Menjembatani Generasi dan Proporsionalitas dalam Hubungan Menantu dan Mertua

Parentnial Newsroom

HubunganOrangtua

DALAM dinamika keluarga modern, hubungan antara menantu dan mertua sering kali menjadi sorotan bahkan jadi bahan pergunjingan.

Salah satu isu yang kerap muncul adalah kecenderungan mertua membandingkan gaya pengasuhan (parenting) menantu dengan standar mereka sendiri.

Fenomena ini tidak hanya menggambarkan perbedaan generasi, tetapi juga menyingkap tantangan dalam menjaga harmoni keluarga.

Dalam perspektif agama, mertua dihormati selayaknya orang tua, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Isra ayat 23, yang menekankan pentingnya berbuat baik kepada orang tua.

Namun, di sisi lain, mertua juga dituntut untuk bersikap bijak dalam menyikapi perbedaan dengan menantu.

Disinilah pentingnya proporsionalitas dalam hubungan menantu dan mertua, khususnya dalam konteks gaya pengasuhan, dengan tetap menempuh pola yang relevan di era kekinian.

Gaya Parenting dalam Konteks Kekinian

Perbandingan gaya pengasuhan oleh mertua sering kali berpijak pada pengalaman pribadi mereka di masa lalu.

Di era digital saat ini, menantu—khususnya generasi milenial dan Gen Z—cenderung mengadopsi pendekatan parenting yang dipengaruhi oleh informasi dari internet, buku-buku modern, atau saran ahli psikologi anak.

Misalnya, banyak orang tua muda kini menerapkan pendekatan gentle parenting, yang menekankan komunikasi emosional dan penghindaran hukuman fisik.

Sebaliknya, mertua dari generasi sebelumnya mungkin lebih terbiasa dengan pola pengasuhan otoritatif, yang menekankan disiplin ketat dan ketaatan.

Perbedaan ini yang sering memicu ketegangan. Seorang menantu mungkin merasa dihakimi ketika mertua mengkritik caranya mendidik anak, seperti, “Zaman dulu, anak saya tidak manja karena kami tegas.”

Di sisi lain, mertua mungkin merasa menantu terlalu permisif, yang bagi mereka bertentangan dengan nilai-nilai tradisional.

Menurut psikolog keluarga, Dr. John Gottman, komunikasi yang tidak sehat dalam hubungan keluarga dapat memicu konflik berkepanjangan jika tidak dikelola dengan empati dan keterbukaan.

Dalam konteks kita di Indonesia, nilai-nilai Islam memainkan peran penting dalam membentuk dinamika ini.

Ajaran Islam menempatkan mertua sebagai figur yang harus dihormati, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang berbuat baik kepada orang tua, maka anaknya akan berbuat baik kepadanya” (HR. Bukhari).

Namun, Islam juga menekankan pentingnya keadilan dan kebijaksanaan. Mertua yang membandingkan gaya parenting tanpa memahami konteks zaman dapat memicu perasaan tidak dihargai pada menantu, yang pada akhirnya merusak keharmonisan keluarga.

Faktor eksternal, seperti media sosial, juga memperumit dinamika ini. Postingan di platform seperti Instagram atau X sering kali memamerkan “keberhasilan” parenting modern, yang kadang-kadang membuat mertua merasa gaya pengasuhan mereka ketinggalan zaman.

Sebaliknya, menantu yang terlalu bergantung pada tren digital mungkin mengabaikan kearifan lokal atau nilai-nilai keluarga yang telah terbukti relevan.

Oleh karena itu, proporsionalitas—keseimbangan antara menghormati tradisi dan mengadopsi pendekatan baru—menjadi kunci.

Menjaga Proporsionalitas Peran Menantu dan Mertua

Untuk menciptakan hubungan yang harmonis, baik menantu maupun mertua perlu mengedepankan komunikasi yang terbuka dan saling menghormati.

Setidaknya ada beberapa langkah praktis yang dapat diterapkan. Pertama, membangun komunikasi yang empatik dimana menantu dapat memulai dialog dengan mertua dengan nada yang santai namun penuh hormat.

Misalnya, menantu mengatakan “Ibu, saya sangat menghargai cara Ibu mendidik anak-anak dulu. Untuk anak saya, saya mencoba pendekatan ini karena merasa cocok dengan karakternya.”

Dengan pola komunikasi semacam ini, menantu berupaya dengan baik memberi penghargaan terhadap pengalaman mertua sekaligus menjelaskan alasan di balik pilihan parenting menantu.

