
MENGURUS bayi. Pekerjaan yang terdengar sederhana. Bangun tengah malam. Ganti popok. Susui. Ulangi. Tapi di balik rutinitas yang tampak monoton itu, ada transformasi mendalam.
Ada pelajaran hidup. Ada makna yang sulit diungkapkan. Seperti yang ditulis seorang ibu muda, Rebecca Varcoe, di The Guardian, Kamis (8/5/2025), bahwa menjadi orang tua adalah pengalaman yang “paling transformatif sekaligus paling biasa”.
Bayi mengubah hidup. Ritme harian berubah. Tidur jadi barang langka. Waktu untuk diri sendiri? Hampir hilang.
Baca Juga
Data dari Gender Equity Policy Institute (GEPI) menunjukkan, ibu menghabiskan waktu dua kali lebih banyak daripada laki-laki untuk mengurus anak. Angka ini belum termasuk pekerjaan rumah tangga.
Fisik lelah. Mental teruji. Tapi, di sela-sela keletihan, ada momen ajaib. Senyum pertama bayi. Tawa kecil yang tiba-tiba. Sentuhan tangan mungil yang mencengkeram jari. Momen-momen ini, meski singkat, memberi energi tak terduga.
Mengasuh bayi bukan sekadar tugas fisik. Ini adalah perjalanan emosional. Psikolog perkembangan yang juga pendiri Sweet Pea Childbirth Preparation, Dr. Lisa Holloway, menyebutkan bahwa interaksi awal antara orang tua dan bayi membentuk dasar kepercayaan anak pada dunia.
Setiap pelukan, setiap nyanyian, setiap tatapan mata adalah investasi jangka panjang. Otak bayi, menurut studi yang diterbutkan Unicef, berkembang pesat di 1.000 hari pertama. Respons orang tua—terutama ibu—membentuk koneksi saraf yang krusial. Jadi, meski terasa biasa, setiap tindakan kecil punya dampak besar.
Tapi, mari jujur. Mengasuh bayi tidak selalu romantis. Ada hari-hari ketika lelah menguasai. Ada momen ketika ibu merasa kehilangan identitas.
Rebecca Varcoe menyinggung hal ini: menjadi orang tua adalah “kontradiksi”. Anda merasa berarti, tapi juga merasa kecil. Anda mencintai anak Anda, tapi kadang rindu kebebasan lama. Ini normal.
Studi Institut Max Plack untuk Penelitian Demografik di Rosctock menemukan bahwa ibu baru mengalami penurunan kepuasan hidup di tahun pertama menjadi orang tua. Angka ini bukan untuk menakuti, tapi untuk mengingatkan: Anda tidak sendiri.
Mengasah Empati dan Membentuk Ketahanan
Di sinilah nilai agama memberi perspektif baru. Dalam Islam, mengurus anak—terutama bayi—bukan sekadar kewajiban, tapi ibadah. Rasulullah SAW bersabda, “Apa pun yang engkau nafkahkan, maka ia merupakan sedekah bagimu” (HR. Bukhari Muslim).
Setiap tetes susu, setiap jam tanpa tidur, setiap pengorbanan kecil adalah amal yang dicatat. Al-Qur’an, dalam Surah Al-Baqarah ayat 233, menekankan pentingnya ibu menyusui anaknya dengan penuh kasih.
Ini bukan hanya soal nutrisi, tapi juga ikatan spiritual. Dalam tradisi Islam, ibu yang merawat anaknya dengan sabar dijanjikan pahala besar. Bahkan, keletihan itu sendiri adalah bagian dari ujian yang mendekatkan pada Tuhan.
Keutamaan ini bukan sekadar janji akhirat. Ada hikmah duniawi. Mengasuh bayi mengajarkan kesabaran. Mengasah empati. Membentuk ketahanan.
Seorang ibu yang setiap hari bangun untuk anaknya sedang melatih dirinya menjadi versi terbaik dari dirinya. Ini adalah pelajaran yang tidak diajarkan di buku mana pun.
Rutinitas mengasuh bayi yang tampak biasa justru menyimpan keajaiban transformasi diri.
Namun, mengasuh bayi juga menuntut dukungan. Tidak ada ibu yang bisa melakukannya sendirian.
Penelitian telah menunjukkan bahwa dukungan sosial—dari pasangan, keluarga, atau komunitas—mengurangi risiko depresi pasca-melahirkan hingga 40 persen.
Suami punya peran besar. Dalam Islam, ayah tidak hanya penanggung nafkah, tapi juga pendamping. Rasulullah SAW sering membantu pekerjaan rumah dan bermain dengan anak-anaknya.
Teladan ini relevan hingga kini. Seorang suami yang berbagi tugas—mengganti popok, menidurkan bayi, atau sekadar mendengar keluh kesah istri—sedang membangun keluarga yang harmonis.
Lalu, bagaimana menjalani rutinitas yang melelahkan ini tanpa kehilangan diri? Pertama, terima bahwa lelah adalah bagian dari proses. Jangan mengejar kesempurnaan.
Kedua, cari waktu untuk diri sendiri, meski hanya 10 menit sehari. Me time, baca buku, atau sekadar minum teh dalam diam.
Ketiga, bangun jaringan dukungan. Bergabunglah dengan komunitas ibu, baik offline maupun online. Berbagi cerita bisa jadi terapi.
Terakhir, pegang erat makna dari pengorbanan Anda. Dalam Islam, setiap langkah Anda untuk anak adalah ibadah. Dalam sains, setiap usaha Anda membentuk masa depan anak.
Keduanya, spiritualitas dan sains, telah memvalidasi dengan tegas, bahwa Anda sedang melakukan sesuatu yang luar biasa.
Bagi pasangan, libatkan diri aktif dalam pengasuhan. Dan selalu ingat: di balik lelah, ada pahala dan pelajaran yang tak ternilai.[]