
GUBERNUR Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melempar ide kontroversial. Vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos) dan beasiswa. Tujuannya mulia: menekan angka kemiskinan dengan mengendalikan jumlah anak di keluarga prasejahtera.
Namun, ide ini langsung memicu gelombang reaksi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat suara. Ketua Bidang Fatwa MUI, Prof. KH Asrorun Niam Sholeh, tegas menyatakan: vasektomi haram, kecuali ada alasan syar’i.
Kebijakan ini, kata MUI, seperti dilansir laman MUI Digital, harus dikoreksi. Jika dipaksakan, tak boleh ditaati.
Baca Juga
Mengapa Vasektomi Haram?
MUI mendasarkan fatwa pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV tahun 2012 di Cipasung, Tasikmalaya. Intinya: vasektomi adalah kontrasepsi permanen.
Dalam syariat, pemandulan tetap dilarang. Islam, menurut MUI, membolehkan keluarga berencana (KB). Tapi, syaratnya ketat. Metode KB tak boleh melanggar syariat. Vasektomi, dengan sifatnya yang memutus saluran sperma, dianggap bertentangan.
Namun, ada pengecualian. Vasektomi boleh jika memenuhi lima syarat ketat, yaitu tidak bertentangan dengan syariat (misalnya, untuk kesehatan), tidak menyebabkan kemandulan permanen, ada jaminan medis bahwa fungsi reproduksi bisa pulih via rekanalisasi, tidak membahayakan pelaku, dan tidak menjadi bagian program kontrasepsi mantap.
Masalahnya, teknologi rekanalisasi—penyambungan kembali saluran sperma—tidak menjamin kesuburan pulih 100%. Biayanya pun mahal. MUI pun menilai, vasektomi tetap haram dalam konteks kebijakan bansos.
Vasektomi dan Rekanalisasi
Secara medis, vasektomi adalah prosedur sederhana. Dokter memotong atau menyumbat saluran vas deferens. Sperma tak lagi keluar, tapi pria tetap bisa berhubungan intim.
Lantas, apakah itu efektif untuk KB? Sangat. Tapi, permanen.
Rekanalisasi memang ada. Teknologi modern memungkinkan saluran sperma disambung kembali. Tapi, keberhasilannya bervariasi.
Faktor seperti waktu sejak vasektomi, usia, dan kondisi kesehatan memengaruhi. Biaya rekanalisasi juga bukan main—bisa puluhan juta rupiah.
Bandingkan dengan KB lain, seperti kondom atau IUD. Lebih murah, reversibel, dan tidak melanggar syariat. Mengapa memilih vasektomi, yang berisiko tinggi secara syar’i dan finansial? Di sinilah kebijakan Dedi Mulyadi mulai dipertanyakan.
Niat Baik, Eksekusi Salah?
Dedi Mulyadi punya argumen kuat. Data menunjukkan, keluarga miskin di Jawa Barat sering punya banyak anak. Ada yang sampai 16, bahkan 22 anak!
Beban ekonomi membengkak. Anak-anak sulit sekolah. Kesejahteraan terancam.
Vasektomi, bagi Dedi, adalah solusi praktis. Kurangi jumlah anak, tekan kemiskinan. Logika ini tampak masuk akal. Tapi, benarkah sesederhana itu?
MUI menilai kebijakan ini gegabah. Mengaitkan bansos dengan vasektomi, yang haram secara syar’i, adalah langkah berisiko. Publik bisa menolak.
Resistensi pun muncul. Bukannya menyelesaikan masalah, kebijakan ini justru memicu kegaduhan. MUI menyarankan diskusi mendalam. Kajian agama, medis, dan sosial harus menyertai.
Coba bandingkan dengan pendekatan lain. Edukasi KB, misalnya. Atau, bansos yang fokus pada peningkatan pendidikan dan keterampilan. Bukankah ini lebih berkelanjutan? Mengapa memaksakan vasektomi, yang jelas-jelas bertentangan dengan fatwa?
Siapa yang Paling Dirugikan?
Bayangkan keluarga miskin di pelosok Jawa Barat. Mereka butuh bansos untuk makan, sekolah, atau biaya kesehatan. Tiba-tiba, syaratnya vasektomi.
Pilihan sulit muncul. Ikut vasektomi, melanggar keyakinan agama. Tolak vasektomi, kehilangan bansos. Ini bukan kebijakan inklusif. Ini tekanan.
Lalu, ada aspek hak asasi manusia (HAM). Memaksa vasektomi sebagai syarat bansos bisa dianggap pelanggaran HAM. Hak atas tubuh dan reproduksi seseorang dilanggar.
Menteri Sosial bahkan menyatakan, kebijakan ini harus dikaji dari sudut agama dan HAM. Tidak bisa seenaknuya. Niat baik tak boleh mengorbankan hak dasar.
Islam Terbuka Pada Inovasi
Fatwa MUI bukan dogma kaku. Prof. Asrorun Niam menegaskan, fatwa bersifat dinamis. Perkembangan ilmu pengetahuan bisa mengubah hukum.
Sejak 1979, MUI sudah membahas vasektomi. Teknologi rekanalisasi terus dievaluasi. Tapi, hingga 2012, belum ada bukti medis yang cukup untuk mengubah status haram.
Ini menarik. Islam terbuka pada inovasi. Tapi, syariat punya garis tegas: kemaslahatan umat. Vasektomi, dalam pandangan MUI, lebih banyak mudaratnya.
Risiko kemandulan permanen, biaya rekanalisasi, dan potensi kegaduhan sosial jadi pertimbangan.
Fatwa MUI jelas: vasektomi haram, kecuali ada alasan syar’i. Kebijakan Dedi Mulyadi, meski berniat baik, adalah salah langkah.
Mengaitkan bansos dengan vasektomi bukan hanya melanggar syariat, tapi juga memicu resistensi sosial. Solusi kemiskinan tak boleh mengorbankan keyakinan atau hak asasi.
Apa jalan tengahnya? Pertama, edukasi KB yang syar’i. Promosikan metode kontrasepsi reversibel, seperti IUD atau pil KB.
Kedua, perkuat bansos untuk pendidikan dan keterampilan. Ini lebih berkelanjutan ketimbang memaksa vasektomi.
Ketiga, libatkan ulama, dokter, dan akademisi dalam merumuskan kebijakan. Diskusi lintas sektor akan meminimalkan konflik.
MUI sudah menawarkan diri sebagai mitra pemerintah. Ini peluang emas. Pemerintah harus mendengar.
Kesejahteraan rakyat bukan cuma soal angka kemiskinan. Kemaslahatan syar’i dan sosial juga harus terjaga. Tanpa itu, kebijakan apapun akan sia-sia.[]