Kedua, mari menjadi mertua yang bijak. Mertua perlu menyadari bahwa setiap generasi memiliki tantangan dan konteksnya sendiri.

Alih-alih membandingkan, mertua dapat berperan sebagai pendukung dengan memberikan saran tanpa nada menghakimi.

Misalnya, mertua dapat memberi saran. “Ibu perhatikan anakmu senang sekali bermain di luar. Mungkin bisa dicoba ajak ke taman seperti yang dulu Ibu lakukan dengan ayahnya.” Pendekatan ini membangun jembatan tanpa merendahkan.

Ketiga, perlunya untuk selalu menemukan titik tengah. Menantu dan mertua dapat mencari nilai-nilai universal yang disepakati bersama, seperti pentingnya menanamkan akhlak mulia pada anak, yang selaras dengan ajaran agama.

Diskusi tentang bagaimana mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, kesabaran, atau ketakwaan dapat menjadi titik temu yang memperkuat hubungan.

Tantangannya Berat Tapi Selalu Ada Peluang

Di era digital, informasi tentang parenting mudah diakses, tetapi sering kali seperti air bah dan bombastis yang akhirnya membingungkan.

Menantu perlu bijak memilah saran yang sesuai dengan nilai keluarga dan agama. Sementara itu, mertua dapat memanfaatkan teknologi untuk memahami tren parenting modern, misalnya dengan membaca artikel atau menonton webinar tentang perkembangan anak.

Dengan demikian, kedua belah pihak dapat saling belajar dan menghargai perspektif masing-masing.

Selain itu, penting untuk mengenali bahwa konflik kecil dalam hubungan menantu-mertua adalah hal yang wajar. Yang terpenting adalah bagaimana kedua belah pihak mengelola perbedaan dengan penuh kasih sayang, sebagaimana diajarkan dalam agama melalui konsep rahmatan lil ‘alamin—menjadi rahmat bagi sesama.

Harmoni dalam Keberagaman

Hubungan antara menantu dan mertua adalah cerminan dari keseimbangan antara tradisi dan modernitas.

Dalam agama, menghormati mertua adalah bagian dari akhlak mulia, tetapi mertua juga dituntut untuk bersikap bijak dan terbuka terhadap perubahan zaman.

Perbandingan gaya parenting, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi sumber konflik yang bahkan bisa berkepanjangan.

Namun, dengan komunikasi yang empatik, saling menghormati, dan komitmen untuk menemukan titik tengah, hubungan ini dapat menjadi sumber kekuatan keluarga.

Proporsionalitas adalah kunci. Menantu perlu menghormati pengalaman mertua tanpa kehilangan identitasnya sebagai orang tua, sementara mertua perlu mendukung tanpa memaksakan pandangan.

Dengan pola interaksi semacam ini, keluarga tidak hanya harmonis, tetapi juga menjadi teladan bagi generasi berikutnya dalam menjalani kehidupan yang penuh kasih dan kebijaksanaan.[]

Baca Juga Lainnya

Analisa Data Tren Perceraian di Indonesia Tahun 2024, Bagaimana Persentasenya?

Parentnial Newsroom

DALAM suasana gegap gempita pertumbuhan bangsa, data nikah dan cerai tahun 2024 memperlihatkan sebuah potret lain dari Indonesia yakni tentang ...

Nama Bayi Kembar Perempuan

50 Pasang Nama Bayi Kembar Perempuan Dan Artinya

Parentnial Newsroom

Di tengah euforia belanja perlengkapan bayi dan mempersiapkan kamar mungil mereka, ada satu hal penting yang nggak boleh terlewat: memilih ...

50 Nama Bayi Laki-Laki Modern 3 Kata Paduan Bugis, Barat, dan Arab

Parentnial Newsroom

MEMILIH nama untuk buah hati adalah salah satu momen paling menyenangkan sekaligus sakral bagi orang tua. Nama bukan sekadar identitas, ...

50 Nama Bayi Perempuan Unik 3 Kata Kombinasi Bugis, Eropa, dan Arab Penuh Makna

Parentnial Newsroom

MEMILIH nama untuk sang buah hati adalah momen istimewa yang penuh makna. Nama tidak hanya menjadi identitas, tetapi juga doa ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Membaca Ulang Angka Perceraian di Jawa Barat 2024, Siapa Paling Rentan?

Parentnial Newsroom

PERCERAIAN adalah cerita tentang hubungan yang retak dan masyarakat yang terus berubah. Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, data ...