Bahaya Obesitas di Balik Candaan Menkes soal Ukuran Pinggang Pengguna Jeans

Adam Sukiman

KesehatanLifestyle

MENTERI Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, atau yang akrab disapa BGS, baru-baru ini mencuri perhatian. Dalam sebuah acara di Jakarta, ia melempar pernyataan yang menggelitik sekaligus menggigit.

“Pokoknya laki-laki kalau beli celana jeans masih di atas 32-33. Ukurannya berapa celana jeans? 34-33. Sudah pasti obesitas. Itu menghadap Allah-nya lebih cepat, dibandingkan dengan yang celana jeans-nya 32,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (14/5/2025).

Di balik candaan itu, ada pesan serius dari Pak Menteri, bahwa obesitas bukan main-main. Lingkar pinggang di atas 34-33, menurut BGS, sudah masuk zona bahaya. Mengapa pernyataan ini penting? Dan mengapa kita harus peduli?

Obesitas bukan sekadar soal penampilan. Ini soal kesehatan. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan obesitas meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, hingga kanker.

Di Indonesia, kasus obesitas terus naik. Gaya hidup modern jadi biang keladi. Banyak duduk, jarang gerak, plus konsumsi makanan tinggi kalori.

Mie instan, misalnya, sering jadi penutup malam. Padahal, kandungan kalori dan karbohidratnya bisa memicu penumpukan lemak.

BGS sendiri mengaku lingkar pinggangnya masih “agak obesitas”. Kejujuran ini patut diacungi jempol. Ia tak sekadar bicara, tapi juga mengakui tantangan pribadi.

Candaan BGS soal ukuran jeans bukan tanpa dasar. Lingkar pinggang jadi indikator sederhana tapi akurat untuk deteksi obesitas.

Pria dengan jeans ukuran 33-34 biasanya punya lingkar pinggang di atas 90 cm. Ini sinyal tubuh sudah kelebihan lemak visceral—lemak yang menyelimuti organ dalam.

Lemak visceral ini berbahaya. Ia bisa ganggu metabolisme, picu resistensi insulin, dan tingkatkan tekanan darah.

Wanita pun tak luput. Lingkar pinggang di atas 80 cm meningkatkan risiko penyakit kronis. BGS tak bermaksud body shaming. Ia cuma ingin kita sadar bahwa kesehatan itu prioritas.

Nada bercanda yang dipilih BGS punya alasan. Obesitas topik berat. Bicara serius terus bisa bikin orang jenuh. Dengan humor, pesan jadi lebih mudah diterima.

Bayangkan kalau ia ceramah panjang soal indeks massa tubuh (BMI). Mungkin hadirin malah ngantuk. Tapi soal “jeans 33-34”, orang langsung nyengir sambil ngecek celana sendiri. Strategi komunikasi ini cerdas. Publik tersentil tanpa merasa dihakimi.

Tapi, tentu saja, candaan ini juga punya risiko. Bisa disalahartikan sebagai body shaming. Apalagi di era media sosial, konteks gampang hilang.

Untungnya, BGS buru-buru klarifikasi bahwa ini bukan soal mengejek, tapi fakta medis. Obesitas memang memperpendek harapan hidup.

Studi global memperkirakan obesitas berkontribusi pada jutaan kematian tiap tahun. Gula, misalnya, disebut lebih berbahaya dari rokok karena perannya dalam pandemi obesitas. Jadi, candaan BGS bukan asal bunyi. Ada data di baliknya.

Masalahnya, gaya hidup modern tak mendukung perubahan. Pekerjaan kantoran bikin orang duduk berjam-jam. Makanan cepat saji ada di mana-mana. Iklan minuman manis membanjiri layar ponsel.

Belum lagi stres, yang bikin banyak orang “lari” ke makanan. Anak-anak pun kena imbas. Obesitas anak jadi masalah global, dan Indonesia tak terkecuali.

Di sinilah orang tua sering abai. Padahal, kebiasaan makan dan olahraga sejak kecil menentukan kesehatan di masa depan.

Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari sini?

Pertama, cek lingkar pinggang. Tak perlu ribet hitung BMI. Ambil meteran, ukur pinggang. Pria di bawah 90 cm, wanita di bawah 80 cm, aman. Kalau lebih, saatnya waspada.

Kedua, gerak. Tak harus ke gym. Jalan kaki 30 menit sehari sudah cukup. Ketiga, perhatikan piring. Kurangi gula, lemak jenuh, dan karbohidrat olahan. Sayur dan buah wajib masuk menu.

Pernyataan BGS juga panggilan untuk pemerintah. Kampanye anti-obesitas harus lebih gencar. Sekolah perlu edukasi gizi sejak dini.

Pajak gula pada minuman manis, seperti yang diterapkan beberapa negara sebagaimana juga sudah dibahas di Parentnial, pun bisa dipertimbangkan.

Fasilitas olahraga publik juga harus diperbanyak. Jakarta mungkin punya taman, tapi bagaimana dengan daerah lain? Kebijakan ini tak bisa ditunda. Obesitas sudah jadi ancaman nyata.

Gaya Hidup Harus Berubah

Candaan BGS soal jeans mungkin terdengar ringan. Tapi pesannya berbobot. Obesitas bukan cuma soal ukuran baju. Ini soal hidup dan mati.

Kita tak bisa terus santai. Gaya hidup harus berubah. Pemerintah, masyarakat, dan individu punya peran. Kalau lingkar pinggang sudah “mengkhawatirkan”, jangan tunggu besok.

Mulai sekarang. Kurangi porsi, tambah langkah. Jeans 32 bukan cuma soal gaya, tapi juga umur panjang.

Pernyataan Pak Menteri soal ukuran jeans ini adalah pengingat tajam di tengah tawa. Obesitas adalah bom waktu. Data medis tak bohong: lemak berlebih memangkas usia.

Tapi, ini bukan vonis. Kita punya kuasa untuk ubah gaya hidup. Mulai dari langkah kecil—ukur pinggang, jalan kaki, pilih makanan.

Pemerintah juga harus gerak cepat dengan kebijakan pro-kesehatan.

Jangan sampai candaan BGS cuma jadi angin lalu. Saatnya bertindak, sebelum jeans 34 benar-benar jadi “tiket cepat” ke akhir hayat.[]

Baca Juga Lainnya

Analisa Data Tren Perceraian di Indonesia Tahun 2024, Bagaimana Persentasenya?

Parentnial Newsroom

DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ...

Nama Bayi Kembar Perempuan

50 Pasang Nama Bayi Kembar Perempuan Dan Artinya

Parentnial Newsroom

Di tengah euforia belanja perlengkapan bayi dan mempersiapkan kamar mungil mereka, ada satu hal penting yang nggak boleh terlewat: memilih ...

50 Nama Bayi Laki-Laki Modern 3 Kata Paduan Bugis, Barat, dan Arab

Parentnial Newsroom

MEMILIH nama untuk buah hati adalah salah satu momen paling menyenangkan sekaligus sakral bagi orang tua. Nama bukan sekadar identitas, ...

50 Nama Bayi Perempuan Unik 3 Kata Kombinasi Bugis, Eropa, dan Arab Penuh Makna

Parentnial Newsroom

MEMILIH nama untuk sang buah hati adalah momen istimewa yang penuh makna. Nama tidak hanya menjadi identitas, tetapi juga doa ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Membaca Ulang Angka Perceraian di Jawa Barat 2024, Siapa Paling Rentan?

Parentnial Newsroom

PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data ...