
SAAT ini inspirasi tak lagi hanya datang dari buku klasik atau film epik. Video game, dunia interaktif yang memikat jutaan jiwa, kini menjadi sumber nama bayi.
Julia Banim dalam tulisannya di The Mirror, Selasa (6/5/2025) mengungkap tren menarik. Orang tua kini melirik karakter game untuk menamai anak mereka.
Tentu saja bukan sekadar tren, ini cerminan perubahan budaya. Mengapa dunia piksel ini begitu memikat? Apa yang membuat nama seperti Lee, Faith, atau Isaac—terinspirasi dari game—menggema di kamar bayi?
Baca Juga
Fenomena Nama dari Dunia Virtual
Menurut Online Free Games, analisis pencarian Google global menunjukkan nama-nama karakter game kian populer. Nama perempuan, seperti Faith dari Mirror’s Edge, mendominasi dengan skor minat lebih tinggi dibandingkan nama laki-laki.
Ini mengejutkan. Biasanya, nama bayi perempuan lebih terikat pada tradisi atau nilai spiritual. Tapi kini, karakter game—kuat, independen, dan penuh makna naratif—mengubah pola pikir.
Faith, misalnya, bukan hanya nama. Ia simbol keberanian dan ketangkasan dalam dunia Mirror’s Edge. Orang tua melihatnya sebagai cerminan harapan untuk anak mereka.
Nama laki-laki tak kalah menarik. Lee dari The Walking Dead (skor 81,75) dan Isaac dari Dead Space (80,23) masuk daftar teratas. Nama-nama ini bukan sekadar label. Mereka membawa cerita.
Lee adalah figur pahlawan yang rela berkorban, sementara Isaac adalah penyintas di tengah kengerian antargalaksi.
Orang tua modern, yang menghabiskan jam bermain game, merasa kedekatan emosional dengan karakter ini. Game bukan lagi hiburan semata. Ia adalah kanvas emosi, seperti novel atau film.
Mengapa Video Game?
Pertanyaan besarnya, mengapa game? Jawabannya sederhana, tapi dalam. Game adalah pengalaman.
Berbeda dengan film yang pasif, game menempatkan pemain sebagai aktor utama. Kita mengendalikan Faith saat ia melompat dari gedung pencakar langit.
Kita memandu Lee melalui dilema moral. Ini menciptakan ikatan yang kuat. Karakter game terasa hidup. Mereka bukan sekadar tokoh. Mereka adalah teman, cerminan diri, atau bahkan versi ideal kita.
Bandingkan dengan inspirasi tradisional. Nama seperti Michael atau Maria sering dipilih karena nilai agama atau warisan keluarga. Tapi di era digital, game menawarkan narasi yang lebih personal.
Orang tua milenial dan Gen Z, yang besar dengan PlayStation atau PC, melihat game sebagai bagian identitas mereka.
Menamai anak dengan nama karakter game adalah cara merayakan pengalaman itu. Ini seperti menamai anak berdasarkan tokoh Shakespeare—hanya saja, medianya lebih modern.
Kontekstualisasi Budaya
Tren ini bukan tanpa konteks. Dunia sedang berubah. Video game bukan lagi stigma “mainan anak”. Industri game global bernilai lebih dari $200 miliar pada 2024, melampaui film dan musik.
Game seperti The Last of Us atau Cyberpunk 2077 dianggap karya seni, dengan cerita yang mendalam dan karakter yang kompleks.
Orang tua modern, terutama di negara Barat, melihat game sebagai sumber inspirasi yang sah. Ini bukan sekadar tren “aneh”. Ini evolusi budaya.
Namun, ada pola menarik. Nama perempuan dari game lebih populer. Mengapa? Mungkin karena karakter perempuan dalam game sering dirancang dengan dimensi emosional yang kuat.
Faith, misalnya, bukan hanya pahlawan aksi. Ia punya latar belakang yang penuh makna. Sementara itu, nama laki-laki seperti Isaac atau Lee sering dikaitkan dengan ketangguhan.
Orang tua mungkin lebih ragu menamai anak laki-laki dengan nama “keras” ini, takut dianggap terlalu maskulin atau tidak konvensional.
Tantangan dan Kritik
Tren ini tak luput dari kritik. Beberapa orang tua khawatir nama seperti Faith atau Lee terlalu “trendi”. Akankah anak mereka merasa aneh saat dewasa?
Lalu, ada stigma sosial. Di beberapa budaya, menamai anak berdasarkan game bisa dianggap kurang serius.
Tapi, bukankah inspirasi itu subjektif? Jika nama seperti Romeo bisa diterima karena Shakespeare, mengapa Faith dari Mirror’s Edge tidak?
Ada juga soal keabadian. Game datang dan pergi. Akankah Dead Space masih relevan 20 tahun lagi? Mungkin tidak. Tapi nama seperti Isaac atau Lee punya akar yang lebih dalam, baik dari tradisi agama maupun budaya pop.
Risikonya kecil. Nama-nama ini cukup fleksibel untuk bertahan di luar konteks game.
Apa yang Bisa Dipelajari?
Tren ini mengajarkan satu hal: budaya pop adalah cerminan zaman. Orang tua tak lagi terpaku pada tradisi. Mereka mencari makna dalam pengalaman pribadi.
Game, sebagai medium interaktif, memberi ruang untuk itu. Ini juga sinyal bahwa game bukan sekadar hiburan. Ia adalah seni, narasi, dan identitas.
Orang tua yang menamai anak mereka Faith atau Lee sedang menulis cerita baru—cerita yang menggabungkan dunia virtual dan nyata.
Tapi ada saran untuk orang tua, pikirkan jangka panjang. Pilih nama yang tak hanya keren saat ini, tapi juga bermakna di masa depan.
Faith mungkin sempurna—ia punya akar spiritual dan naratif game yang kuat. Tapi jika ragu, coba konsultasi dengan keluarga atau teman. Nama adalah identitas. Ia harus terasa tepat, bukan hanya tren sesaat.
Nama bayi terinspirasi video game ini cerminan bagaimana kita hidup di era digital. Game telah menjadi bagian dari identitas kita, seperti buku atau film di masa lalu.
Tren ini menunjukkan fleksibilitas budaya—dan keberanian orang tua untuk merangkul yang baru. Tapi bijaksanalah.
Pilih nama yang tak hanya mewakili passion, tapi juga memberi anak kebanggaan seumur hidup. Dunia piksel mungkin fana, tapi nama adalah warisan abadi.[]