Iklan

Sejarah Bangsa Pemangsa dan Getir Derita Rohingnya

Admin
Selasa, Mei 26, 2015 | 09:27 WIB Last Updated 2017-03-17T02:09:38Z
KATA pertama yang tidak bisa saya lupa ketika bicara soal peradaban adalah soal mental, yakni superior dan inferior.

Superior adalah mental pemberani, yakin dengan gagasan yang dimiliki, penuh aksi. Sedangkan inferior adalah mental penakut, ikut saja mana yang banyak digemari dan tidak memiliki keyakinan diri terhadap ide yang dimiliki.

Barat, dalam pandangan awam dunia dinilai sebagai peradaban yang superior. Dan, untuk saat ini memang benar. Mereka superior, terutama dalam hal teknologi, media massa dan gagasan.

Sedangkan negara berkembang, seperti Indonesia, adalah inferior. Mungkin sebagian tidak setuju, tapi lihat saja cara orang Indonesia melihat sesuatu sebagai wah. Kalau seseorang memiliki koleksi barang impor, kesannya hebat. Apalagi impornya dari Eropa dan Amerika.

Fenomena inferior juga muncul dalam konteks yang lebih sederhana. Misalnya, seorang gadis membawa bungkusan nasi warteg dengan yang membawa bungkusan nasi dan ayam goreng, sebut saja KFC, itu mental dan cara membawanya juga berbeda.

Intinya, sebagian besar dari bangsa ini masih melihat luar negeri itu sebagai yang hebat, unggul dan apapun gagasan-gagasannya, layak dipertimbangkan. Sedangkan yang dari dalam negeri, yah asal-asalan. Belum terbukti, dan seterusnya.

Semua tentu tidak muncul serta-merta. Itu adalah dampak dari apa yang tiap peringatan 17 Agustus disebut sebagai penjajahan. Akhirnya, dengan kata ‘penjajahan’ kita memaklumi bangsa ini belum bisa maju. Meski secara sumber daya sangat melimpah.

Penjajahan. Ya, itulah biang kerok kemunduran bangsa Indonesia, bahkan sampai saat ini. Memang biadab itu para penjajah. Bahkan dalam uraian Buya Hamka, penjajahan-lah yang merenggut kecanggihan berpikir bangsa kita.

“Tetapi sayang, kelanjutan kemajuan pikiran bangsa Indonesia berhenti, lantaran patahnya kekuasaan politik, Empun Kanwa tidak bersambung lagi, Tun Sri Lanang tidak berganti. Bangsa-bangsa yang menjajah, meskipun giat menyelidiki kebudayaan dan filsafat negeri yang dijajahnya, hanya untuk kepentingan mereka, bukan untuk kepentingan kita,” (Falsafah Hidup, halaman xxxvii).

Dengan kata lain, para penjajah itu tidak saja merampas kekayaan alam atau hasil alam kita, tetapi juga mencuri khazanah pemikiran bangsa ini.

Superior

Dari fakta ini, saya berpendapat bahwa satu cara untuk membangun superioritas adalah dengan melihat penjajahan itu sebagai kehebatan bangsa yang dijajah. Jadi, selama 3,5 abad Belanda di tanah air kita, mereka itu minta makan dan caranya sangat jahat bin biadab.

Bahkan, kalau kita mau deteksi keputusan Belanda menerapkan politik tanam paksa, kita bisa mengakui bahwa tanpa Indonesia Belanda akan kelaparan, bahkan mungkin sudah punah.

Dan, atas dasar itulah, meski Indonesia sudah menyatakan merdeka, Belanda tetap datang memaksa untuk menjadikan negeri ini sebagai jajahannya. Mengapa? Ya, Indonesia adalah periuk nasi bagi para bangsa pemangsa.

Dari fakta ini saya ingin mengatakan bahwa, Indonesia, memberi makan Belanda 3,5 abad yang juga dibagi-bagikan kepada negara-negara Eropa lainnya saja Allah berikan kemampuan. Apalagi kalau cuman menolong Muslim Rohingya yang tak seberapa. Apalagi sekarang, kita semua sadar bahwa Rohingya adalah saudara kita sendiiri, baik dari sisi kemanusiaan lebih-lebih sisi keimanan.

Datangnya Rohingya dan Bangladesh hendaknya tidak dipandang secara picik dan sempit sebatas masalah ekonomi belaka. Mari gunakan cara pandang luas dimana ini adalah isyarat bahwa bangsa Indonesia harus segera berbenah.

Logikanya sederhana, mengapa Tuhan kirim Rohingya ke Indonesia? Kok gak ke PBB, Amerika dan Eropa. Jelas, karena PBB tak punya kekuatan otentik, Amerika dan Eropa adalah bangsa yang hidup dengan ‘meminta makan’ dari negara-negara berkembang. Baik sepanjang sejarah imperialisme sampai saat ini di era kapitalisme-liberalisme.

Dengan demikian bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab, mengerti secara sejati apa itu kemanusiaan dan bisa benar-benar diharapkan untuk memberikan bantuan.

Jika saja, Indonesia segera mampu membangkitkan superioritas dalam dirinya, bukan tidak mungkin, Indonesia akan menjadi raksasa baru dunia yang bukan mengeksploitasi tetapi mengayomi.

Kita Bangsa Penolong
Kasus Rohingya dan Banglades jangan dipandang secara inferior, bagaimana biaya dan sebagainya. Belanda saja bisa kita ‘kasih makan’ 3,5 abad lamanya. Dan, Indonesia tetap bisa survive sampai sekarang. Masak iya, hanya ratusan Rohingya bangsa kita akan kekurangan makan? Mustahil!

Dari sini pemerintah mestinya berbangga, bisa menjadi negara yang nyata berbuat bagi kemanusiaan. Hebatnya, kita juga pernah ‘memberi makan’ Belanda 3,5 abad, Jepang 3 tahun dan bahkan Amerika hingga saat ini, melalui Freeport dan lain sebagainya. Indonesia bisa percaya diri bicara kemanusiaan di pentas dunia.

Namun demikian, ini tidak cukup. Kita harus mencambuk diri untuk segera mandiri secara ekonomi, menjauhi karakter kerdil dengan suka berkonflik dan bertikai dengan sesama bangsa sendiir. Kemudian tiap hari mau saja dikibuli mereka yang tidak peduli masa depan negeri.

Kalau kita benar-benar mau mencambuk diri, banyak intropeksi dan sinergis dalam kemajuan bangsa, saya pikir tidak ada alasan mereka yang mencuri makanan dari bumi pertiwi untuk tidak angkat kaki.

Dan, pada saat dimana matahari baru bersinar kala itu, dunia sudah menanti kiprah Indonesia sebagai bangsa yang mampu menyelamatkan dunia. Ilusikah ini? Saya yakin haqqul yakin, ini adalah fakta masa depan. Semoga. Wallahu a’lam.

______
IMAM NAWAWI,
penulis adalah social worker. Ikuti juga cuitan-cuitan beliau di @abuilmia
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sejarah Bangsa Pemangsa dan Getir Derita Rohingnya

Trending Now

Iklan