Generasi Sandwich di Tengah Gelombang PHK, Terjepit Ekonomi dan Terhimpit Mental

Hasman Dwipangga

AyahKeseharian

AWAL 2025 dibuka dengan kabar getir. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli melapor ke DPR: korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tanah air sudah tembus 24.036 jiwa, hanya dalam beberapa bulan pertama tahun ini.

Angka ini tentu tidak sedikit dan jelas mengkhawatirkan. Di balik puluhan ribu nama itu, ada nafkah yang terputus, anak-anak yang harus tetap sekolah, ibu renta yang harus tetap diberi obat, dan dapur yang harus terus mengepul.

Fenomena PHK massal ini tidak muncul begitu saja. Ada badai ekonomi global, disrupsi teknologi yang memaksa efisiensi, hingga kondisi dalam negeri yang masih terpukul akibat ketidakpastian ekonomi.

Namun, ada sisi lain yang jarang disentuh para pembuat kebijakan: kesehatan mental para korban PHK yang kini harus memikul beban sebagai generasi sandwich — generasi yang menanggung hidup orang tua dan anak-anak sekaligus.

Mari kita urai pelan-pelan. Ketika seseorang kehilangan pekerjaan, beban ekonominya langsung terasa. Tapi yang lebih pelan namun lebih dalam, adalah luka psikologisnya.

Dalam banyak studi, kehilangan pekerjaan terbukti memicu stres berat, kecemasan kronis, bahkan depresi. Di Indonesia, di mana sistem jaring pengaman sosial masih rapuh, dampaknya bisa lebih ganas.

Bayangkan seorang kepala keluarga berusia 40-an, pekerja di sektor manufaktur yang tiba-tiba dirumahkan karena pabriknya mengalihkan produksi ke luar negeri demi upah lebih murah.

Ia tak hanya harus memikirkan bagaimana membayar cicilan rumah bulan depan, tapi juga harus memikirkan biaya sekolah anak yang sebentar lagi naik, serta kebutuhan harian ibu yang sudah tak mampu bekerja.

Semua beban itu kini menumpuk, tanpa kepastian kapan akan dapat pekerjaan baru.

Inilah wajah generasi sandwich yang kini menjadi korban utama gelombang PHK ini.

Mereka bukan hanya pencari nafkah, tapi juga tumpuan hidup bagi dua generasi sekaligus: anak-anak yang belum mandiri, dan orang tua yang sudah sepuh.

Ketika PHK datang, efek domino pun terjadi: bukan hanya ia yang menderita, tapi seluruh lingkaran keluarga ikut goyah.

Ironisnya, isu kesehatan mental akibat PHK ini jarang jadi pokok bahasan dalam rapat-rapat elite.

Fokus pemerintah, seperti yang disampaikan Menaker, masih seputar pelatihan vokasi dan bantuan sosial. Tentu saja itu penting.

Tapi, apakah pelatihan singkat mampu menyembuhkan trauma psikologis seorang ayah yang setiap malam gelisah karena belum tahu dari mana besok bisa membeli beras?

Apakah bantuan Rp600 ribu cukup untuk membayar harga tenang tidur seorang ibu yang khawatir masa depan anaknya?

Dalam situasi seperti ini, pendekatan kebijakan harus dirombak total. Kita perlu memandang PHK bukan semata soal hilangnya angka dalam daftar pekerjaan formal, tapi juga soal krisis kesehatan mental yang berpotensi meledak jika dibiarkan.

Negara-negara maju mulai memasukkan layanan konseling gratis sebagai bagian dari paket bantuan korban PHK.

Indonesia, yang tengah gencar mendorong transformasi digital dan industrialisasi, semestinya tak boleh ketinggalan dalam hal yang lebih mendasar: perlindungan mental warganya.

Selain itu, perlu ada skema yang lebih adaptif untuk menghadapi karakter unik generasi sandwich ini. Program bantuan harus menyasar keluarga, bukan individu semata.

Misalnya, dengan subsidi pendidikan yang otomatis aktif saat kepala keluarga terkena PHK, atau layanan kesehatan gratis untuk orang tua yang masih dalam tanggungan.

Bantuan tunai tentu membantu, tapi tanpa jaring sosial yang kuat, PHK akan terus jadi pemantik ketidakstabilan sosial.

Kesimpulannya, PHK awal 2025 yang sudah menembus puluhan ribu jiwa ini adalah alarm keras. Bukan hanya alarm ekonomi, tapi juga alarm sosial dan psikologis.

Kita menghadapi bukan sekadar kehilangan pekerjaan, tapi juga potensi krisis mental di tengah masyarakat yang masih berjuang dari pandemi, inflasi, dan tekanan hidup berlapis-lapis.

Jika tak segera diantisipasi, angka 24 ribu itu bisa tumbuh jadi badai sosial yang lebih besar.

Saran untuk pemerintah sederhana namun fundamental, jangan hanya bicara soal pelatihan dan bantuan tunai, tapi perluas paket kebijakan ke arah pemulihan mental korban PHK.

Mulailah dengan menyediakan layanan konseling gratis, membangun pusat krisis di daerah industri yang rawan PHK, dan mendesain program yang secara langsung melindungi keluarga korban, bukan hanya si pencari nafkahnya.

Karena dalam dunia kerja yang makin tak pasti ini, kehilangan pekerjaan memang bisa dicari penggantinya. Tapi, kehilangan kewarasan? Itu investasi sosial yang jauh lebih mahal.[]

Baca Juga Lainnya

Analisa Data Tren Perceraian di Indonesia Tahun 2024, Bagaimana Persentasenya?

Parentnial Newsroom

DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ...

Potret Nikah Cerai di Kaltim Tahun 2024, Menelusuri Jejak Cinta dan Perpisahan

Parentnial Newsroom

TIDAK ada yang lebih menggugah hati daripada angka-angka yang membisikkan cerita di balik kehidupan manusia. Setidaknya, itulah yang mencuat saat ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Membaca Ulang Angka Perceraian di Jawa Barat 2024, Siapa Paling Rentan?

Parentnial Newsroom

PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data ...

Pelajaran dari ‘Adolescence’ Serial Netflix yang Menggugah tentang Kekerasan Remaja

Rahmat Hidayat

SERIAL drama Inggris terbaru, “Adolescence,” yang dirilis di Netflix pada 13 Maret 2025, telah menjadi fenomena global dengan lebih dari ...

Pelajaran dari Kasus Baim dan Paula, Mengapa Netizen Perlu Menghormati Batas Privasi

Muhammad Hidayat

DI masa masa seperti sekarang dimana akses informasi begitu mudahnya dan ruang digital yang serba terhubung, kehidupan pribadi figur publik ...