Mengkaji Inisiatif Menteri Wihaji Hadirkan Sekolah Pasangan Pra-Nikah

Parentnial Newsroom

Pernikahan

Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Dr. H. Wihaji, S.Ag, M.Pd., dalam sesi wawancara dengan media di Gedung Halim BKKBN Jakarta (Foto: Istimewa/ bkkbn.go.id)

INDONESIA menghadapi tantangan demografi yang kompleks. Bonus demografi, dengan 27,94% penduduk adalah Generasi Z, menawarkan peluang sekaligus risiko.

Stunting masih mengintai, angka kelahiran total (TFR) di 2,18—melebihi target 2,1. Pernikahan dini, childfree, hingga ketidaksiapan pasangan muda memperumit dinamika kependudukan.

Di tengah realitas ini, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/ Kepala BKKBN, Dr. Wihaji, S.Ag., M.Pd, berinisiatif meluncurkan Sekolah Keluarga Berencana.

Inisiatif Wihaji ini menyasar pasangan pra-nikah. Tujuannya? Membangun fondasi keluarga berkualitas sejak dini.

Sekolah Keluarga Berencana bukan sekadar program penyuluhan. Ini adalah platform pendidikan terstruktur. Pasangan pra-nikah diajak memahami kesehatan reproduksi, perencanaan keuangan, hingga psikologi keluarga.

Wihaji, mantan Bupati Batang yang dikenal visioner, melihat urgensi intervensi dini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan, pernikahan dini berkontribusi pada risiko stunting.

Pasangan di bawah usia ideal—21 tahun untuk perempuan, 25 tahun untuk laki-laki—kerap tak siap secara mental dan finansial. Akibatnya, anak-anak mereka rentan terhadap malnutrisi dan gangguan perkembangan.

Urgensi Sekolah Pra-Nikah

Bayangkan dua pasangan muda. Pasangan A menikah tanpa persiapan, minim pengetahuan soal gizi ibu hamil.

Pasangan B melalui Sekolah Keluarga Berencana, memahami pentingnya asupan gizi dan konsultasi kesehatan pra-kehamilan.

Tentu pasangan B lebih mungkin melahirkan anak sehat, bebas stunting. Persiapan menentukan hasil.

Inisiatif Wihaji menawarkan alat untuk persiapan itu. Program ini bukan hanya soal kontrasepsi, tetapi juga edukasi holistik. Pasangan diajarkan merencanakan jumlah anak, memahami tanggung jawab orang tua, hingga mengelola konflik rumah tangga.

Saat ini, umumnya pendekatan tradisional. Penyuluhan keluarga berencana (KB) sering kali reaktif, menyasar pasangan yang sudah menikah.

Karena itu, inisiatif Sekolah Keluarga Berencana mesti proaktif. Ia menangkap pasangan di tahap awal, sebelum ikatan pernikahan terjalin. Pendekatan ini mirip dengan konsep “Siap Nikah Siap Hamil” yang juga digaungkan Wihaji.

Sertifikat elektronik dengan nama ini diberikan kepada calon pengantin sebagai simbol kesiapan. Efeknya? Pencegahan stunting dimulai dari hulu, bukan hilir.

Kemajuan dan Edukasi Modern

Tantangan utama adalah adopsi program. Indonesia memiliki 280 juta penduduk, dengan keragaman budaya dan tingkat pendidikan.

Di perkotaan, pasangan muda mungkin terbuka dengan edukasi modern. Di pedesaan, norma budaya dan akses informasi bisa menjadi hambatan.

Wihaji tampaknya menyadari ini. Ia mengerahkan 1,3 juta tenaga lapangan—termasuk penyuluh KB, Tim Pendamping Keluarga, hingga Duta Generasi Berencana (GenRe).

Digitalisasi juga diusung melalui aplikasi “Keluarga Indonesia”. Aplikasi ini menawarkan informasi real-time, dari jadwal konsultasi hingga tips parenting. Langkah ini relevan di era digital, di mana Generasi Z akrab dengan teknologi.

Namun, keberhasilan program bergantung pada eksekusi. Sosialisasi harus masif. Edukasi tak boleh terasa menggurui.

Pasangan muda perlu merasa bahwa Sekolah Keluarga Berencana adalah investasi, bukan beban. Di sinilah peran komunikasi berbasis media sosial, seperti yang digaungkan Wihaji, menjadi kunci.

