Bayang-Bayang Predator Seks Jepara, 31 Anak Jadi Korban dan Semua Direkam

Adam Marzuki

AnakBerita

BELUM selesai kasus pria cabuli adik ipar yang berusia usia 6 tahun, kali ini kita kembali disuguhi kejadian mengerikan yang mengguncang nurani kolektif kita sebagai orangua.

Kali ini di Jepara, Jawa Tengah, yang terungkap pada akhir April kemarin. Seorang pemuda berusia 21 tahun, berinisial S, ditangkap setelah terbukti menjadi predator seks yang memperkosa dan mencabuli 31 anak di bawah umur.

Kasus ini bukan kriminal biasa, melainkan cerminan kegagalan sistemik dalam melindungi generasi muda dari ancaman kejahatan seksual yang kian merajalela di era digital.

Dengan nada geram, kita harus bertanya, bagaimana seorang pemuda seusia ini bisa tenggelam dalam kegelapan moral hingga merekam dan menyimpan aksi bejatnya? Apa yang memicu perilaku biadab ini, dan mengapa kita masih lengah?

Kasus ini terbongkar secara tak sengaja, ketika orang tua salah satu korban menemukan video tak senonoh di ponsel anaknya yang sedang diperbaiki.

Dari situ, polisi mengungkap fakta mencengangkan. Pelaku ternyata tidak hanya melakukan kekerasan seksual, tetapi juga merekam setiap adegan, memberi nama pada file-file tersebut, dan menyimpannya dengan rapi.

Perilaku ini bukan sekadar tindakan kriminal biasa. Ia menunjukkan gejala gangguan mental yang serius.

Psikologi modern mengaitkan kecenderungan merekam dan mengoleksi konten kekerasan seksual dengan gangguan obsesif-kompulsif atau bahkan parafilia, seperti voyeurisme atau sadisme seksual.

Pelaku tampaknya tidak hanya memuaskan nafsu, tetapi juga kecanduan akan kekuasaan dan kontrol atas korbannya, yang diperparah oleh paparan konten pornografi eksplisit di internet.

Konteks kekinian memperlihatkan betapa rentannya generasi muda terhadap dampak buruk dunia digital.

Pelaku memburu targetnya dengan merayu mereka, memaksa mereka membuka pakaian, hingga akhirnya melakukan pemerkosaan.

Modus ini bukanlah hal baru, tetapi fakta bahwa pelaku masih berusia 21 tahun menunjukkan betapa cepat generasi muda dapat terjerumus ke dalam pola perilaku predator akibat paparan konten ketelanjangan yang tidak terkontrol.

Mewaspadai Dampak Paparan Pornografi

Kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa pornografi, masturbasi, dan orgasme (PMO) telah menjadi candu bagi banyak individu, terutama kaum muda.

Konten eksplisit kini begitu mudah diakses, bahkan di platform media sosial yang populer di kalangan anak-anak dan remaja.

Algoritma platform sering kali mempromosikan konten sensual untuk meningkatkan keterlibatan pengguna, tanpa mempedulikan dampaknya terhadap perkembangan psikologis anak.

Studi dari Journal Sexuality Research and Social Policy (2023) menunjukkan bahwa paparan pornografi berkorelasi dengan peningkatan perilaku impulsif dan desensitisasi terhadap kekerasan seksual.

Dalam kasus Jepara, kecanduan PMO tampaknya menjadi pemicu yang memperburuk kecenderungan pelaku untuk mencari kepuasan melalui kekerasan nyata.

Namun, kemarahan kita tidak boleh berhenti pada pelaku semata. Sistem pendidikan, pengawasan orang tua, dan regulasi digital juga harus disorot.

Sekolah-sekolah di Indonesia masih minim menyediakan pendidikan seksualitas yang komprehensif, yang dapat membekali anak-anak untuk mengenali dan melawan manipulasi predator.

Orang tua, di sisi lain, sering kali tidak memiliki literasi digital yang cukup untuk mengawasi aktivitas anak di dunia maya.

Sementara itu, pemerintah dan penyedia platform tampak lamban dalam menangani penyebaran konten eksplisit.

Undang-undang seperti UU ITE dan UU Perlindungan Anak, yang digunakan untuk menjerat pelaku dalam kasus ini, memang ada, tetapi penegakan hukumnya sering kali reaktif, bukan preventif.

Kasus Jepara juga mengingatkan kita pada fenomena gunung es yang disinggung oleh Ketua DPR Puan Maharani, bahwa kekerasan seksual di Indonesia jauh lebih luas daripada yang terdeteksi.

Data dari hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 yang diluncurkan oleh KemenPPPA, menunjukkan bahwa jumlah prevalensi kekerasan terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada 2021, dengan banyak kasus yang tidak dilaporkan karena stigma sosial.

Jika 31 korban di Jepara saja baru terungkap karena kebetulan, berapa banyak lagi anak yang masih menderita dalam diam?

Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan komprehensif diperlukan. Pertama, platform media sosial harus bertanggung jawab dengan menerapkan filter konten yang lebih ketat dan algoritma yang tidak mempromosikan materi eksplisit.

Kedua, pendidikan seksualitas berbasis usia harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah, mengajarkan anak-anak tentang batasan tubuh, privasi digital, dan cara melaporkan pelecehan.

Ketiga, orang tua perlu dilatih untuk memahami dunia digital dan membangun komunikasi terbuka dengan anak.

Dan, terakhir, penegakan hukum harus lebih proaktif, dengan satuan tugas khusus untuk memantau aktivitas predator di dunia maya.

Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa kasus predator seks di Jepara ini adalah tamparan keras bagi kita semua.

Ia memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap anak di era digital, di mana kecanduan pornografi dan kelalaian sistemik membuka celah bagi kejahatan biadab.

Pelaku berusia 21 tahun ini bukan hanya produk dari gangguan mental pribadi, tetapi juga cerminan dari lingkungan digital yang gagal dikendalikan.

Kita tidak boleh lagi menutup mata. Jika ingin melindungi generasi mendatang, kita harus bertindak sekarang—dengan kemarahan yang terarah, kebijakan yang tegas, dan komitmen untuk menutup gerbang bagi predator.

Kesadaran kolektif ini harus ditumbuhkan bersama sebagai sesama orangtua. Anak-anak kita berhak hidup tanpa bayang-bayang ketakutan.[]

Baca Juga Lainnya

Analisa Data Tren Perceraian di Indonesia Tahun 2024, Bagaimana Persentasenya?

Parentnial Newsroom

DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ...

Potret Nikah Cerai di Kaltim Tahun 2024, Menelusuri Jejak Cinta dan Perpisahan

Parentnial Newsroom

TIDAK ada yang lebih menggugah hati daripada angka-angka yang membisikkan cerita di balik kehidupan manusia. Setidaknya, itulah yang mencuat saat ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Membaca Ulang Angka Perceraian di Jawa Barat 2024, Siapa Paling Rentan?

Parentnial Newsroom

PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data ...

Pelajaran dari ‘Adolescence’ Serial Netflix yang Menggugah tentang Kekerasan Remaja

Rahmat Hidayat

SERIAL drama Inggris terbaru, “Adolescence,” yang dirilis di Netflix pada 13 Maret 2025, telah menjadi fenomena global dengan lebih dari ...

Pelajaran dari Kasus Baim dan Paula, Mengapa Netizen Perlu Menghormati Batas Privasi

Muhammad Hidayat

DI masa masa seperti sekarang dimana akses informasi begitu mudahnya dan ruang digital yang serba terhubung, kehidupan pribadi figur publik ...