
HUBUNGAN asmara sejatinya lahir dari rasa suka. Tapi di Majalengka, rasa itu berubah jadi duka. Seorang mahasiswi, masih muda, memukul pacarnya sendiri hingga meninggal.
Tragis. Cinta yang mestinya jadi ruang nyaman, justru berakhir di ruang jenazah.
Menurut berita yang kami kutip dari siaran berita tvOne, cekcok kecil jadi pemicu. Pukulannya bukan dengan senjata. Hanya tangan kosong. Tapi dampaknya fatal.
Baca Juga
Sang pacar ambruk, nyawa melayang. Ini bukan sekadar kasus kriminal biasa. Ini cermin gelap relasi anak muda kita hari ini.
Mengapa Kekerasan Bisa Muncul dalam Pacaran?
Pertanyaan ini harus terus kita ulang. Dalam logika ringan, kalau cinta, mestinya saling menjaga.
Tapi, seperti banyak penelitian, pacaran di kalangan muda rentan jadi arena dominasi. Emosi mentah. Ego tak terkendali. Plus minimnya edukasi soal manajemen konflik.
Lihat data dari Komnas Perempuan. Tahun lalu, kekerasan dalam pacaran (dating violence) angkanya naik signifikan.
Banyak yang berpikir kekerasan hanya soal pria kepada wanita. Tapi kasus di Majalengka ini membalik asumsi itu. Mahasiswi sebagai pelaku, pacar sebagai korban.
Fakta ini mengguncang logika gender mainstream, tapi sekaligus mengingatkan bahwa kekerasan tak pandang jenis kelamin. Ia soal kuasa dan amarah.
Bandingkan dengan kasus lain di kota-kota besar. Di Jakarta, Bandung, atau Surabaya, pola yang sama berulang.
Awalnya cemburu, lalu bentak-bentak, naik level jadi tamparan, dan berujung tragis.
Bedanya, kali ini sampai hilang nyawa. Tapi akarnya serupa: relasi tak sehat yang dibiarkan tumbuh.
Apa Pelajaran Besar dari Tragedi Majalengka ini?
Pertama, pentingnya pendidikan emosi sejak dini. Di kampus, di sekolah, bahkan di rumah.
Anak muda kita perlu diajari bahwa marah itu wajar, tapi mengelola marah itu lebih mulia. Bukan ditahan, tapi disalurkan.
Sayangnya, ruang edukasi ini masih minim. Kita sibuk mengejar ranking akademik, lupa mendidik karakter.
Kedua, perlunya literasi hukum dalam hubungan.
Banyak remaja dan mahasiswa tak paham bahwa kekerasan fisik — sekecil apa pun — punya konsekuensi hukum berat.
Sekali pukul, bisa jadi perkara pidana. Dan yang lebih mengerikan: bisa merenggut masa depan.
Ketiga, pentingnya membangun budaya komunikasi sehat dalam hubungan antar sesama manusia. Cekcok itu biasa. Tapi ketika komunikasi gagal, emosi meledak.
Di titik itu, tragedi menunggu. Kasus ini mengajarkan bahwa satu pukulan bisa memutus rantai hidup manusia.
Dan, pukulan itu lahir bukan dari otot, tapi dari logika yang hilang sesaat.
Dari sudut sosiologis, kasus ini juga menampar kita. Ia membuka luka lama: soal bagaimana masyarakat masih permisif terhadap kekerasan kecil.
Banyak yang bilang, “Ah, cuma tamparan ringan.” Tapi justru dari yang ringan itulah tragedi besar tumbuh.
Kita perlu ubah pola pikir ini. Kekerasan sekecil apa pun harus jadi alarm, bukan dianggap angin lalu.
Sinyal Penting untuk Berhati hati
Kasus pukulan maut di Majalengka ini bukan sekadar berita kriminal. Ia sinyal keras bagi kita semua.
Bahwa, relasi asrama di kalangan muda butuh pengawasan, edukasi, dan bimbingan. Bahkan, dalam perspektif agama, pacaran dipandang tidak sehat bahkan terlarang.
Kalau tak diubah, tragedi semacam ini akan terus berulang.
Maka, kampus, sekolah, dan keluarga harus mulai serius mengintegrasikan pendidikan emosi dan anti-kekerasan dalam keseharian.
Jangan tunggu ada korban berikutnya baru bergerak. Karena dalam cinta, tak boleh ada ruang bagi kekerasan. Apalagi sampai merebut nyawa.[]