Melihat perilaku anaknya itu, seketika sang ayah bertanya, "Untuk apa keluar, bukankah ini masih sangat pagi dan alangkah lebih baik jika digunakan untuk belajar atau persiapan sekolah?"
[Foto ilustrasi: Pixabay] |
Mendengar pertanyaan tersebut, sang anak langsung lemas, terduduk dengan raut wajah kecewa, karena merasa dilarang bermain.
Sang ayah pun mencoba mencari kegemaran sang anak yang baru-baru ini menjadi "headline" dalam dirinya.
"Aha ada," pikirnya.
"Aa," demikian sapaan akrabnya, "suka lagu roqqota aina Maher Zain, kan?"
Sang anak sontak tersenyum tapi masih dengan wajah malas, mengangguk.
"Tahu artinya belum?" kejar sang ayah.
Sang anak hanya menggeleng.
"Mau dikasih tahu?" tanya sang ayah.
Ia pun mengangguk.
Roqqota aina itu adalah rasa rindu yang sangat kuat kepada Nabi Muhammad. Bahkan, karena begitu mulianya sosok Nabi, disebutkan beliau adalah kekasih kita."Fa ataytu ila habibi."
"Nah, sekarang kalau kita suka lagu itu semestinya suka dengan Nabi Muhammad"
"Kita suka Nabi Muhammad karena beliau adalah sosok yang jujur, disiplin, tidak suka banyak bermain, taat kepada kedua orangtua dan sangat gemar memperbaiki diri. Jadi, lagu itu seharusnya membuatmu lebih mengenal siapa sosok Nabi Muhammad"
"Nah, sekarang, ayo persiapkan diri, mandi lebih awal dan sarapan. Kemudian persiapan ke sekolah," urai sang ayah.
Mendengar itu, sang anak bangkit dan menyodorkan tangannya ke atas tanda minta dibantu buka bajunya untuk segera ke kamar mandi.
Kisah nyata di atas adalah satu kiat dari banyak strategi yang bisa digunakan orangtua untuk mengantarkan anak tertib dan mengerti apa yang penting dilakukan di pagi hari.
Jadi, tidak mesti dengan marah, mengancam dan pilihan-pilihan yang lebih mengedepankan tekanan kepada anak.
Di sini orangtua dituntut peka dengan perilaku anak. Terutama memperhatikan apa yang sepekan terakhir paling disukai sang anak.
Hal itu dapat menjadi semacam amunisi untuk berdialog dengan anak terkhusus pada saat sang anak tidak sesuai dengan apa yang seharusnya ia lakukan.
Andai pun harus marah atau sampai mendera fisik dengan deraan mendidik, hendaknya tetap diawali dengan proses dialog dengan sang anak, sehingga anak paham, mengapa orangtua marah atau bahkan memukulnya.
Dengan terbiasa dialog, tidak menutup kemungkinan ke depan anak akan menjadi sosok yang pandai berkomunikasi bahkan menjadi negosiator ulung dalam bidang yang kelak ditekuninya.
Mengapa, Nabi Yusuf bisa menjadi bendahara Kerajaan Mesir? Memang karena faktor Nubuwwah, tapi sisi empiris yang bisa kita pelajari, karena Nabi Yusuf mampu bernegosiasi dengan sang Raja, dimana itu ia peroleh dari kebiasaan dialog dengan sang ayah, Nabi Ya'kub. Allahu a'lam.
IMAM NAWAWI