80 Persen Anak Indonesia Tanpa Figur Ayah, Dampak Psikologis yang Tak Bisa Diabaikan

Parentnial Newsroom

AnakAyah

INDONESIA menghadapi krisis tersembunyi. Sekitar 80 persen anak kehilangan figur ayah dalam keluarga. Bukan hanya ayah yang tiada secara fisik.

Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/ Kepala BKKBN Wihaji menyampaikan hal itu dalam acara detikSore, di Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025).

“Mayoritas anak-anak Indonesia kehilangan figur ayah dalam keluarga. Hari ini anak-anak kehilangan (figur) ayah karena 80 persen cenderung sama ibunya,” katanya.

Banyak ayah yang hadir, tapi absen secara emosional. Fenomena fatherless ini bukan isapan jempol.

Data dari berbagai sumber, menunjukkan dampaknya serius. Dari gangguan psikologis hingga perilaku menyimpang.

Fatherless Lebih dari Sekadar Absennya Ayah

Istilah fatherless sering disalahpahami. Banyak yang mengira ini hanya soal anak yatim. Nyatanya, lebih kompleks.

Ayah bisa ada di rumah, tapi tak terlibat. Sibuk bekerja. Fokus mencari nafkah. Atau, terjebak persepsi kuno: anak urusan ibu.

Akibatnya, anak kehilangan panutan. Kehilangan rasa aman. Kehilangan arah.

Laman Universitas Airlangga (Unair) mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat fakta ini. Hanya 37,17 persen anak usia 0-5 tahun mendapat pengasuhan lengkap dari ayah dan ibu. Sisanya? Berjuang sendiri. Atau, bergantung pada ibu.

UNICEF pada 2021 mencatat 20,9 persen anak Indonesia fatherless. Angka ini mencakup dampak perceraian, kematian, hingga kesibukan ayah.

Ironisnya, budaya patriarki justru memperparah. Ayah merasa tugasnya selesai dengan memberi nafkah. Padahal, anak butuh lebih.

Dampak Psikologis Luka yang Tak Terlihat

Anak tanpa figur ayah rentan. Innovative Journal Of Social Science Research (Vol. 3 Nomor 2 Tahun 2023) menjelaskan, fatherless memengaruhi konsep diri anak. Mereka sulit mengelola emosi. Rasa benci pada diri sendiri muncul. Kepercayaan diri rapuh.

Anak perempuan, misalnya, sering takut ditinggalkan. Mereka kesulitan membangun relasi sehat dengan laki-laki.

Anak laki-laki? Cenderung mencari panutan di luar rumah. Tak jarang, panutan yang salah.

Prestasi akademik juga terdampak. Anak fatherless sering kurang percaya diri. Fokus belajar terganggu.

Demikan pula, anak tanpa ayah berisiko lebih tinggi terlibat kenakalan remaja. Mulai dari tawuran hingga penyalahgunaan obat.

Mengapa? Ayah biasanya menetapkan aturan. Memberi batasan. Tanpa itu, anak seperti kapal tanpa nahkoda. Bebas, tapi tersesat.

Bayangkan sebuah tim tanpa pelatih. Pemain punya bakat. Tapi, tak ada strategi. Tak ada arahan. Hasilnya? Kekacauan.

Begitu pula anak tanpa ayah. Mereka punya potensi. Tapi, sering tersandung tanpa bimbingan.

Budaya dan Realitas Modern

Mengapa fatherless begitu masif di Indonesia? Pertama, persepsi budaya. Banyak ayah masih terpaku pada peran penyedia. “Cari uang, selesai,” begitu pikir mereka.

Paradigma semacam ini warisan zaman dulu. Ketika ibu fokus di rumah, ayah di luar. Tapi, zaman berubah. Tidak sedikit wanita kini juga bekerja. Tugas pengasuhan harus dibagi rata.

Kedua, realitas ekonomi. Banyak ayah terpaksa bekerja jauh. Pernikahan jarak jauh (long distance marriage) jadi pemicu. Atau, jam kerja panjang. Pulang malam. Lelah. Tak ada energi untuk anak.

Ketiga, perceraian. Data BPS mencatat 394.608 kasus perceraian tercatat selama tahun 2024. Kebanyakan, hak asuh jatuh ke ibu. Kontak ayah-anak terputus.

Ada pula faktor emosional. Ayah yang hadir, tapi tak terhubung. Tak tahu cara berkomunikasi.

