Orangtua Indonesia harus menjadi benteng pertama dan terakhir bagi keluarganya.

Jika tidak, jangan salahkan siapa-siapa bila kelak tabungan kita terkuras, identitas kita dibajak, dan anak-anak kita menjadi korban berikutnya dalam statistik tiga juta itu.[]

Baca Juga Lainnya

Analisa Data Tren Perceraian di Indonesia Tahun 2024, Bagaimana Persentasenya?

Parentnial Newsroom

DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ...

Potret Nikah Cerai di Kaltim Tahun 2024, Menelusuri Jejak Cinta dan Perpisahan

Parentnial Newsroom

TIDAK ada yang lebih menggugah hati daripada angka-angka yang membisikkan cerita di balik kehidupan manusia. Setidaknya, itulah yang mencuat saat ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Membaca Ulang Angka Perceraian di Jawa Barat 2024, Siapa Paling Rentan?

Parentnial Newsroom

PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data ...

Pelajaran dari ‘Adolescence’ Serial Netflix yang Menggugah tentang Kekerasan Remaja

Rahmat Hidayat

SERIAL drama Inggris terbaru, “Adolescence,” yang dirilis di Netflix pada 13 Maret 2025, telah menjadi fenomena global dengan lebih dari ...

Pelajaran dari Kasus Baim dan Paula, Mengapa Netizen Perlu Menghormati Batas Privasi

Muhammad Hidayat

DI masa masa seperti sekarang dimana akses informasi begitu mudahnya dan ruang digital yang serba terhubung, kehidupan pribadi figur publik ...