
SALAH satu pengaruh media sosial dan sirkel pergaulan adalah ‘kegilaan’ untuk mendapatkan perhatian dan validasi.
Sehingga, tak jarang seseorang tanpa berpikir panjang menyanggupi tantangan tertentu yang memiliki risiko tidak sederhana.
Tantangan fisik ekstrem seperti 2000 kali squat dalam sehari bukan lagi hal langka. Tapi, siapa sangka, tantangan ini bisa berujung tragedi medis.
Baca Juga
Seorang pria muda di Primorsky Krai, Rusia, setelah memenuhi tantangan squat massal itu, justru harus menerima kenyataan pahit: kehilangan 50% fungsi ginjalnya.
Kasus ini menjadi cermin besar, memperlihatkan sisi gelap dari tren workout tanpa kendali.
Fenomena overtraining seperti ini sejatinya bukan baru. Dalam dunia medis, kondisi yang dialami pria tersebut dikenal sebagai rhabdomyolysis.
Ini adalah kondisi ketika otot-otot yang rusak melepaskan protein mioglobin dalam jumlah besar ke aliran darah.
Masalahnya, ginjal manusia bukan filter tanpa batas. Saat beban protein ini terlalu berat, ginjal kolaps. Hasilnya? Kerusakan permanen, bahkan gagal ginjal.
Otot memang bisa tumbuh lewat tekanan. Tapi organ dalam seperti ginjal, hati, atau jantung punya ambang batas alami yang tak bisa dipaksa.
Memaksa tubuh lewat 2000 squat mendadak, tanpa persiapan dan pemulihan memadai, sama saja dengan membakar mesin tanpa pelumas.
Data medis menguatkan hal ini. Menurut Guru Besar Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. H. Adang Suherman, MA., aktivitas fisik ideal harus mempertimbangkan prinsip “progressive overload” — naik bertahap, bukan langsung melompat ekstrem.
Bahkan atlet profesional pun meningkatkan beban latihan secara perlahan, bukan lewat tantangan dadakan.
Namun, budaya tantangan online berbicara lain. Taruhan, konten viral, dan obsesi akan hasil instan menciptakan tekanan sosial baru.
Banyak anak muda merasa harus membuktikan diri, meski tubuh mereka belum tentu siap. Kasus 2000 squat ini hanyalah puncak gunung es.
Jika ditilik lebih dalam, insiden ini menyimpan pelajaran penting bagi ekosistem fitness di Indonesia.
Industri kebugaran yang kini tumbuh pesat, dari gym hingga pelatih online, seharusnya lebih gencar mengedukasi soal batas aman latihan.
Sayangnya, narasi yang laku di pasaran justru yang ekstrem: “No pain, no gain”, “Push beyond limits”. Padahal, tubuh manusia bukan mesin.
Bandingkan dengan budaya olahraga Jepang yang mengutamakan “kaizen” — perbaikan kecil terus-menerus.
Alih-alih memaksa 2000 squat sehari, mereka lebih memilih 20 squat sehari yang konsisten selama 100 hari. Logika ini lebih ramah untuk ginjal, jantung, bahkan mental.
Menariknya, seperi dikutip dari News 18, dokter yang menangani kasus ini mengingatkan bahwa gejala rhabdomyolysis seringkali samar di awal: nyeri otot luar biasa, warna urine seperti teh gelap, dan rasa lelah yang tak wajar. Tapi saat tanda itu muncul, sering kali ginjal sudah dalam bahaya.
Jadi, apa yang bisa kita simpulkan? Kasus ini bukan sekadar soal squat atau taruhan.
Ini adalah cermin tentang kegagalan kita membaca sinyal tubuh. Bahwa ada perbedaan besar antara disiplin olahraga yang sehat, dan obsesi workout yang merusak.
Jika Anda ingin berolahraga, mulailah dari kemampuan tubuh Anda hari ini, bukan dari target viral esok hari.
Dengarkan tubuh, bukan tekanan sosial. Dan jika tubuh mengirim sinyal aneh — nyeri berlebihan, urine gelap, lemas akut — jangan abaikan.
Itu bukan tanda bahwa Anda lemah, tapi tanda bahwa organ Anda sedang berteriak minta tolong.
Karena pada akhirnya, membangun tubuh kuat bukan soal menang taruhan. Tapi soal merawat mesin kehidupan yang bekerja tanpa henti: organ-organ vital kita.[]