Atau, tak paham kebutuhan anak. Hasilnya? Jarak emosional. Anak merasa ditinggalkan, meski ayah ada di sampingnya.

Posisi Indonesia dan Membandingkan dengan Dunia

Indonesia disebut negara fatherless ketiga terbesar di dunia. Sulit memverifikasi peringkat ini. Tapi, angka 80 persen anak tanpa figur ayah mengejutkan.

Bandingkan dengan AS. Data laman Psychology Today yang mengutip Badan Pusat Statistik (US Census Bureau) menyebut 1 dari 4 anak di sana hidup tanpa ayah kandung. Angkanya lebih kecil. Tapi, dampaknya serupa: masalah perilaku, kemiskinan, hingga depresi.

Bedanya, AS punya sistem pendukung. Konseling di sekolah. Program komunitas. Indonesia? Masih minim. Banyak keluarga menanggung sendiri.

Disamping itu, stigma sosial juga menghambat. Anak fatherless sering dicap “bermasalah”. Padahal, mereka korban keadaan.

Peran Ayah Harus Berubah

Fenomena ini bukan tanpa harapan. Perubahan dimulai dari ayah. Tak harus waktu banyak. Kualitas lebih penting.

Disinilah pentingnya komunikasi. Sesederhana apapun itu. Tanyakan kabar anak. Dengarkan cerita mereka. Beri rasa aman. Meski terpisah jarak, teknologi membantu. Video call. Pesan singkat. Itu cukup.

Kedua, edukasi. Ayah perlu belajar. Pengasuhan bukan hanya soal disiplin. Tapi, juga empati. Logika. Strategi hidup.

Ayah bisa mengajarkan anak cara mengambil keputusan. Cara berteman. Cara menghadapi tantangan. Ini yang membedakan peran ayah dan ibu.

Ketiga, dukungan sistemik. Pemerintah bisa berperan. Program pelatihan pengasuhan untuk ayah. Konseling keluarga. Atau, kampanye publik.

Ubah persepsi: ayah bukan hanya penyedia, tapi juga pendidik. Sekolah juga bisa membantu. Guru bisa deteksi dini anak dengan masalah fatherless. Beri bimbingan ekstra.

Intinya, fatherless bukan sekadar masalah keluarga. Ini krisis nasional. Anak adalah masa depan.

Jika 80 persen kehilangan figur ayah, dampaknya jangka panjang. Generasi rapuh. Produktivitas menurun. Masalah sosial meningkat.

Tapi, ini bukan akhir. Ayah bisa berubah. Masyarakat bisa mendukung. Pemerintah bisa bertindak.

Mari mulai perubahan ini dari rumah. Ayah, luangkan waktu. Tak perlu sempurna. Cukup hadir. Dengarkan. Ajarkan.

Untuk anak, kehadiran Anda lebih berharga dari apa pun. Untuk Indonesia, ini langkah menuju generasi yang lebih kuat.[]

(CATATAN REDAKSI: Meskipun telah dikurasi secara cermat serta dengan dukungan berbagai sumber panduan medis terpercaya, konten ini disediakan untuk penggunaan informasi semata dan tidak dimaksudkan sebagai nasihat medis atau sebagai pengganti nasihat medis dari profesional)

Baca Juga Lainnya

Analisa Data Tren Perceraian di Indonesia Tahun 2024, Bagaimana Persentasenya?

Parentnial Newsroom

DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ...

Potret Nikah Cerai di Kaltim Tahun 2024, Menelusuri Jejak Cinta dan Perpisahan

Parentnial Newsroom

TIDAK ada yang lebih menggugah hati daripada angka-angka yang membisikkan cerita di balik kehidupan manusia. Setidaknya, itulah yang mencuat saat ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Membaca Ulang Angka Perceraian di Jawa Barat 2024, Siapa Paling Rentan?

Parentnial Newsroom

PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data ...

Pelajaran dari ‘Adolescence’ Serial Netflix yang Menggugah tentang Kekerasan Remaja

Rahmat Hidayat

SERIAL drama Inggris terbaru, “Adolescence,” yang dirilis di Netflix pada 13 Maret 2025, telah menjadi fenomena global dengan lebih dari ...

Pelajaran dari Kasus Baim dan Paula, Mengapa Netizen Perlu Menghormati Batas Privasi

Muhammad Hidayat

DI masa masa seperti sekarang dimana akses informasi begitu mudahnya dan ruang digital yang serba terhubung, kehidupan pribadi figur publik ...