Kampanye yang relatable—menggunakan influencer atau cerita sukses pasangan—salah satu pola yang bisa digunakan untuk meningkatkan daya tarik.

Peluangnya besar. Indonesia menargetkan Generasi Emas 2045. Keluarga berkualitas adalah fondasinya. Sekolah Keluarga Berencana bisa menjadi katalis.

Jika 71 ribu perempuan usia 15-49 tahun memilih childfree karena alasan ekonomi atau karier (data BPS 2023), program ini menawarkan solusi.

Edukasi keuangan dan perencanaan keluarga dapat meredam ketakutan mereka. Hasilnya, keputusan childfree atau menikah tak lagi didasari ketidakpastian, tetapi pertimbangan matang.

Perbandingan Global

Lihat negara lain. Singapura memiliki “Baby Bonus Scheme”, memberikan insentif finansial dan edukasi untuk pasangan muda.

Jepang, yang menghadapi aging population, fokus pada work-life balance untuk mendorong pernikahan.

Indonesia, dengan konteks bonus demografi, membutuhkan pendekatan berbeda. Sekolah Keluarga Berencana adalah jawaban lokal yang kontekstual.

Ia tak hanya soal angka kelahiran, tetapi kualitas generasi. Ini selaras dengan visi Wihaji untuk menyelamatkan satu anak sama dengan menyelamatkan satu generasi.

Meski visioner, inisiatif ini bukan tanpa cela. Skala program menuntut anggaran besar. Koordinasi lintas sektor—Kementerian Kesehatan, pendidikan, hingga pemerintah daerah—harus mulus.

Ada risiko birokrasi menghambat implementasi. Selain itu, fokus pada pasangan pra-nikah jangan sampai mengabaikan pasangan yang sudah menikah. Mereka juga perlu pendampingan, terutama di daerah dengan angka stunting tinggi.

Menjawab Tantangan Demografi Indonesia

Kita tentu berharap, Sekolah Keluarga Berencana tak berhenti di wacana. Wihaji, dengan rekam jejaknya di Batang, punya modal kuat.

Ia pernah menarik investasi besar untuk Kawasan Industri Terpadu Batang. Kini, ia harus “menarik” kepercayaan masyarakat. Transparansi, evaluasi berkala, dan keterlibatan komunitas lokal akan menentukan keberhasilan.

Sekolah Keluarga Berencana adalah terobosan berani. Wihaji menjawab tantangan demografi dengan pendekatan preventif.

Dengan edukasi dini, pasangan pra-nikah bisa membangun keluarga yang sehat, sejahtera, dan berkualitas.

Namun, keberhasilan bergantung pada eksekusi yang presisi. Sosialisasi harus inklusif. Teknologi harus dimaksimalkan. Koordinasi lintas sektor tak boleh kendor.

Wihaji harus libatkan tokoh masyarakat dan influencer lokal untuk memperluas jangkauan. Publikasikan kisah sukses pasangan yang lolos program ini.

Buat dashboard publik untuk melacak progres, sehingga masyarakat percaya pada dampaknya.

Bagi pasangan pra-nikah, perlu didorong ikut Sekolah Keluarga Berencana. Ini bukan sekadar kursus, tetapi investasi untuk masa depan keluarga dan generasi Indonesia.[]

Baca Juga Lainnya

Analisa Data Tren Perceraian di Indonesia Tahun 2024, Bagaimana Persentasenya?

Parentnial Newsroom

DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ...

Potret Nikah Cerai di Kaltim Tahun 2024, Menelusuri Jejak Cinta dan Perpisahan

Parentnial Newsroom

TIDAK ada yang lebih menggugah hati daripada angka-angka yang membisikkan cerita di balik kehidupan manusia. Setidaknya, itulah yang mencuat saat ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Membaca Ulang Angka Perceraian di Jawa Barat 2024, Siapa Paling Rentan?

Parentnial Newsroom

PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data ...

Pelajaran dari ‘Adolescence’ Serial Netflix yang Menggugah tentang Kekerasan Remaja

Rahmat Hidayat

SERIAL drama Inggris terbaru, “Adolescence,” yang dirilis di Netflix pada 13 Maret 2025, telah menjadi fenomena global dengan lebih dari ...

Pelajaran dari Kasus Baim dan Paula, Mengapa Netizen Perlu Menghormati Batas Privasi

Muhammad Hidayat

DI masa masa seperti sekarang dimana akses informasi begitu mudahnya dan ruang digital yang serba terhubung, kehidupan pribadi figur publik ...