Iklan

Konflik Perbatasan dan Indikator Kemakmuran

Admin
Sabtu, Maret 03, 2012 | 19:10 WIB Last Updated 2017-02-27T22:45:06Z













ANEH dan agak lucu nampaknya. Di saat bangsa tak kunjung usai mengatasi konflik perbatasan dengan negara tetangga, Pemkab Mamuju dengan Pemprov Kaltim juga berpolemik soal perbatasan pula.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mengklaim Pulau Salissingan masuk ke dalam wilayahnya. Sementara Mamuju menyatakan bahwa pulau tersebut bagian gugusan Kepulauan Balabalakang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.

Situasi ini mungkin boleh dikatakan sebagai “alarm” bagi kelangsungan kenegaraan Indonesia. Masalah perbatasan bukanlah masalah baru. Masalah ini boleh dibilang merupakan masalah lama yang mungkin seusia dengan perjalanan bangsa pasca revolusi di tahun 1965.

Akan tetapi hingga kini, masalah ini bukannya berkurang tapi kian mengancam. Dalam beberapa dekade terakhir saja, beberapa pulau terluar NKRI telah direbut oleh negara tetangga.

Keadaan ini tentu saja sangat menyedihkan. Bahkan data terbaru seperti yang diturunkan kantor berita ANTARA, sedikitnya ada 140 dari 370 pulau di kawasan utara Kalimantan Timur, yang merupakan wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia Timur, belum memiliki nama sehingga dinilai bisa merugikan NKRI jika ada sangketa dengan negara lain karena dianggap kurang peduli dengan wilayah sendiri.

Fakta itu terungkap dalam Rapat Koordinasi Inventarisasi dan Pembakuan Nama Pulau se-Kaltim, di Samarinda, belum lama ini. Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Kaltim, Aman Darmaji, yang didampingi Kabag Perbatasan dan Pengembangan Wilayah, M Tarno Seman, membenarkan fakta tersebut.

Respon pemerintah, baik pusat maupun daerah terkesan "adem-ayem" alias tak tergerak. Berbeda sekali dengan respon pemerintahan Soekarno ketika ia menjadi presiden RI, yang langsung sigap menyikapi masalah. Meskipun kita tentu juga tidak selayaknya merespon masalah ini sebagaimana telah terjadi sebelum ini.

Dalam catatan wikipedia, konflik Indonesia – Malaysia telah berlangsung sejak 1962. Kisruh itu dipicu oleh rencana Malaysia untuk menyatukan Brunei, Sabah dan Sarawak dalam Federasi Malaya. Rencana tersebut ditolak oleh Presiden Sukarno ketika itu, khawatir akan menjadi kekuatan yang merongrong kemerdekaan RI.

Masih menurut wikipedia, pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase.

Tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya; Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia. Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"Ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu Diraja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.

Pasca peristiwa itu hubungan Indonesia-Malaysia pun mulai berlangsung dengan sangat fluktuatif. Ada kalanya nampak mesra, namun tidak jarang juga memanas. Beragam persoalan memicu naik-turunnya hubungan kedua negara pendiri ASEAN ini. Kemesraan tergambar saat YDA Tuanku Sultan Mizan Zainal Abidin mendapat penghargaan tertinggi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tahun lalu. Sebaliknya tahun itu juga, emosi rakyat Indonesia tersulut saat masalah Sempadan mencuat di media.

Persoalan Sempadan cukup mengganggu psikologi rakyat Indonesia. Dipicu oleh pergeseran patok di desa Temajuk Kabupaten Sambas ke wilayah Malaysia. Lahan seluas 1400 hektare di Camar Bulan dan garis pantai 800 meter di Tanjung Datu itu telah bergeser ke Serawak. Praktis, parlemen Indonesia mempermasalahkannya dalam sidang Komisi I DPR. Bahkan media pun sempat ramai memberitakannya.

Apalagi akhirnya 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan Malaysia sebagai pemilik Sipadan-Ligitan. Tetapi belakang hari setelah mendapatkan legitimasi atas Sipadan-Ligitan. Malaysia juga mengklaim wilayah Blok Ambalat, pulau di Laut Sulawesi itu sebagai miliknya.

Indonesia jelas menampik klaim tersebut. Blok Ambalat menggugah semangat keindonesiaan. Berhari-hari Blok Ambalat dimediakan di kedua negara. Rakyat Indonesia merespons dengan berunjuk rasa sambil membakar bendera Malaysia. Bahkan militer sudah dikerahkan untuk mengambil langkah pengamanan.

