Iklan

Keluarga Benteng Akidah Terkuat Bagi Anak

Admin
Sabtu, Februari 20, 2016 | 10:35 WIB Last Updated 2017-02-24T03:51:24Z
“ADUH, makin hari Si Dara makin ganteng aja sih, Bun?” seloroh seorang ibu.

“Iya tuh, gayanya sudah tomboy dari kecil, ya?” sambung ibu yang lain.

“Suka manjat-manjat pohon, katanya ribet kalau pakai rok. Eh, makin ke sini roknya sudah nggak muat. Jadi deh yang dipakai celana aja terus,” ucap sang Ibu tampak membela.

“Jangan dibiasain atuh. Nggak baik. Namanya anak cewek mah, sesuai kodratnya aja. Pakai rok, pakai jilbab,”

Ibu sang anak manggut-manggut, namun tetap pada pendiriannya.

“Biarin sajalah. Baru 9 tahun juga. Ntar kalau udah gede juga tau sendiri,”

Barangkali kasus seperti di atas mudah dijumpai di lingkungan sekitar. Anak perempuan dibiarkan berpakaian dan bertingkah laku seperti laki-laki atau anak laki-laki tak maShalah meniru gaya perempuan.

Mirisnya, hal semacam tersebut terkadang dijadikan bahan candaan atau lelucon bagi orang dewasa.

Namun tanpa sadar, demikian itu sekaligus menjadi lampu hijau bagi anak bebas dan merasa tak maShalah terus bertingkah seperti itu.

Hendaknya orang tua menyadari, perkembangan di usia anak-anak adalah lahan subur untuk menanamkan ideologi dan pertumbuhan psikologi serta organ fisik lainnya.

Sejak dini orang tua harus mendeteksi benih-benih yang tidak sehat akibat dari paparan pergaulan dan lingkungan sekitar anak.

Sebab tak sedikit orang tua yang hanya menganggap biasa perubahan tersebut. Anak yang ingin terlihat sebagai perempuan macho atau lelaki feminim, misalnya. Kelakuan itu hanya dianggap lumrah.

Para orang tua mungkin tidak menyadari bahwa dalam kondisi itu benih-benih perkembangan ideologi dan psikologi tumbuh secara  tidak sesuai dalam jiwa-jiwa yang masih terlalu muda.

Anak tidak diberikan koridor yang tepat untuknya bisa mengembangkan fitrah lahirnya sendiri.

Alhasil bibit transgender perlahan bersemayam dalam jiwa seorang anak tersebut tanpa disadari oleh orang tuanya.

Seiring waktu, orang tua akhirnya dibuat terperangah. Maksud hati sekedar memberi kebebasan kepada anak-anaknya dalam bergaul.

Ternyata berujung kepada sesuatu yang ditolak oleh akal sehatnya sendiri. Sang anak tumbuh dengan pergaulan dan perubahan yang tidak semestinya dilakukan.

Ia mulai menyukai sejenisnya dan ingin selalu tampil dengan apa yang menjadi fantasinya selama ini.

Jika hanya sekedar gesture, pembawaan yang tampak feminim atau macho, mungkin –bisa dianggap- tidak terlalu bermasalah.

Sebab dalam beberapa kasus yang terjadi, pada kondisi latar belakang tertentu hal itu mungkin bisa terjadi.

Namun ketika jiwa dan psikologisnya turut menyertai tampilan dan pembawaan tersebut, apakah itu suatu hal yang wajar?

Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt)  berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya  Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain], dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa [4]: 1).

Membiasakan anak berlaku sesuai fitrah kelahirannya tentu tidak dapat ditawar lagi. Sekuat apapun setan menggoda, niscaya sang anak bisa tergeming di atas kodratnya. Sebab hukum Allah bersifat pasti. Dia hanya menciptakan jenis laki-laki dan perempuan.

Menjadikan mereka berpasang-pasangan agar dapat berlangsung hidup yang selaras seimbang. Jika dua komponen ini melenceng, tentu ada ketidakstabilan yang terjadi pada lingkup kehidupan. Membiasakan anak bermain hanya dengan sesama jenisnya saja mungkin tidak selamanya bisa menjadi pilihan yang tepat.

Sebab, bagaimanapun ia juga butuh beradaptasi dengan lawan jenisnya. Di sini butuh peran orang tua mengajari anak-anak batasan-batasan yang harus diperhatikan di antara mereka.

Anak yang tidak diajarkan bermain dengan lawan jenisnya, disadari atau tidak akan terbiasa berinteraksi dengan sesama jenisnya saja.

Sehingga nantinya mungkin dapat menimbulkan rasa ketergantungan, bahkan ketertarikan kepada sesamanya.

Ketika anak memiliki ketertarikan dengan lawan jenis karena proses adaptasi tersebut, peran orang tua kembali dituntut untuk mengarahkan pada yang semestinya.

Sehingga ia tetap berada pada jalur yang benar dan memaknai ketertarikan itu dengan cara yang benar.

Sebab, ada pula kasus saat orang tua menyadari bahwa anaknya memiliki ketertarikan dengan lawan jenis di masa yang belum semestinya, ia malah memarahi dan membuat anak menjadi trauma sehingga mengalihkan perasaannya ke jalan yang salah.

Hingga kemudian, sulit untuk merehabilitasi dan memperbaiki apa yang sudah terlanjur terjadi.

Sekalipun kemudian dapat diperbaiki dalam waktu yang tidak sebentar, serta butuh orang-orang yang sabar untuk mengembalikan kepercayaannya, dan membuatnya kembali tertarik dengan lawan jenisnya.*/Rizky N. Dyah, ibu rumah tangga di Kutai Barat  (Hidayatullah.com)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Keluarga Benteng Akidah Terkuat Bagi Anak

Trending Now

Iklan