Iklan

Heroisme Membangun Bangsa dan Keluarga Indonesia

Admin
Sabtu, November 09, 2013 | 05:22 WIB Last Updated 2017-03-17T02:10:52Z
BULAN November adalah bulan bersejarah bagi umat dan bangsa Indonesia.

Pasalnya, pada 10 November 1945 Surabaya berhasil memukul mundur pasukan sekutu yang brutal dan lengkap persenjataannya dengan dorongan semangat dari kalimat takbir, "Allahu Akbar" yang dilantangkan oleh Bung Tomo.

Seluruh komponen masyarakat mampu bersatu padu dengan kekuatan apa adanya, yang secara rasio, tentu tidak mungkin rasanya bangsa Indonesia bisa mempertahankan kemerdekaannya.

Tetapi inilah fakta, bahwa tatkala manusia sudah memiliki jiwa heroisme dalam mencapai suatu tujuan, maka dalam kondisi apa pun, akhirnya pasti satu, yakni kemenangan. Mereka tak lagi berpikir saya dapat apa, tetapi mereka berpikir saya berperan apa dan siap mengorbankan apa.

Jiwa heroisme inilah yang sejatinya menjadi inti dari setiap diperingatinya Hari Pahlawan pada 10 November di setiap tahunnya.

Tetapi, peringatan tinggal peringatan, dalam praktik keseharian, orang sudah tak banyak lagi yang berpikir tentang heroisme. Umumnya mereka berpikir dan bergerak demi kemewahan dan kemegahan kehidupan dirinya sendiri.

Sekiranya kemewahan dan kemegahan itu diraih secara haq, tentu bukan suatu masalah. Tetapi, kemewahan dan kemegahan itu didapatkan dengan secara sadar mengubur iman. Padahal, akibat dari mengejar kemewahan itu tiada lain adalah kebinasaan.

Hal tersebut pernah disampaikan oleh Ibn Khaldun. Bapak Sosiologi dunia itu pernah bertutur, "Kian besarnya perhatian memegahkan bangunan, ia tanda makin rapuhnya apa yang ada di kepala dan dada".

Dalam bahasa yang lain, semakin seseorang mengejar kemewahan dan kemegahan, semakin tidak mungkin ia menjadi seorang pahlawan.

Dalam cakupan yang lebih luas, semakin negara membiarkan kemegahan dan kemewahan dengan kecurangan sebagai gaya hidup maka semakin dekatlah masa keruntuhan dan kehancurannya.

Urgensitas Heroisme

Dalam situasi bangsa yang dilanda dekadensi moral yang luar biasa ini, maka negara tidak boleh mengabaikan aspek pentingnya membangun kembali heroisme dalam berbangsa dan bernegara.

Dan, ini tidak mungkin dilakukan dan diwujudkan, melainkan para pemimpin tertingi negeri ini memberikan keteladanan tentang kepahlawanan itu sendiri.

Situasi buruk ini harus bisa dilihat dari sisi positif dan kemungkinan positif yang jika benar-benar diaplikasikan  sungguh akan memancarkan energi positif yang sangat besar.

Seperti telah terekam sejarah, Nabi Muhammad menjadi tokoh paling berpengaruh di seluruh dunia di sepanjang masa, justru hadir di era kejahiliyahan yang sangat akut.

Kemudian, Soekarno bisa menjadi Presiden RI I justru lahir dan ditempa dalam situasi dan kondisi negara terjajah selama 350 tahun oleh Belanda. Artinya, kepahlawanan itu akan muncul dalam situasi tekanan yang sangat berat dan menyengsarakan.

Dengan demikian maka situasi negeri yang buruk ini harus direspon dengan bersegera, bersama-sama, secara sinergis kembali membangun heroisme dalam diri.

Di sini, tugas kepala negara beserta seluruh menteri dan pemimpin tingi negara menjadi mutlak. Sebab, manakala heroisme ini tidak muncul di permukaan dan menjadi orientasi kepemerintahan selanjutnya, maka bukan tidak mungkin negeri ini akan semakin terpuruk dan akhirnya hilang dari peredaran sejarah.

Momentum Hari Pahlawan adalah salah satu momentum tepat dan efektif untuk mendeklarasikan urgensitas membangun kembali jiwa heroisme bangsa Indonesia. Tentu harus diikuti dengan langkah-langkah pasti dan kegiatan-kegiatan yang terarah dan menentukan masa depan.

Sebab, apalah guna upacara bendera memperingati hari pahlawan, jika mental kepahlawanan itu tidak mewujud dalam sistim kesadaran kita sendiri.