Untungnya, permasalahan di Ambalat bisa reda setelah kedua menteri luar negeri bertemu. Mereka bersepakat menyelesaikan persoalan kedaulatan ini dengan berpedoman pada konvensi hukum laut internasional.

Akar Masalah
Perbatasan sejatinya adalah satu hal yang jelas dan pasti. Namun karena ketidaksigapan pemerintah dalam memperhatikan kondisi perbatasan menjadikan kawasan tersebut rawan dengan konflik. Terlebih jika negara tetangga terbilang negara yang teritorialnya boleh dikatakan kecil. Tentu akan muncul ide "nakal" untuk memanfaatkan ketidaksigapan pemerintah Indonesia dalam merawat area perbatasan.

Sebut saja lepasnya pulau Sipadan, dan maraknya pencurian ikan di perairan Indonesia. Termasuk juga pencurian pasir dan beragam jenis kekayaan Indonesia lainnya, merupakan satu bukti bahwa ketidaksigapan pemerintah telah disalah-potensikan oleh negara tetangga.

Jika mau dipikir secara obyektif memang inilah resiko terdepan yang harus diterima. Apalagi ilmu kriminal mempunyai aksioma bahwa "kejahatan bukan saja karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan".

Ketidaksigapan tersebut bukan saja "mengundang" minat nakal negara lain, tetapi juga melenakan seluruh aparat terkait yang bertugas mengamankan kawasan perbatasan. Apalagi dalam situasi seperti saat ini, dimana aparat pemerintah sudah mulai banyak yang hedonis, menjadikan kawasan perbatasan lebih tidak terperhatikan lagi. Dampaknya jelas, patriotisme di kawasan perbatasan boleh dikatakan sudah hilang.

Permasalahan yang dihadapi oleh daerah perbatasan adalah berupa keterisolasian, keterbelakangan, kemiskinan, mahalnya harga barang dan jasa, keterbatasan prasarana dan sarana pelayanan publik (infrastruktur), rendahnya kualitas SDM, dan penyebaran penduduk yang tidak merata.

Indikasi Kemakmuran
Sebagian besar kawasan perbatasan masuk dalam kategori daerah tertinggal. Kawasan perbatasan itu sering dilupakan pemerintah, termasuk pemerintah daerah, karena hanya dijadikan sebagai sabuk keamanan dari pulau terluar.

Di wilayah perbatasan, penegakan hukum masih sangat rendah, terutama kegiatan illegal loging. Padahal, potensi sumber alam di kawasan perbatasan cukup besar seperti potensi tambang, hutan, perkebunan, dan potensi sumber daya laut (maritim). Akibatnya, penduduk di area perbatasan secara terpaksa "meninggalkan" Indonesia.

Seperti diberitakan laman vivanews beberapa waktu lalu, masyarakat Dayak Kalimantan di perbatasan mengaku kesulitan mendapatkan bahan-bahan pokok, akhirnya tidak jarang membelinya di negara tetangga. Pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan orang utan ketimbang penduduk setempat.

Wilayah di perbatasan, di antaranya Seruyan dan Long Nawang, juga serba minim fasilitas. Selain itu, transportasi di wilayah ini masih terbatas. Pesawat dari kota jarang datang dan rutenya juga belum rutin. Kondisi tersebut juga memaksa mereka menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Malaysia.

Sebenarnya masih cukup panjang masalah perbatasan yang harus diungkap dan dirinci meskipun tentu tidak akan cukup ruang untuk membahasnya di sini.

Akan tetapi secara prinsip dapat kita buat satu kriteria suksesnya pemerintah dalam memakmurkan warga negaranya. Yaitu terpenuhinya hajat hidup masyarakat perbatasan dan tumbuhnya kecintaan yang mendalam terhadap NKRI. Sejauh itu belum terwujud, maka apapun program pemerintah boleh dikata masih jauh dari sukses.

Sebaliknya, apabila warga perbatasan merasa aman, nyaman menjadi bagian dari NKRI, maka itu bisa dikatakan sebagai sebuah keberhasilan. Inilah yang semestinya dijadikan kriteria oleh pemerintah untuk mengukur hasil kinerjanya dalam menjalankan mandat rakyat. Sebab jika perbatasan saja makmur dan sejahtera, tentu wilayah lainnya akan lebih makmur dan lebih sejahtera.

Berbenahlah negeriku, sebelum semua hilang dari genggaman. Berjuanglah negeriku sebelum semua hilang dari pangkuanmu.[KTC]

*Imam Nawawi adalah kolumnis www.kaltimtoday.com dan mantan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Kutai Kartanegara, Kaltim
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Konflik Perbatasan dan Indikator Kemakmuran

Trending Now

Iklan