
KISAH dari Gold Coast, Australia, ini mencuri perhatian. Seorang ibu asal Adelaide, Renèe Barendregt, mengaku diusir dari restoran Lemongrass Thai di Main Beach saat berlibur bersama keluarganya.
Alasannya? Anaknya, Ziggy, dianggap terlalu berisik. Insiden ini memicu perdebatan sengit di media sosial.
Ada yang membela sang ibu, menyebut restoran tidak ramah keluarga. Ada pula yang menuding orangtua lalai mengawasi anak. Siapa yang benar? Mari kita bedah dengan logika sederhana.
Baca Juga
Fakta di Balik Insiden
Seperti dikutip Parentnial dari Daily Mail, Renèe bersama ibunya dan Ziggy, anak yang diperkirakan berusia tiga tahun, mengunjungi Lemongrass Thai.
Menurut sang ibu, Ziggy hanya berlarian dan bersuara seperti anak pada umumnya. Namun, staf restoran merasa perilaku Ziggy mengganggu pelanggan lain.
Renèe pun diminta pergi, sebuah keputusan yang ia anggap memalukan dan tidak adil. Media sosial pun ramai.
Sebagian netizen menyebut restoran terlalu keras, sementara yang lain menilai Renèe kurang tegas mengendalikan anaknya.
Tentu ini bukan kasus pertama. Restoran di seluruh dunia kerap menghadapi dilema serupa, mengenai bagaimana menyeimbangkan kenyamanan semua pelanggan.
Anak-anak memang cenderung aktif. Mereka berlari, berteriak, atau menangis. Itu wajar.
Tapi, apakah wajar jika perilaku mereka mengganggu pengalaman orang lain? Di sinilah pertanyaan besar muncul, siapa yang paling bertanggung jawab?
Tanggung Jawab Utama pada Orangtua
Mari kita mulai dari prinsip dasar. Anak adalah tanggung jawab orangtua. Di tempat umum seperti restoran, orangtua wajib memastikan anak tidak mengganggu orang lain.
Ziggy mungkin hanya “menjadi anak-anak”, tapi jika larinya mengganggu pelayan atau suaranya mengacau diskusi meja sebelah, itu bukan lagi sekadar “kenakalan biasa”. Orangtua harus bertindak.
Bayangkan Anda sedang makan malam romantis. Tiba-tiba, seorang anak berlari menabrak kursi Anda. Anda mungkin tersenyum sekali, tapi bagaimana jika itu terjadi berulang-ulang? Kesabaran punya batas.
Renèe mungkin merasa Ziggy tidak bermasalah, tapi persepsi pelanggan lain bisa berbeda. Orangtua tidak bisa sekadar berkata, “Ini cuma anak kecil,” lalu abai. Mengawasi anak adalah kewajiban, bukan opsi.
Namun, ini bukan berarti orangtua harus membungkam anak sepenuhnya. Anak butuh ruang untuk berekspresi. Kuncinya adalah keseimbangan.
Ajak anak duduk, beri aktivitas seperti buku mewarnai, atau ajak berjalan keluar sebentar jika mulai gelisah. Ini bukan ilmu roket, hanya soal perhatian dan empati terhadap orang lain.
Peran Pengelola “Tidak Bisa Cuci Tangan”
Di sisi lain, restoran bukan tempat netral. Mereka punya tanggung jawab. Lemongrass Thai memilih mengusir Renèe, sebuah langkah yang terkesan ekstrem.
Mengapa tidak memulai dengan pendekatan lembut? Misalnya, staf bisa menawarkan kursi tinggi untuk Ziggy atau mengingatkan Renèe dengan sopan.
Mengusir pelanggan adalah jalan terakhir, bukan langkah pertama. Restoran adalah bisnis jasa. Kenyamanan pelanggan adalah prioritas, tapi itu tidak berarti mengorbankan satu kelompok demi kelompok lain.
Jika Lemongrass Thai memasarkan diri sebagai “ramah keluarga”, mereka harus siap menghadapi anak-anak. Beberapa restoran di dunia sudah pintar menyiasati ini.
Mereka menyediakan area bermain kecil, menu anak, atau bahkan hiburan sederhana seperti krayon dan kertas. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga strategi bisnis.
Keluarga adalah segmen pasar besar. Mengabaikan mereka sama dengan memotong pendapatan.
Namun, restoran juga berhak menetapkan batas. Jika seorang anak benar-benar mengganggu—katakanlah, melempar makanan atau berteriak tanpa henti—pengelola berhak bertindak. Kuncinya adalah komunikasi.
Staf harus dilatih untuk menangani situasi sensitif tanpa membuat pelanggan merasa dihakimi. Di kasus Renèe, nada atau cara staf menyampaikan keluhan mungkin memperburuk situasi.
Untuk memahami ini, bandingkan dengan bioskop. Jika anak menangis di tengah film, orangtua biasanya membawanya keluar. Mengapa? Karena mereka tahu suara anak mengganggu penonton lain.
Restoran tidak jauh berbeda. Bedanya, restoran adalah ruang semi-publik yang lebih fleksibel. Tapi fleksibilitas bukan alasan untuk abai. Baik di bioskop maupun restoran, prinsipnya sama: kebebasan seseorang berhenti saat mengganggu orang lain.
Budaya dan Ekspektasi Sosial
Kasus ini juga mencerminkan perbedaan budaya. Di beberapa negara, anak-anak dibiarkan lebih bebas di tempat umum. Di negara lain, seperti Jepang, pengawasan orangtua jauh lebih ketat.
Australia, termasuk Gold Coast, cenderung santai, tapi itu tidak berarti tanpa batas. Masyarakat Australia menghargai kebebasan individu, tapi juga mengharapkan tanggung jawab.
Renèe mungkin merasa dihakimi karena budaya santai ini, tapi pelanggan lain juga berhak menikmati makan mereka tanpa gangguan.
Kisruh di Lemongrass Thai bukan soal siapa yang benar atau salah, tapi soal tanggung jawab bersama.
Orangtua adalah garda terdepan. Mereka harus mengawasi anak, mengajarkan batasan, dan memastikan perilaku anak tidak mengganggu orang lain.
Tapi, di sisi lain, restoran juga punya peran. Mereka harus menciptakan lingkungan yang inklusif, melatih staf untuk berkomunikasi dengan empati, dan menghindari solusi ekstrem seperti mengusir pelanggan.
Sebagai bentuk antisipasi, tidak ada salahnya selalu bawa “alat tempur” seperti mainan atau buku untuk mengalihkan perhatian anak.*/