Jihad Nafsu
Satu penyebab runtuhnya nilai-nilai luhur perjuangan pada suatu bangsa dan negara ada pada ketidakmampuan setiap jiwa mengendalikan hawa nafsunya sendiri.

Ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu ini tidak saja akan berdampak pada rusaknya karakter dan kepribadian, lebih jauh, sangat mungkin menghancurkan kehidupan bangsa dan negara.

Inilah nampaknya yang harus diterapkan oleh pemerintah untuk menanggulangi kasus demi kasus yang mencoreng dan menghancurkan wibawa negara.

Sungguh, pendekatan dengan berbasis rasio, apa pun bentuk dan metodenya, benar-benar tidak akan mampu memperbaiki keadaan, jika hawa nafsu masih dominan dalam cara berpikir pribadi maupun sosial penduduk di negeri ini.

Momentum Hari Pahlawan di tahun ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kembali mengajak seluruh elemen bangsa dan negara merenung dan bertindak atas dasar iman, ketakwaan dan keikhlasan.

Tidakkah kita malu kepada para pahlawan yang telah merelakan harta dan jiwa mereka untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan?!.

Sungguh, cukuplah kita dicatat sebagai generasi durhaka, bila kemerdekaan saat ini tidak menyadarkan kita untuk mewariskan nilai, meneruskan semangat heroisme dan kehidupan yang lebih baik lagi bagi generasi bangsa di masa depan. Sebagaimana para pahlawan terdahulu telah membuktikannya.

Heroisme Konsep Jihad
Heroisme seperti apa? Ini sudah pasti akan menjadi pertanyaan yang mengemuka. Sebab, heroisme tidak memiliki model dan definisi yang mutlak.

Di sinilah perlunya kita memahami konsep Jihad di dalam Islam. Karena Jihad secara historis tidak saja mampu menjadikan masyarakat bodoh menjadi tercerahkan, tetapi ia juga mampu menjadikan yang mustahil nyata dalam kehidupan.

Sebut saja misalnya, kekuatan 300 pasukan Islam melawan 1000 pasukan kafir, kemenangan justru berada di pihak tentara Islam. Jika perang itu dilakukan dengan tanpa niat Jihad, mustahil kemenangan itu akan diraih dan menjadi kebanggaan hingga akhir zaman.

Kemudian, di masa Khalifah Utsmani, tepatnya pada masa Muhammad Sulthan Al-Fatih, tepatnya ketika tiba masa menaklukkan Kota Konstantinopel. Bukan saja kuda dan manusia yang berhasil mendaki gunung, tetapi kapal perang pun sanggup mendaki gunung dengan kecepatan tinggi dan mengejutkan semua mata baik mereka yang hidup di zaman itu, termasuk kita di era kekinian.

Artinya, dengan konsep jihad, heroisme bangsa ke depan sudah sangat jelas bagi siapa pun. Dengan demikian, negara hendaknya tidak perlu sungkan apalagi malu untuk menggunakan istilah Jihad dalam membangun negeri ini. Karena secara historis, kekuatan Jihad sungguh tak bisa dibantah lagi.

David Levering Lewis dalam bukunya The Greatness of Al-Andalus mengatakan bahwa sumber kekuatan yang tak mungkin terkalahkan oleh siapa pun dari umat Islam ada pada konsep dan praktik Jihad mereka. Ia menulis seperti ini:

"Pejuang demi pejuang, barisan demi barisan, bersama kaum wanita dan anak-anaknya, maju terus dan terus maju, seperti kawanan lebah dari sarang, atau rombongan belalang yang menghitamkan tanah."

Mengapa Jihad menjadi sedemikian dahsyat? Semua itu tidak lain karena Jihad merupakan perwujudan iman yang paling utama. Oleh karena itu, seluruh umat Islam terpanggil dan berlomba-lomba dalam mewujudkannya.

NKRI adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Jika saja, pemerintah berani menyerukan Jihad dan menjadi role model bagi  umat Islam demi kemenangan dan kejayaan bangsa ini, tentu seluruh ulama dan umat Islam tidak akan menolak seruan mulia ini.

Sebab, hanya dengan Jihad saja jiwa seorang Muslim akan meraih kemuliaan dan kehormatan, baik diri, keluarga bahkan bangsa dan negara.

______
IMAM NAWAWI,
. Ikuti juga cuitan-cuitan beliau di @abuilmia
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Heroisme Membangun Bangsa dan Keluarga Indonesia

Trending Now

Iklan