
KASUS pemblokiran grup Facebook bernama Fantasi Sedarah, yang terungkap memiliki lebih dari 32 ribu anggota, adalah cerminan suram dari krisis moral dan krisis literasi seksual yang tengah membelit masyarakat digital Indonesia.
Grup ini, yang dibentuk untuk membagikan konten cerita-cerita fiksi berbau pornografi inses, menjadi potret bagaimana fantasi seksual menyimpang bisa menemukan ekosistemnya sendiri di ruang maya—tersembunyi, tetapi mengakar.
Dikutip Parentnial dari siaran video Metro Pagi Primetime, Senin (19/5/2025), admin grup ‘Fantasi Sedarah’ ini masih dalam kejaran polisi.
Baca Juga
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika (Komdigi) telah menutup grup ini.
Namun, pembubaran teknis tersebut belum menjawab pertanyaan yang lebih dalam mengenai bagaimana bisa imajinasi kolektif masyarakat sampai ke titik merayakan fantasi sedarah?
Dan, yang tidak kalah mengkhawatirkan, apa yang membuat ribuan orang nyaman menjadi bagian dari komunitas virtual semacam ini?
Normalisasi Penyimpangan dalam Era Digital
Di era media sosial, ruang-ruang privat dan publik telah melebur. Internet memungkinkan siapa pun membangun komunitas berdasarkan kesamaan minat, bahkan jika minat tersebut menyimpang secara moral, hukum, atau norma sosial.
Ketika algoritma hanya mengenali “engagement” sebagai tolok ukur keberhasilan konten, narasi yang ekstrem dan memancing hasrat seksual—termasuk incest fantasy—berpeluang menyebar luas tanpa filter nilai.
Apa yang terjadi pada grup Fantasi Sedarah bukanlah kasus tunggal. Fenomena ini menjadi bagian dari arus deras konten pornografi yang makin mudah diakses anak-anak muda.
Dalam banyak survei, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat akses pornografi tertinggi di Asia. Bukan hanya konten visual, namun juga konten berbasis teks, seperti cerita erotis dan forum diskusi yang meromantisasi penyimpangan seksual.
Kegagalan Literasi Seksual dan Psikologi Kolektif
Banyak pihak menilai bahwa terbentuknya grup seperti ini adalah hasil dari kegagalan sistem pendidikan dalam mengenalkan literasi seksual yang sehat.
Di banyak sekolah, seksualitas masih dianggap tabu, hanya dijelaskan dari aspek biologis, tanpa ruang diskusi tentang nilai, moral agama, etika, dan tanggung jawab. Akibatnya, remaja dan orang dewasa mencari “jawaban” dari internet, yang justru sering kali menyuguhkan versi terdistorsi dari realitas seksual.
Dalam sudut pandang psikologi kolektif, munculnya komunitas penggemar fantasi sedarah menandakan adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi—entah itu rasa ingin tahu yang tidak tersalurkan, trauma masa kecil, atau pelarian dari realitas sosial.
Namun, yang berbahaya, adalah internet memfasilitasi normalisasi terhadap fantasi yang seharusnya dikritisi, bukan dirayakan.
Fiksi dan fantasi, sejatinya, adalah ranah yang bebas. Namun ketika cerita yang diangkat adalah tentang inses dan hal itu disebarluaskan dalam bentuk komunitas dengan antusiasme kolektif, maka ini bukan lagi tentang kebebasan berkekspresi dan berimajinasi. Ini adalah masalah serius masyarakat kita dalam memproduksi dan mengonsumsi bentuk-bentuk penyimpangan dalam kemasan “fiksi”.
Dampak Sosial dan Ancaman Jangka Panjang
Penting untuk ditegaskan bahwa keberadaan grup seperti Fantasi Sedarah bukan hanya masalah moral individu, tetapi ancaman terhadap tatanan sosial.
Konten semacam ini membuka pintu bagi ketumpangan persepsi seksual, memperlemah kontrol diri, dan menurunkan sensitivitas terhadap nilai keluarga dan batas-batas hubungan yang sehat.
Dalam jangka panjang, jika tidak diantisipasi secara serius, ini dapat menormalisasi pemikiran yang menyimpang dalam masyarakat.
Bukan tidak mungkin, remaja yang tumbuh dengan paparan konten semacam ini akan menganggap inses atau bentuk kekerasan seksual sebagai bagian dari “fantasi wajar”.
Di sisi lain, ini juga menjadi tantangan besar bagi penegakan hukum. Karena meski grupnya telah diblokir, para admin dan anggota masih berpotensi membuat ruang serupa di platform lain. Dunia maya bersifat cair; pemblokiran satu ruang belum tentu membubarkan jaringannya.
Saatnya Bertindak Melampaui Sensor
Pemblokiran grup hanyalah langkah awal. Yang lebih penting adalah menciptakan ekosistem digital yang sehat dan membangun literasi seksual yang menyeluruh.
Edukasi harus mulai berani membicarakan seksualitas namun bertanggung jawab—berlandas pada nilai agama dan moral, tapi juga tidak permisif. Internet bukan ruang terlarang, tetapi ia membutuhkan navigator yaitu keluarga, guru, dan komunitas digital yang sadar.
Kita sedang berhadapan dengan generasi yang tumbuh bersama algoritma, bukan dengan buku pelajaran. Maka penyelesaiannya pun harus menyentuh akar digital: dari regulasi platform, filter konten, hingga kampanye sadar pornografi.
Lebih dari itu, kita butuh narasi tandingan—cerita yang mendidik, membangun, dan menghargai martabat manusia.
Jika masyarakat Indonesia tidak segera menyadari kedalaman krisis ini, bukan tidak mungkin, gelombang berikutnya akan lebih berbahaya. Bukan lagi sekadar fantasi, tapi tindakan nyata yang lahir dari fantasi yang tidak pernah dikritisi.[]